isawitbefore

a parallel universe of josstay

T's First Love.

Tawan dan teman-temannya saat ini sedang berjalan menuju kelas terakhir mereka yaitu keperawatan maternitas. Sejujurnya Tawan sedikit gugup, karena dosen mereka di maternitas ini biasa disebut sebagai “dosen killer”.

Tawan belum membaca materi yang akan mereka pelajari hari ini karena semalam pikirannya penuh dengan calon suaminya yang entah kenapa tidak mau meninggalkan otaknya barang sedetikpun.

“Duduk belakang apa depan?” Tanya Jumpol saat sudah berada di depan kelas.

“Belakang aja Jumpie” Jawab Tawan sambil melirik ke dalam kelas mereka yang masih kosong.

Memang masih kosong karena sebelum kelas tadi ada istirahat untuk sholat ashar bagi yang menjalankan, kebetulan mereka semua bukanlah seorang muslim jadi mereka memutuskan untuk langsung menuju kelas selanjutnya.

Tawan memutuskan untuk membuka materi yang diajarkan minggu lalu, takut tiba-tiba nanti dosennya mengulang materi dan bertanya pada mahasiswa.

Bukan hanya Tawan namun Metawin dan Gun juga melakukan hal yang sama, sementara Jumpol dan Arm sibuk bermain among us dengan berisiknya.

“Arm kayaknya si cyan deh impostornya” ucap Jumpol dengan serius.

“Kenapa?” Tanya Arm penasaran namun matanya tetap melihat layar ponsel.

“Gak tau, kinda sus aja cyan. Jelek lagi warnanya.” Jawab Jumpol dengan santai.

Tawan yang mendengarkan percakapan bodoh itu hanya menggelengkan kepalanya, biar saja nanti jika dosen bertanya kepada dua orang itu, Tawan tidak akan membantu mereka.

Tanpa mereka sadari kelas yang tadinya masih sepi sudah penuh dengan mahasiswa, PJ juga sudah diberikan informasi bahwa dosen mereka sedang menuju ke kelas.

Kelas hening saat pintu dibuka dan munculah Bu Davikah, dosen maternitas yang cantik namun dicap sebagai dosen killer.

“Selamat sore anak-anak.”

“Sore buuuu.”

“Hari ini perkuliahannya kita mulai dengan mengulang materi yang sudah dipelajari minggu lalu tentang konsep keperawatan maternitas.”

“Coba Metawin sebutkan sejarah keperawatan maternitas yang kamu ketahui.” Ucap Davikah menunjuk Metawin.

Metawin yang pada dasarnya adalah mahasiswa dengan kepintaran diatas rata-rata tidak merasa panik karena dia mencatat materi minggu kemarin di binder kuliahnya.

“Praktik obstretik pertama itu pada 1500 SM di Eygpt, Mesir. Sebelum abad 18 persalinan dibantu oleh wanita lain yang lebih tua. Pada 1700-1800 praktik persalinan pertama oleh bidan, pada 1800 praktik persalinan pertama oleh dokter dan bidan.”

“1900 persalinan pertama di rumah sakit dengan perawatan ibu dan bayi, 1950-1960 maternitas keperawatan, 1969 NAACOG, dan 1992 berubah menjadi AWHONN” Jawab Metawin dengan lancar.

“Coba Tawan sebutkan standar perawatan ibu dan bayi menurut AWHONN” Ucap Davikah lagi.

Tawan yang namanya dipanggil dengan segera membuka catatan kuliahnya dengan gugup, seingatnya dia mencatat standar AWHONN dengan lengkap.

“Standar 1 praktik keperawatan, standar 2 pendidikan kesehatan dan konseling, standar 3 kebijakan, prosedur, dan protokol, standar 4 tanggung jawab dan tanggung gugat profesional, standar 5 pemberdayaan tenaga perawat, standar 6 etik, standar 7 penelitian, dan standar 8 quality assurance.” Jawab Tawan dengan lancar.

“Tujuan keperawatan maternitas?” Tanya Davikah lagi.

Tawan mengutuk dalam hati, kenapa dia ditanya berkali-kali sih, kenapa bukan orang lain saja.

“Tujuan keperawatan maternitas adalah untuk meningkatkan kesejahteraan ibu dan janin serta BBL (bayi baru lahir) dan membantu perkembangan dan keutuhan keluarga.” Jawab Tawan lagi.

“Terakhir Tawan, paradigma keperawatan maternitas pada lingkungan?”

“Pada lingkungan itu ada proses kehamilan, persalinan, dan masa nifas yang melibatkan anggota keluarga dan masyarakat yang memiliki nilai dan perilaku setiap individu yaitu sosial dan budaya.” Tawan menjawab dengan pasti.

Davikah tersenyum kecil dan melanjutkan pertanyaannya ke mahasiswa lain. Tawan sendiri melemaskan bahunya, Jumpol disampingnya sudah menahan tawa akan kesialan Tawan yang ditanya 3 pertanyaan secara berturut-turut.

“Lu sial mulu anjir.” Bisik Jumpol.

Tawan hanya menendang kaki Jumpol dengan cukup keras dan kembali memperhatikan bu Davikah yang sudah memulai kelasnya. Materi kali ini tentang anatomi fisiologi alat reproduksi pada saat kehamilan. Tawan mencatat semua ucapan bu Davikah dengan teliti.

Sementara disebelahnya Jumpol memilih untuk merekam suara bu Davikah untuk dijadikan bahan pelajaran serta membantu teman-temannya yang suka sekali ketinggalan ucapan bu Davikah pada saat mencatat.

“Pulang ke kafetaria dulu ya.” Giliran Metawin yang berbisik kecil.

Tawan memberikan ibu jarinya menyetujui ajakan Metawin, hari ini memang sangat melelahkan. Mereka kelas dari pagi dan ada dua kuis hari ini, belum lagi mata kuliah yang semakin hari semakin rumit, rasanya Tawan ingin libur selama seminggu dan bergelung di dalam selimut kesukaannya.

Bu Davikah menutup kelas dengan memberikan informasi mengenai praktek anfis di hari jumat pagi jam 10. Mahasiswa diwajibkan menghafal setiap organ beserta fungsinya dan mampu menunjukkan organ-organ tersebut dengan lancar.

Tawan menghela nafasnya lagi, kenapa selalu diakhiri dengan tugas atau praktek. Tawan paling malas untuk menghafal organ-organ, tapi memang itu sebuah kewajiban untuk mahasiswa kesehatan apalagi keperawatan dan kedokteran menghafal organ tubuh manusia.

“Nanti sebelum jumat nginep bareng sih buat menghafal” Pinta Tawan.

“Ayooo” Metawin menyahuti Tawan dengan semangat.

“Mau dimana?” Kali gini Gun yang bertanya.

“Terakhir kita nginep di rumah Arm kan, sekarang siapa yang mau rumahnya dijadiin sarang.” Ucap Tawan dengan semangat 45.

“Rumah lo.” Jawab Arm datar.

“Iya rumah lo aja, biar dimasakin mama saro” Sahut Metawin menyetujui jawaban Arm yang juga disetujui Jumpol dan Gun.

Tawan mencebikkan bibirnya dengan malas, kalau mereka menginap ke kamarnya dia harus menyembunyikan boneka mikasa karena Jumpol suka sekali dengan bonekanya itu.

“Yaudah ayo dirumah gue nanti gue bilang ke bunda sama ayah.” Jawab Tawan dengan pasrah.

Mereka semua bersorak gembira, menginap di rumah Tawan memang sangat seru karena bunda Tawan selalu memberikan mereka makanan setiap waktunya, mereka tidak akan kekurangan gizi, belum lagi ayahnya yang suka membelikan mereka martabak dan makanan enak lainnya.

“Eh nginep sampe minggu aja gak sih sekalian? Kita ada presentasi kan senin sama tugas resume jurnal penelitian.” Usul Jumpol.

“Boleh juga tuh.” Gun menyetujuinya.

Tawan menggelengkan kepalanya dengan horror, “Engga engga gue mau pacaran sama Levi jangan ganggu gueeee.” Pekiknya tertahan.

Namun Jumpol dan yang lainnya tidak memperdulikan Tawan, mereka masuk ke kafetaria dan memesan makanan untuk menghilangkan rasa lapar yang sejak tadi bersarang diperutnya, meninggalkan Tawan yang sudah pasrah akibat keputusan sepihak teman-temannya.

“Males banget sih” Protes Tawan tertahan, namun kakinya tetap mengikuti teman-temannya yang sudah berpencar untuk memesan makanan.

Mereka semua duduk dikursi paling pojok, memang spot favorite mereka di kafetaria adalah pojok karena lebih leluasa untuk mengobrol.

Tawan sudah melihat nasi goreng seafoodnya dengan sangat serius, begitupun dengan teman-temannya yang sudah mulai memakan makanannya.

“Te, kemarin gimana acara ketemu calon suami lo?” Tanya Jumpol tiba-tiba.

Tawan yang sedang mengunyah makanannya kaget akan pertanyaan Jumpol dan hampir saja tersedak. Tawan dengan terburu menelan makanannya dan menatap Jumpol dengan sinis.

“Kalau nanya pake aba-aba dong, temen lo hampir keselek nih.” Protes Tawan kesekian kalinya hari ini.

“Iya iya maaf, cepet ayo ceritaaa.” Jawab Jumpol tidak serius.

Tawan menghela nafasnya dan memutuskan untuk menceritakan pertemuannya kemarin, dia memang hutang cerita dengan teman-temannya dan baru memiliki waktu untuk berbagi kisah saat ini.

“Gitu deh kemarin pas pertama kali ngeliat gue sampe pangling, soalnya beneran ganteng. Kata ayah mirip zoro kan, terus beneran mirip zoro. Yaudah gue terima lah gak pake ba bi bu.” Tawan mulai bercerita.

“First impression lo?” Tanya Metawin.

Tawan berpikir sejenak, kata tampan terlintas diotaknya.

“Ganteng, beneran ini tuh yang ganteng banget gitu. Orangnya tinggi, 190cm kali ya? Terus badannya tegap, berotot gitu tapi gak too much. Terus fashion juga gak boomer sih, kayak umur 22an gitu masih trendy.”

“Kalau urusan wajah, gila deh top banget. Beneran top, apalagi senyumnya anjir gue bilang kan gue sampe pangling. Terus dia tuh beneran soft gitu kayak mengayomi gue?” Jelas Tawan panjang lebar.

Metawin, Gun, Jumpol, dan Arm menatap Tawan tidak percaya. Seorang Tawan Vihokratana yang selama ini mereka kenal tidak tertarik akan lelaki selain 2D bisa mendeskripsikan seseorang dengan begitu detailnya? Dunia pasti sedang sakit.

Arm yang duduk disebelah Tawan dengan refleks mendaratkan tangannya di dahi Tawan, memeriksa apakah temannya sedang sakit atau tidak.

“Lo ngapain?” Tanya Tawan kebingungan tapi dia tidak menyingkirkan tangan Arm.

“Ini lo lagi sakit ya Te, kok kayak orang jatuh cinta sama manusia?” Ucap Arm dengan polos.

“MAKSUD LO?” Ucap Tawan dengan penuh tekanan sambil menyingkirkan tangan Arm dari dahinya.

“Ya selama ini kan lo spesies aneh yang cuma tertarik sama makhluk 2D, kok tiba-tiba jadi simping ke manusia. Kita takut.” Jelas Arm yang disetujui oleh Metawin, Gun, dan Jumpol.

Tawan menaikkan alisnya dan berpikir, benar juga. Kok dia tiba-tiba simping ke Kak J, padahal mereka baru ketemu semalam.

“Aneh gak sih?” Gumam Tawan.

“Gak aneh yang bad side gitu kok” Gun dengan terburu menyanggah Tawan.

“Kayak bersyukur gitu sih lebih tepatnya, tapi masih perlu beradaptasi soalnya yang lo ceritain kali ini kan manusia, chance lo ketemu dia banyak banget apalagi dia calon suami lo. Amaze gitu lah karena lo sekalinya jatuh cinta sama calon suami, keren.” Jelas Gun dengan senyumannya.

“Tapi gue belum jatuh cinta....” Jawab Tawan.

Metawin mendengus mendengar kebodohan temannya, mungkin memang belum jatuh cinta yang sedalam itu tapi Tawan sudah memiliki rasa ketertarikan, dan itu bagus.

“Tapi udah tertarik kan?” Tanya Metawin.

“Ya udah sih, soalnya ganteng gitu. Wangi.”

“Yeehhhhhh” Celetuk Jumpol dengan menoyor dahi Tawan dengan cukup keras.

Tawan maju dan memukul Jumpol dengan cukup keras yang dibalas dengan kekehan keras lelaki itu. Tawan melanjutkan makannya dengan pikiran yang penuh dengan Joss.

Tawan juga menyadarinya kok kalau dirinya tertarik dengan lelaki berusia 22 tahun itu, tapi Tawan masih menahannya, setidaknya sampai dirinya yakin bahwa Joss juga memiliki rasa ketertarikan yang sama dengannya.

—The Day I Met You

Makan malam terasa hangat, obrolan diantara dua keluarga mengalir dengan lancar. Baik ibu Tawan dengan Tante Siri, maupun Ayah, pak Banjong, dan kak Joss. Tawan tidak kalah, dia sibuk mengobrol dengan adiknya, Nanon tentang anime Haikyuu yang sedang tayang.

“Tapi dek, abang gak habis pikir, kok bisa animation productionnya ganti disatu episode aja gitu. Kenapa sih nyebelin banget, agak menganggu sih buat gue.” Ucap Tawan dengan cheese cake yang masih ditangannya.

“Makan dulu bang.” Ucap Nanon mengingatkan.

Tawan menuruti Nanon dan kembali menyuap dessertnya. Dikepalanya masih berisi sejuta pertanyaan tentang salah satu anime kesukaannya.

“Enak ya bu punya dua anak cowok yang kesukaannya sama, ngobrolnya nyambung.” Ucap Siri dengan senyuman lebarnya melihat keakraban Nanon dan Tawan.

“Ini mah lagi akrab aja, biasanya berantem juga. Apalagi bedanya cuma 3 tahun. Kalau lagi pada kumat, haduh rasanya pusing banget.” Keluh sang Bunda.

Semua orang dimeja makan tertawa melihat wajah Tawan dan Nanon yang memerah karena ketahuan mengobrol. Memang sudah pasti ketahuan karena mereka mengobrol dengan suara yang cukup keras.

“Nak Tawan sekarang kuliah semester berapa sayang?” Tanya Siri.

“Sekarang semester 3 tante.” Jawab Tawan dengan senyuman manisnya.

“Ngambil jurusan apa?” Tanya Siri lagi.

“Te ambil Keperawatan tante.” Jawab Tawan dengan bangga. Dia sangat bangga dengan jurusan yang dia pilih.

“Keren banget. Gimana susah gak kuliahnya?”

Tawan berpikir sebentar sebelum menjawab, “Ya gitu deh tante, ada yang susah ada yang engga, tapi Te jalaninnya seru aja soalnya emang mau banget jadi perawat.” Jawabnya semangat.

Siri dan Banjong terkekeh mendengar jawaban penuh semangat yang diberikan oleh Tawan. Rasanya kalau Tawan menjadi bagian dari keluarganya akan sangat menyenangkan.

Mereka hanya memiliki Joss sebagai anak tunggal, Joss juga bukan tipe anak yang penuh dengan semangat seperti Tawan. Joss cenderung menghabiskan waktunya diluar rumah bersama teman-temannya, dan saat kuliah lelaki itu kuliah sambil bekerja dengan ayahnya jadi rumah terasa sepi.

“Aduh gemes banget sayang.” Puji Siri pada Tawan yang masih sibuk menghabiskan cheese cakenya.


Dua keluarga itu pindah ke ruang tamu untuk melanjutkan obrolan ditemani kopi dan beberapa makanan kecil seperti kue kering.

“Jadi, bisa kita mulai?” Tanya Banjong dengan senyuman di wajahnya.

“Kedatangan kami kesini untuk membicarakan tentang perjodohan yang telah saya dan pak Sarut rencanakan untuk kedua anak kami yaitu Joss dan Nak Tawan. Sebenarnya saya yang menawarkan hal ini kepada pak Sarut, ternyata pak Sarut menerimanya.”

“Apa dari keluarga pak Sarut sendiri sudah menyetujuinya? Dari mulai bu Saro, dan nak Tawan sendiri.”

“Kalau saya, saya serahkan keputusannya sama suami dan anak saya. Kalau suami saya menyetujui, saya percaya bahwa hal itu memang yang terbaik untuk putra kami.” Jawab Ibunda Tawan. Tangan wanita itu mengelus dengan sayang rambut anak sulungnya.

“Kalau nak Tawan, apa setuju?” Tanya pak Banjong.

Tawan terdiam mendengar pertanyaan tersebut. Tangannya terasa dingin dan jantungnya berdetak dengan cepat. Semua mata memandangnya dengan berbagai macam pandangan.

Matanya melirik Joss yang melihat datar ke arahnya, Tawan tidak bisa membaca perasaan lelaki itu dari bola matanya.

“Kalau Te...” Tawan mengambil nafasnya dengan dalam, dan menghembuskannya perlahan. Menghilangkan gugup yang menderanya.

“Kalau Te, ikut kata ayah aja. Kalau ayah setuju, Te juga setuju. Te percaya kalau ayah cuma mau yang terbaik sama buat Te.” Jawab Tawan dengan lugas.

Sarut menatap Tawan dengan pandangan berkaca-kaca, tidak mempercayai pendengarannya.

Anaknya sudah tumbuh dewasa, anaknya yang selama ini hanya tertarik dengan karakter 2D sudah bisa mengambil keputusan untuk kehidupannya di masa mendatang.

Banjong tersenyum melihat keyakinan anak kolega dihadapannya ini, dia memang sudah menyukai anak ini sejak Sarut kerap kali menceritakan anaknya yang masih seperti anak kecil dan kesukaannya terhadap kartun yang berada di tingkat atas.

Bagi Banjong, anak seperti Tawan ini jarang sekali di kota besar seperti Jakarta.

Anak itu tidak memiliki catatan buruk di masa sekolahnya, berasal dari keluàrga baik-baik juga dengan gen yang luar biasa. Banjong tidak salah menawarkan perjodohan ini pada Sarut.

“Syukurlah. Untuk keluarga kami sendiri sudah setuju, begitupula dengan anak kami Joss. Senang rasanya perjodohan ini berjalan dengan lancar.” Ucap Banjong.

“Betul pak, saya sudah takut kalau Tawan akan menolak. Karena anak itu tadi sempat tidak mau, mungkin saat melihat paras nak Joss yang seperti salah satu anime kesukaannya, dia berubah pikiran.” Canda ayah Tawan mencairkan suasana.

Semua orang tertawa dengan candaan yang dilemparkan oleh ayahnya, Tawan sendiri sudah merasa sangat malu. Kenapa sejak tadi dia selalu menjadi bulan-bulanan sih.

“Abang Te, ajak nak Joss buat ngobrol gih sana. Di kamar abang Te juga gapapa.” Suruh sang Bunda.

Tawan terkejut dengan perintah bundanya, namun pandangan menusuk bundanya membuatnya mengurungkan niatnya untuk membantah.

“Kak Joss, ayo ikut Te. Kamarnya ada dilantai dua.” Ajak Tawan dengan wajah yang memerah.

“Bunda Nanon ke kamar juga ya, mau ngerjain pr buat besok sekolah.” Pamit Nanon yang diiyakan oleh sang Bunda.

Tawan dan Joss berjalan dengan hening, tidak ada yang membuka suara baik Joss maupun Tawan. Tawan sibuk meredakan jantungnya yang sedang melakukan konser di dalam tubuhnya.

Sementara Joss sibuk memperhatikan rumah dari lelaki yang berada disampingnya ini. Rumah minimalis modern yang sangat nyaman.

Mereka sampai disebuah pintu berwarna cokelat dengan garis hitam dan hijau tua. Pintu ini bertuliskan

Tawan Vihokratana Part of Scouting Legion

Joss bisa menebak bahwa ini adalah salah satu dari kesukaan lelaki itu terhadap anime. Joss yang mendengar cerita ayahnya saat menceritakan Tawan sempat geleng-geleng kepala karena ada anak berusia 19 tahun yang tergila-gila dengan anime hingga segitu besarnya.

Maaf ya kak kamarnya agak berantakan.” Ringis Tawan.

Joss masuk dan tersenyum kecil melihat kamar lelaki remaja berusia 19 tahun yang didesain seperti kamar anak-anak berusia 14 tahun. Belum lagi koleksi action figure dan boneka boneka bergambar karakter 2D yang Joss tidak tahu sama sekali berasal dari anime apa.

“Kamu.. bener-bener pecinta anime ya.” Joss memberikan respon setelah puas melihat kamar dari calon pasangan hidupnya.

“Hehehe iya kak! Sukaaa banget. Dari kelas 1 SMA udah suka.” Jawab Tawan semangat.

Joss tidak bisa menahan dirinya untuk tidak mengusak rambut lelaki itu. Lalu Joss terkekeh sendiri melihat rona merah yang muncul di pipi sang lelaki yang lebih muda.

“Nanti kalau sama gua, kamarnya gak diginiin ya? Tapi nanti boleh kok satu ruangan buat kamu simpan semua koleksi kamu. Kasih wallpaper gambar juga boleh.” Ucap Joss dengan santai.

Joss mengucapkannya dengan sangat santai, tidak memikirkan orang yang mendengarkannya. Wajah Tawan terasa sangat memanas, merah menjalar dari telinga hingga lehernya.

“Damagenya gak main-main.” Ucap Tawan dalam hati.

“Tawan?” Panggil Joss saat tidak mendengar balasan dari lelaki itu.

“Iya kak?” Jawab Tawan gelagapan.

“Tadi yang gua bicarain?” Joss menatap Tawan dengan alis yang terangat kecil.

“Iya kak gak papa, tapi bener ya nanti satu ruangan dikosongin buat simpen anak-anak aku?” Jawab Tawan dengan mata penuh pengharapan dan tanpa sadar menyebut koleksinya sebagai anak-anaknya.

“Iyaaaa boleh.” Jawab Joss dengan yakin.

Tawan tersenyum lebar dan mengucapkan terima kasih. Lelaki itu menepuk space kosong di sofa yang ia duduki, memberi isnyarat untuk Joss duduk bersamanya.

Joss menuruti kemauan Tawan, matanya sibuk memperhatikan tingkah Tawan yang memang benar masih seperti anak kecil.

Joss sudah menduga bahwa Tawan pasti dimanja dalam hidupnya, dia tidak masalah toh jika menjalani sebuah hubungan dia juga suka memanjakan kekasihnya.

“Kamu beneran setuju sama perjodohan ini?” Tanya Joss tiba-tiba.

Tawan yang terkejut dengan pertanyaan Joss membasahi bibirnya dengan gugup, “Setuju kak. Sebenernya maaf ya kak, tapi aku juga merasa bersalah sama ayahku karena aku gak bisa nerusin dia. Maaf juga kalau jadinya aku bikin kerjaan kakak nambah karena harus ngurus dua perusahaan, tapi aku bakal balas kebaikan kakak dengan jadi suami yang baik.” Jelas Tawan dengan menunduk.

Joss tersenyum kecil mendengar ucapan jujur Tawan, Joss menyukainya. Joss menyukai saat ada seseorang yang berkata jujur tanpa ada yang ditutupi. Joss akan sebisa mungkin menghargainya.

“Jangan ditundukkin kepalanya, kan gak buat salah?” Ucap Joss.

“Lagi gak apa-apa, gua emang suka sama bisnis jadi ini tantangan buat gua sendiri. Walaupun basicnya sama-sama di bidang kesehatan tapi pasti beda rasanya kalau ngelola rumah sakit.” Lanjut Joss dengan santai.

“Eh ini gua ngomongnya pake “gua” gak apa-apa kan?” Tanya Joss tersadar dengan cara bicaranya yang agak tidak sopan untuk orang yang pertama kali bertemu.

“Gak papa kak, bebas kak Joss mau pake apa.” Jawab Tawan dengan pelan.

“Oke berarti clear ya kita.” Ucap Joss lagi.

“Kalau kak Joss, kenapa mau dijodohin?” Giliran Tawan yang memutuskan untuk bertanya.

“Simple sih, karena males nyari pasangan. Pas ditawarin sama Dad, terus diceritain sedikit tentang kamu, yaudah setuju. Gak ada alasan buat nolak juga.” Ucap Joss jujur.

Rasanya Tawan ingin melambaikan tangannya ke kamera, siapapun keluarkan dia dari sini. Sejak tadi ucapan yang dilontarkan oleh Joss terkesan santai namun damagenya luar biasa untuknya.

“Ooooooh gitu kak....” Tawan mengangguk mengerti.

Joss terkekeh kecil dan mengeluarkan ponselnya dari saku celana jeasnya dan memberikan ponselnya kepada Tawan, “Sini minta nomor kamu.”

Tawan menerima ponsel itu dengan jari yang gemetar sedikit, ponsel dengan logo apple dan model keluaran terbaru itu digenggamnya dengan erat.

Tawan mengetikkan nomornya dengan terburu, sampai beberapa kali salah memencet angka. Joss yang menyadari bahwa lelaki dihadapannya ini gugup memilih untuk diam dan pura-pura tidak mengetahuinya. Mencoba membuat Tawan nyaman.

“Ini kak.” Ucap Tawan pelan setelah menyimpan nomornya sendiri dengan nama kontak Tawan.

“Makasih ya adik kecil.” Ucap Joss mengusak rambut Tawan dengan gemas.

Tawan mematung setelah rambutnya diusak oleh lelaki dihadapannya. Dia merasakan kupu-kupu berterbangan diperutnya yang menggelitik namun Tawan menyukai sensasinya.

Tawan pernah diberitahu oleh Metawin bahwa tanda-tanda orang jatuh cinta adalah munculnya kupu-kupu berterbangan diperutnya.

Tawan semakin tidak mempercayai pikirannya sendiri.

Apa dia jatuh cinta dengan calon suaminya ini?

Jatuh cinta pada padangan pertama dengan Joss Wayar Sangngern? Lelaki yang akan menjadi calon suaminya nanti?

Semesta pasti sedang mengajaknya bercanda.

—When T Meet J

Tawan sudah rapih dengan kemeja berwarna mustard dan celana hitam yang sudah disiapkan oleh bundanya. Awalnya rambut Tawan juga ditata sedemikian rupa, namun Tawan menolaknya dan kembali mengacak rambutnya dengan asal.

Tawan gugup? Tentu saja. Siapa yang tidak gugup saat ingin bertemu dengan lelaki yang nantinya berkemungkinan menjadi calon suaminya di masa mendatang.

“Te, udah siap?” Tanya sang Bunda.

“Udah bun.” Jawab Tawan dengan lesu.

Tawan melihat Nanon memberikan isyarat untuk memperhatikan gerak bibirnya.

“Ta-wa-ran gua ma-sih ber-laku.” Ucap Nanon tanpa suara.

Tawan menahan senyumnya melihat raut khawatir sang adik. Biasanya Nanon tidàk terlalu perduli, namun kali ini remaja lelaki itu terlihat sangat mengkhawatirkannya. Mungkin Nanon sedih kehilangan teman untuk menjadi wibu kalau dia menikah dan tinggal bersama calon suaminya.

“Te, nanti jadi jadi anak baik tapi harus tetep jadi diri sendiri oke? Jangan terlalu sopan pokoknya yang penting normal-normal aja.” Pinta Ayahnya.

Tawan melotot mendengar kalimat terakhir dari Ayahnya, sementara Bunda dan Nanon sudah tertawa dengan puas.

“Jadi maksud ayah selama ini aku gak normal?!” Protes Tawan.

“Ya gimana Te.” Ayah Tawan menghebuskan nafasnya dengan berat seolah-olah sudah lelah dengan tingkah laku yang ditunjukkan oleh anak sulungnya.

“Ayaahhhhhhh” Teriak Tawan dengan keras.

Ayahnya membengkap mulut Tawan saat mendengar sebuah mobil masuk kedalam pekarangan rumahnya. Rumah Tawan memang tipe rumah yang tidak memiliki gerbang, lebih tepatnya perumahan yang mereka tempati memang memiliki desain rumah tidak memiliki gerbang.

Ayah dan Bunda Tawan membuka pintu rumahnya untuk menyambut calon besannya. Tawan dan Nanon mengikuti dari belakang.

Jantung Tawan semakin berdetak dengan kencang. Bahkan sepertinya suaranyà dapat didengar siapapun yang berdekatan dengannya.

“Non, denger suara jantung gue gak?” Pertanyaan bodoh Tawan terlontar tanpa ia sadari.

Nanon yang sudah tau kebiasaan sang kakak jika sedang gugup hanya mencubit lengan Tawan agar Tawan dapat berpikir dengan normal kembali.

“Lu jangan aneh-aneh ntar gua gebuk pake sapu, tuh liat kan ada sapu disitu.” Bisik Nanon menunjuk sapu lidi untuk menyapu halaman.

Tawan hanya mengangguk dan kembali fokus melihat ayah dan ibunya yang terlihat sangat sumringah. Aneh sekali kenapa mereka berdua terlihat sangat bahagia, padahal yang mau dijodohkan adalah dirinya.

“Selamat datang pak Banjong, bu Siri, dan nak Joss.” Sapa Ayah Tawan pada keluarga yang baru keluar dari mobilnya.

Tawan yang berdiri tidak jauh dari sang ayah dapat dengan jelas melihat lelaki dewasa yang keluar dari kursi penumpang. Lelaki tampan dengan tubuh besar dan tinggi memakai kemeja hitam dan celana jeans yang juga berwarna hitam.

Tawan tidak terlalu mendengar sapaan ayahnya. Dia tidak tau siapa nama lelaki itu, tapi sumpah demi kekasihnya yaitu Levi Ackerman. Bahwa lelaki ini dimatanya benar mirip dengan Zoro. Ayahnya tidak bercanda dengan ucapannya.

Lelaki itu tersenyum membalas sapaan Ayahnya. Tawan masih menatap lelaki itu dengan pandangan terpesona sampai pada akhirnya lelaki itu menyadari kehadirannya dan tersenyum dengan sopan.

Tawan yang tertanggap basah sedang melihat tanpa berkedip sontak merasa malu dengan pipi yang memerah, Tawan mengelus tengkuknya dengan gugup dan membalas senyuman lelaki itu.

“Te sini ayo sapa dulu Om, Tante, sama anaknya.” Panggil sang ayah.

Tawan merasakan punggungnya didorong pelan oleh Nanon hanya memelototi adeknya dengan kesal, dia mengerti tatapan jahil Nanon. Pasti Nanon melihat tingkah lakunya tadi.

“Selamat malam, om, tante, dan kak?” Ucapan Tawan terhenti karena dia tadi tidak terlalu dengar nama dari lelaki yang akan menjadi calon suaminya ini.

“Joss Wayar Sangngern.” Ucap Joss memperkenalkan dirinya.

“Ah iya, selamat malam kak Joss” Sapa Tawan dengan pipi yang memerah.

“Selamat malam juga, Tawan.” Balas Joss dengan senyuman kecilnya.

Tawan dibuat pusing dengan suara lelaki itu yang terdengar berat, belum lagi senyumannya yang membuat wajahnya berkali lipat lebih tampan. Lelaki ini sempurna.

“Ini nak Tawan ya? Aduh manis sekali.” Ucap Siri.

“Iya tante terima kasih.” Jawab Tawan dengan malu.

“Kalau ini anak saya yang kedua, namanya Nanon.” Ujar ayah Tawan memperkenalkan Nanon.

Setelah perkenalan secara singkat, keluarga Joss dipersilahkan masuk ke dalam rumah keluarga Tawan.

Mereka semua berkumpul di ruang tamu, menunggu bunda Tawan yang sedang menyiapkan makan malam dan dibantu oleh Ibu Joss yang menawarkan bantuan.

Ayah Tawan dan Ayah Joss berbincang mengenai bisnis yang tidak dimengerti Tawan, sementara adiknya sibuk bermain Nintendo Switch. Tawan melirik lelaki yang dijodohkan dengannya, lelaki itu sibuk bermain ponsel, sesekali menanggapi obrolan kedua ayah mereka.

Tawan mengigit bibirnya dengan gugup, sungguh dia tidak menyukai keadaan hening seperti ini. Rasanya sangat menyebalkan, dia memang suka berbicara.

“Teeee, abang? Abang kesini dulu bantu bunda sama tante siri sebentar.” Suara Bundanya terdengar jelas dari arah dapur.

Seluruh orang yang berada di ruang tamu sontak menoleh ke arah sumber suara. Tawan meringis kecil dan berpamitan dengan sopan untuk mendatangi bundanya.

Kakinya dihentakkan kecil, kesal karena Bundanya memanggilnya dengan sangat keras. Sampai-sampai Kak Joss menoleh ke arahnya.

Tawan yang sibuk menggerutu tidak menyadari bahwa pada setiap langkahnya ada sepasang mata yang memandanginya intens disertai senyuman yang ditahan dengan susah payah.

—The Beginning

Tawan melangkahkan kakinya memasuki rumah yang sudah ia tinggali selama 19 tahun ini. Tadi pulangnya ia menebeng pada Jumpol dan Gun. Memang biasanya mereka pulang bersama karena rumah mereka hanya berbeda beberapa blok.

Tawan melirik mobil ayahnya yang sudah terparkir dengan rapih, aneh sekali rasanya. Berapa banyak Tawan berpikirpun dia tidak bisa menebak kejutan apa yang dimaksud oleh ayahnya.

Sudah gitu bundanya juga terlihat pasif sekali, biasanya bundanya sama berisiknya dengan sang ayah. Apa mereka berdua sedang bertengkar? Atau Tawan dan Nanon akan mendapatkan adik baru?

Tawan membuka pintunya dan berteriak dengan cukup keras, “Te pulanggggg.”

Tawan melihat adiknya keluar dari dapur dengan semangkuk cemilan yang sudah pasti akan dimakannya sambil menonton anime kesukaannya. Tawan merasa iri, waktunya untuk menonton anime berkurang karena kesibukan kuliahnya.

“Te udah pulang sayang?” Sapa sang bunda.

“Udah bun.” Balas Tawan, tangannya menyalimi sang bunda. Sementara sang bunda membantu Tawan membawa tasnya.

Tawan dan Nanon memang sangat dimanja di rumah, karena ibunya seorang ibu rumah tangga jadi dia dan adiknya mendapat perhatian penuh dari sang bunda. Sementara itu ayahnya memang cukup sibuk karena sang ayah merupakan pemilik salah satu rumah sakit swasta terbesar di Jakarta.

“Ayah dimana bun? Ada apasih kok abang disuruh pulang bun.” Tanya Tawan saat tidak menemukan ayahnya di rumah.

“Ayah lagi di ruang kerja, nanti juga keluar. Udah abang bersih-bersih dulu gih kan baru pulang kuliah.” Perintah Ibunya.

“Okidi bunda.” Tawan menyeret langkahnya untuk menuju kamarnya di lantai 2. Ternyata kalau sedang lelah, kamarnya yang berada di lantai 2 terasa sangat menjengkelkan.

Tawan melihat pintu kamar Nanon yang terbuka sedikit memutuskan untuk mengintip kegiatan adiknya tersebut. Ia dan Nanon hanya berbeda 3 tahun, mereka terlihat mirip. Kesukaan mereka berdua juga sama, yaitu sama-sama suka menonton Anime.

“Dek.” Panggil Tawan saat melihat Nanon yang fokus melihat komputernya.

“Ngapa?” Jawab Nanon tanpa menolehkan kepalanya.

Tawan tidak menjawab, lelaki itu memutuskan untuk merebahkan tubuh lelahnya diatas kasur sang adik. Matanya memperhatikan kamar adiknya yang penuh dengan barang-barang berbau anime, tak jauh berbeda dengan kamarnya.

kamar Nanon

kamar Tawan

Yang membedakan mereka berdua adalah anime kesukaan mereka, jika Tawan lebih menyukai anime seperti Attack on Titan, Haikyuu, Kimetsu No Yaiba, Fire Force, Jujutsu Kaisen, dan anime-anime yang sedang jamannya sekali, adiknya suka anime-anime yang dengan episode super banyak seperti Black Clover, One Piece, dan Naruto.

“Kenapa sih bang aneh banget tiba-tiba diem.” Omel Nanon.

“Bentar, gue capek banget.” Jawab Tawan tidak jelas karena mata lelaki itu mulai menutup, siap untuk mendatangi alam mimpi.

Nanon hanya bergumam tidak perduli, dia membiarkan Tawan untuk tidur karena tau bahwa kakaknya memang lelah. Nanon pernah disuruh menjemput sang kakak di kampus saat prakteknya berlangsung hingga malam, Nanon saja yang menunggu capek, apalagi kakaknya yang menjalankannya.

“Dek, udah tau belum ayah mau kasih kejutan apa?” Tanya Tawan tiba-tiba.

Nanon terkejut mendengar pertanyaan Tawan, dia pikir Tawan sudah tidur.

“Gak tau, sejak pulang juga ayah di ruang kerja.” Jawab Nanon dengan wajah kebingungannya.

“Dek apa lo mau dipindahin ke Mars ya.” Celetuk Tawan.

Nanon mendengus kecil dan melempar bantal yang berada dipelukannya ke tubuh Tawan, “Ngaco lu.”

Tawan bangkit dengan cepat, tangannya memeluk boneka Luffy milik adiknya dengan erat.

“Abisnya aneh banget padahal akhir-akhir ini kita gak jajan banyak kan ya? Kok dia tiba-tiba begitu. Apa kita udah gaboleh jadi wibu ya dek?” Tanya Tawan menebak-nebak.

“Gak mungkin sih, tadi gua abis minta beliin asta statue ver a sama b dikasih kok.” Jawab Nanon dengan santai.

“Hah?!” Teriak Tawan tertahan.

“Lo beli apaan? KOK GAK NGAJAK GUE” Lanjut Tawan.

“Kan lu gak addicted sama black clover kayak gua bang..”

“Beli berapa?”

“Kalau ga salah sih tadi $53” Jawab Nanon lagi.

“Anjrit, gue juga mau minta ke ayah.” Gumam Tawan.

Tawan keluar dari kamar adiknya untuk mendatangi sang ayah, meminta dibelikan merch juga seharga yang sama dengan Nanon.

“Te kok belum mandi?” Tanya sang Bunda saat melihat anaknya turun tangga dengan pakaian yang sama.

“Iya bentar bun, ini lebih penting dari mandinya abang.” Jawab Tawan cepat.

Tawan sampai di ruang kerja ayahnya, dan mengetuk ruangan yang jarang sekali dimasukinya itu.

“Ayahhhhhh” Panggil Tawan.

“Masukkkk.” Jawab sang Ayah.

Tawan memasuki ruangan yang memiliki dua rak besar berisi buku-buku yang tidak pernah Tawan sentuh karena tidak begitu mengerti.

“Ayah tadi Nanon beli merch ya, abang juga mauuuuu.” Rengek Tawan.

“Yaudah abang pesen aja nanti ayah yang bayar, harganya samain sama Nanon loh ya.” Jawab sang Ayah tanpa melihat Tawan.

“Ayah tadi mau ngomong apa?” Tanya Tawan ketika mengingat kejutan yang dikatakan sang ayah.

“Oh iya. Sini abang duduk depan ayah.”

Tawan menurutinya dan duduk dengan gugup. Ayahnya jarang berbicara serius kepadanya kecuali hal-hal yang menyangkut kehidupan yang dijalaninya.

Awalnya Tawan disuruh ayahnya untuk kuliah bisnis rumah sakit, namun Tawan menolaknya karena dia tidak terlalu menyukai bisnis. Tawan sudah memiliki cita-cita sendiri yaitu menjadi seorang perawat.

Ayahnya juga membujuk Tawan, setidaknya jika tidak ingin kuliah bisnis dia masuk kedokteran, dan Tawan masih menolaknya. Dia hanya ingin menjadi seorang perawat. Akhirnya ayahnya mengalah karena tidak ingin anaknya merasa terbebani dengan kemauannya.

“Abang tau kan kalau ayah sama bunda itu sayang sama abang?” Tanya sang Ayah.

“Apasih ayah kok aneh, ya taulah.” Jawab Tawan sedikit ketus.

“Abang kan ayah udah tua, ayah juga punya rumah sakit yang harus diurus, bukan ayah mau guilt trip abang tapi karena abang gak mau masuk manajemen rumah sakit, dan Nanon juga sepertinya gak terlalu tertarik, jadi ayah cuma punya satu pilihan.”

“Pilihan?” Tanya Tawan.

“Ayah punya kolega, dia biasa supply alat kesehatan buat rumah sakit kita. Udah lama juga temenan di dunia bisnis. Ternyata beliau punya anak laki-laki yang usianya 22 tahun dan nerusin bisnisnya.”

Untuk kali ini otak Tawan merespon ucapan ayahnya dengan cepat, wajahnya menunjukkan keterkejutan yang jelas.

Jangan mengatakan itu. Jangan. Pinta Tawan dalam hati.

“Beliau menawarkan untuk melakukan perjodohan dengan anaknya, nanti anaknya juga bisa mengurus rumah sakit milih ayah. Karena ayah memang kenal dengan beliau dan cukup tau latar keluarganya adalah keluarga baik-baik. Makanya ayah terima tawaran beliau.” Jelas ayahnya.

Tawan melemaskan bahunya. Benar. Firasatnya benar pasti hidupnya akan berubah.

“Ayahhhhhhh.” Lirih Tawan dengan lemas.

“Ayah tau pasti kamu nolak, tapi dicoba dulu ya? Ketemu sama anaknya kolega ayah. Ayah udah pernah liat. Anaknya mirip sama karakter anime favorite adek kamu.” Bujuk sang ayah.

“Karakter favorite adek yang mana?” Tanya Tawan dengan lesu.

“Itu yang anime bajak laut yang rambutnya ijo.”

“RORONOA ZORO?” Tanya Tawan tidak percaya.

“Iyaaaaa mirip dia tau bang, ayo liat dulu. Pasti abang suka.” Bujuk sang ayah lagi.

“Ayahhhhhhh, abang masih 19 tahun. Baru kuliah semester 3 ayahhhhhh.” Protes Tawan

“Nanti pas kita ke Jepang abang boleh beli apa aja deh, unlimited!!” Ayah Tawan masih belum menyerah membujuk anaknya.

“Tapi ketemu dulu ya? Kalau gak suka jangan paksa abang. Terus kalau ternyata gak mirip Zoro, ayah harus tambahin belanja abang dari $50 ke $100” Tawar Tawan.

“Iya iyaaa. Janji.” Ayah memberikan jari kelingkingnya sebagai bukti dia berjanji.

Tawan menyambut uluran kelingking ayahnya dengan wajah yang masih tertekuk.

“Makasih ya sayang, ayah cuma mau yang terbaik buat Te dan ayah tau kalau anak temennya ayah itu orang yang cocok buat Te.” Bisik sang ayah pelan.

Tawan hanya mengangguk kecil mengiyakan. Tawan sangat menyayangi ayahnya, dia juga merasa bertanggung jawab karena dirinyalah yang membuat ayahnya harus mengambil keputusan ini.

Kalau memang ini memang jalan terbaik, maka Tawan akan mengambilnya. Ia percaya bahwa ayahnya pasti memikirkan kebahagiaannya.

Lagipula kalau diambil sisi positifnya, dia tidak usah susah-susah memikirkan soal jodoh karena jodohnya sudah disiapkan oleh ayahnya. Jadi Tawan hanya tinggal fokus menjalani kuliahnya dan menjadi seorang perawat yang keren.

You've Got Mail: Epilog Chapter 5 END

Tawan saat ini berada di mobil Joss, berkat bujuk rayu lelaki itu Tawan memutuskan untuk pulang bersamanya.

Keadaan mobil sangat hening, Tawan melirik Joss yang sibuk mengendarai mobilnya. Tangannya terasa dingin, sampai saat ini Tawan belum mengeluarkan sepatah katapun yang menyangkut tentang hubungan mereka.

“Mau mampir ke 7eleven dulu gak?” Tanya Joss tanpa mengalihkan pandangannya pada Tawan.

“Gak usah.” Jawab Tawan pelan. Tawan memutuskan untuk menatap jalanan disekitarnya.

“How long you've been here?”

Tawan memutuskan untuk bertanya, walaupun suara yang dikeluarkan benar-benar sangat kecil. Hingga nyaris tidak terdengar jika saja Joss tidak memiliki indera pendengaran yang cukup peka.

“2 years?” Jawab Joss tidak yakin

“Bolak-balik ke Indonesia juga soalnya kerjaan masih disana.” Lanjutnya.

“How did you know about me, in here?” Tanya Tawan lagi.

“Bang Jumpol. He called me earlier. He want to stay at my condo but I didn't answer his call because I was busy with my works, and yesterday I called him back, he said he's here with you and I thought this is could be my chance.”Jelas Joss Wayar tanpa ada yang ia tutupi.

Tawan ingat saat Jumpol mengatakan ia berniat untuk menginap di tempat temannya namun tidak ada kabar, namun Tawan tidak menyangka bahwa teman yang dimaksud adalah Joss Wayar, mantan kekasihnya.

Do you following me?”

Joss menoleh sekilas dan menggelengkan kepalanya, “No I don't. To be honest, I was planning to meet you at McDonald's but it turns out I met you in the middle of people.”

Tawan kembali terdiam. Tidak ada pertanyaan lagi yang ingin ia tanyakan, untuk saat ini. Karena ia merasa waktunya kurang tepat jika ia menanyakan hal-hal yang lebih penting.

Joss memutuskan untuk menghidupkan radio. Keadaan hening membuatnya tidak terlalu nyaman, karena apda hakikatnya dulu saat mereka masih berpacaran. Keadaan mobil tidak pernah hening, entah mereka yang tidak berhenti mengobrol ataupun Tawan yang bernyanyi mengikuti lagu yang berputar.

Suara Taka terdengar diseluruh penjuru mobil, lagu One Ok Rock yang berjudul Heartache berputar disaat yang kurang tepat.

Tawan mengumpat dalam hati, kenapa dari sekian banyak lagu di dunia. Lagu One Ok Rock harus berputar disaat dia dan Joss baru bertemu setelah 6 tahun lamanya tidak pernah bertemu.

Pikirannya belum terorganisir dengan benar, rasanya sangat membingungkan. Entah semesta membencinya atau malah menyayanginya. Seharusnya Tawan mengikuti Jumpol dan Arm tadi, atau bahkan seharusnya Tawan langsung kembali ke hotel setelah konferensinya selesai.

Bukan dia tidak bahagia, namun saat ini dia benar-benar sedang mempertanyakan dirinya sendiri. Kedatangan Joss membuat hatinya semakin bimbang. Rasanya beban dipundaknya terangkat melihat Joss datang dengan keadaan baik-baik saja.

“Dover rise?” Gumam Tawan.

“Iya Dover Rise 8” Sahut Joss.

“Lah Mike waktu itu rekomen condo ini pas gua tanya tempat yang bagus di Singapore.” Jelas Tawan.

“Suruhan lo?” Lanjutnya.

Joss menggeleng pelan, “Gak. Buat apa gua suruh dia ngasih alamat ke lu.” Jawabnya pendek.

Sebenarnya Joss merasa egonya sedikit tersentil, kenapa Tawan seakan-akan tidak bahagia saat bertemunya. Dari caranya bertanya tentang Mike dan Jumpol tadi, rasanya perbedaan yang Joss sudah prediksi memang terjadi.

Joss memakirkan mobilnya dengan sempurna, Tawan sudah diam sejak percakapan terakhir mereka. Joss keluar mobil berniat untuk membukakan pintu untuk Tawan, namun lelaki itu keluar terlebih dahulu.

“Udah?” Tanya Joss memastikan.

Tawan mengangguk kecil. Lelaki itu mengikuti Joss yang berjalan di depannya. Tawan sekali lagi memperhatikan punggung tegap itu. Punggung yang selama ini dirindukannya namun saat ini rasanya sangat jauh.

Sudah 6 tahun tidak bertemu, Tawan tidak menemukan perbedaan yang banyak dari lelaki itu, postur tubuh itu mungkin berubah, namun tatapan Joss padanya masih sehangat dulu. Tawan bahkan dapat merasakan perasaan yang tersalurkan lewat tatapannya.

Joss Wayar Sangngern, nama yang selama ini selalu Tawan simpan baik-baik dalam hati. Nama yang selama ini membawa banyak kebahagiaan juga perasaan sesak untuknya. Nama yang saat ini terasa asing, karena saat Tawan kembali menyebutkan nama itu, perasaannya terasa asing. Semuanya terasa asing.

Joss mempersilahkan Tawan masuk, Tawan memperhatikan interior minimalis disekitarnya. Condominium ini terlalu besar untuk ditempati seorang diri.

“Lo tinggal sendiri?” Tanya Tawan penasaran.

“Iya. Warot kesini kalau lagi libur aja.” Jawab Joss tanpa melirik Tawan. Lelaki tinggi itu menuju Dapur untuk mengambilkan Tawan minum dan makanan lainnya.

“Soda?” Suara teriakan Joss terdengar.

Iya.” Balas Tawan dengan suara kerasnya.

Tak lama Joss datang dengan tangan yang penuh dengan cemilan serta 2 bulah coca cola. Tawan menaikkan alisnya dengan bingung, sejak kapan Joss menyimpan begitu banyak makanan ringan di rumahnya. Dulu Joss sangat menjaga bentuk tubuhnya jadi dia jarang memakan makanan ringan.

“Gua mau ganti baju dulu, lu mau ganti baju gak? Kalau mau gua pinjemin baju.” Tawar Joss.

Tawan memperhatikan tampilannya yang masih memakai jas dan kemeja beserta celana bahan. Dia menatap Joss dengan ringisan kecil dan mengangguk dengan telinga yang memerah.

“Yaudah bentar.”

Joss melangkah menjauhi Tawan yang masih berdiri dengan canggung.

Joss kembali dengan baju tanpa lengan yang dikenakannya, memperlihatkan tattoo di lengan bagian atasnya. Sementara itu dia membawa kaos putih dan celana panjang berbahan katun untuk Tawan.

“Thank you.” Gumam Tawan.

Joss memutuskan untuk menonton netflix demi membunuh waktu. Lelaki itu bersandar dengan pikiran yang bekelana. Dapat melihat wajah Tawan dalam jarak dekat membuatnya menyadari betapa rindunya dia dengan lelaki kecil itu.

Tadi dia memeluk Tawan tanpa persetujuan lelaki kecil itu, Joss ingin meminta maaf. Seharusnya tadi saat dia menawarkan pelukan, dia harus mendapatkan jawaban yang jelas terlebih dahulu apakah Tawan bersedia atau tidak.

Namun sekali lagi, itu diluar kuasanya. Tanpa sadar dia ingin memeluk Tawan dengan erat dan mengucapkan ratusan kata cinta pada lelàki itu, mengganti 6 tahun yang telah ia lewati tanpa kehadiran sang terkasih.

Tawan kembali dengan wajah yang lebih segar, pakaian Joss terlihat terlalu besar untuknya namun hal tersebut menambah kadar lucu seorang Tawan Vihokratana dimata seorang Joss Wayar.

“Sini.” Panggil Joss menepuk tempat duduk disampingnya.

Tawan tanpa banyak menyela duduk disamping Joss dan membuka beberapa makanan ringan yang disediakan Joss. Matanya menatap televisi yang menampilkan film yang juga ditontonnya, The Sun is Also a Star.

“Bisa gak, kita ngabisin semalaman tanpa pertanyaan? I just want to spend my night with you. I miss you.” Pinta Joss tiba-tiba.

Tawan mengangguk mengiyakan. Mau menolakpun rasanya Tawan tidak memiliki tenaga. Dia hanya ingin beristirahat dengan tenang dan nyaman.

“Come here.” Panggil Joss lagi.

Tawan menoleh dan melihat Joss sudah merentangan tangannya dengan lebar. Memberikan isyarat untuk Tawan menyambut ajakannya.

“Please, just one hug.” Pinta Joss lagi.

Tawan menghela nafasnya dengan pasrah dan menubrukan tubuhnya dengan tubuh besar Joss. Tangan lelaki itu melingkari pundaknya dengan erat, sementara bibirnya berkali-kali mengecup rambut Tawan.

“I miss you.” Bisik Joss.

Tawan tidak menjawabnya, dia hanya memeluk kembali Joss tak kalah eratnya. Mencari kehangatan yang yang selama ini tidak ia rasakan. Merasakan perasaan aman dan nyaman yang selalu lelaki itu berikan untuknya.

“Besok pagi flight ke Indonesia ya.” Bisik Joss.

Tawan yang mendengarnya terkejut dan berusaha melepaskan pelukan mereka berdua. Ke Indonesia? Maksudnya apa?

“Ke Indonesia?” Tanya Tawan memastikan.

“Iya. Gua mau ngajak lo ke rooftop FKM. Udah 6 tahun gak kesana kan?” Tanya Joss.

“Lu balik minggu kan? Ini masih kamis. Besok Jumat ke Indonesia, sisanya lu bisa di rumah ketemu orang tua lu.” Lanjut lelaki itu.

Tawan ingin menyanggah namun mendengar kata orang tua dia memutuskan untuk mengiyakan ajakan Joss untuk kembali ke Indonesia. Lagipula dia memang merindukan keluarganya. Dia akan memberitahukan pada atasannya besok kalau dia akan pulang selama 3 hari ke Indonesia sebelum kembali ke US.

“Thank you.” Ucap Tawan.

“Anything for you.” Bisik Joss.

Anything for you.

3 kata sederhana namun memiliki ribuan maksud terpendam. Joss Wayar menyadari hal itu bahwa dirinya terlalu banyak memberi pada Tawan. Namun tidak masalah untuknya karena Tawan memang pantas mendapatkan itu semua setelah segala hal yang dilaluinya.

Joss mengeratkan pelukan mereka dan berbisik pelan, “Welcome home, little Tawan.”

Satu hal yang Joss Wayar tidak ketahui, bahwa Tawan menitikkan air matanya saat mendengar kalimat penuh kelagaan itu. Joss Wayar tidak mengetahui, bahwa rumah dari lelaki kecilnya sudah berubah.

Bahwa Joss Wayar bukanlah rumah lagi untuk Tawan Vihokratana.


Joss dan Tawan kembali menginjakkan kaki dirooftop fakultas mereka. Begitu banyak yang berubah, 6 tahun benar-benar bukan waktu yang sebentar. Rooftop ini terlihat lebih bagus dari 6 tahun yang lalu, ada beberapa bangku, meja, dan bahkan ada beberapa rak besi yang berisi buku.

Rooftopnya juga diberikan atap, namun hanya dibagian kursi dan rak buku. Mungkin agar mahasiswa yang ingin bersantai tidak merasa panas, ataupun hujan.

“Wah gila makin bagus aja.” Puji Tawan.

Lelaki yang lebih tua itu berjalan mendekati rak buku dengan wajah yang sumringah, rak buku itu lebih banyak berisi buku-buku cerita fiksi dan sejarah dunia.

Tawan tersenyum semakin lebar membayangkan jika saja dulu saat dia masih berkuliah disini, rooftopnya sudah seperti saat ini, pasti tempat ini menjadi tempat kesukaan Tawan.

“Kangen?” Tanya Joss tiba-tiba.

Tawan mengangguk tanpa berpikir lebih jauh, lelaki itu sibuk membuka buku-buku yabg tersusun rapih di rak.

Joss sendiri memutuskan untuk medekati dinding pembatas rooftop dan memandangi kampusnya 6 tahun yang lalu. Matanya melirik Tawan yang masih asik dengan buku-bukunya, lelaki itu tidak bisa menyembunyikan senyumannya.

Joss memilih untuk duduk dan bersandar memperhatikan senyuman Tawan yang sejak semalam jarang sekali dilihatnya. Lelaki yang lebih tua itu lebih banyak diam jika bersamanya.

Joss menghela nafasnya dengan lelah, memutuskan untuk memejamkan matanya sejenak. Rasanya beberapa hari ini terlalu berat untuknya. Kehadiran Tawan saat ini membuatnya sedikit lebih tenang, sampai kapanpun kehadiran lelaki itu memang selalu berarti untuknya.

“Ngantuk?” Suara Tawan mengagetkan Joss.

Joss membuka matanya sedikit melirik Tawan yang saat ini sudah berada disampingnya dengan posisi yang sama. Joss tersenyum kecil dan menggeleng. Lelaki itu kembali memejamkan matanya.

“Bintangnya gak ada disini.” Ucap Tawan lagi.

Tawan memperhatikan Joss yang masih setia memejamkan matanya, namun Tawan tau bahwa Joss sudah pasti selalu mendengarkannya.

“Waktu gua di Kenya, setiap malem gua bisa liat bintang banyak. Bintangnya indah banget. 2 tahun disana bisa liat bintang terus, pas balik ke Atlanta kaget soalnya bintangnya ngumpet kayak disini.” Cerita Tawan.

“Disana juga hampir setiap hari, kita ngadain baca cerita bersama. Jadi ada yang dongeng ke mereka cerita anak-anak gitu. Mereka dengerinnya antusias banget, pada banyak nanya-nanya. Walaupun masih butuh bantuan translator tapi rasanya tetep seneng.”

“Kita juga jelasin tentang pekerjaan pekerjaan di dunia, terus banyak yang mau jadi dokter katanya mau sembuhin orang lain. Rasanya tuh terharu banget, walaupun keadaan mereka serba sulit, tapi cita-cita mereka setinggi langit.”

“Kayak lu ya?” Joss menanggapi dengan tiba-tiba.

“Hah?” Sahut Tawan tidak mengerti.

Joss membuka matanya dan menatap Tawan dengan pandangan hangatnya, “Iya kayak lu. Cita-citanya mulia dan setinggi langit.” Jelas Joss.

Tawan terkekeh kecil dan memilih memandangi langit daripada membalas tatapan hangat yang Joss berikan untuknya.

“Gimana hidup lo selama 6 tahun ini?” Tanya Tawan.

“Baik.”

“Syukurlah. Gua selama ini selalu khawatir sama lo. Apalagi pas dapet kabar dari Jumpol kalau lo pindah kampus. Gua merasa bersalah banget karena secara gak langsung gua udah jadi penghambat hidup lo.” Lirih Tawan.

Joss terkekeh kecil, “Bukan salah lu. Seperti yang gua bilang, ujungnya gua bakal megang perusahaan bokap gua. Jadi saat itu gua mikir, lebih cepat gua belajar bisnis. Lebih baik.” Sahut Joss dengan santai.

“Kenapa lo selalu anggap enteng semuanya? Kalau lo punya beban gapapa dibagi ke orang lain, Joss.” Suara Tawan berubah serius.

“Gua baik-baik aja? I'm here and still alive. That's enough.”

Tawan kembali menatap Joss dengan pandangan yang sukar diartikan, Tawan mencari kebohongan dari mata lelaki yang lebih muda, namun yang terlihat hanyalah pandangan penuh kasih sayang yang ditunjukkan untuknya.

Sekali lagi, Tawan merasa dunianya hancur karena dia tidak bisa membalas pandanagan lelaki itu dengan cara yang sama.

“Can I ask you more questions?” Tanya Tawan.

“Sure.”

Tawan menghela nafasnya dengan berat, “Kenapa lo tattooan?”

Joss melihat tattoo dilengannya dengan senyuman kecil, “My tattoos remind me of who I am when I start feel my identity getting blurred in thick of life. They root me when I start lose myself. They are about memorializing something so important it needs to be engraved on my skin.”

“Start lose myself?” Gumam Tawan.

“Gak ada maksudnya kok, cuma sebagai reminder aja.” Joss menenangkan Tawan yang menampilkan ekspresi sedihnya.

“Ada arti dari setiap tattoonya?”

Joss mengangguk dan mulai menjelaskan.

“Patience means, I should be patience while waiting for something good that might be happen in the future. The eagle head tattoo symbolizes focus and vision. The quotes on my left chest means nothing. I just randomly choose that one.” Joss menjelaskan tiga tattoonya dan memutuskan untuk berbohong pada arti tattoo ketiga.

Kill me softly

Tattoo di dada sebelah kirinya tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut kan?

“And skull with sword, flower, and wings represent the future and the past: remember, you will die. But how people will remember you depends on how you live your life today, that's all the meaning of the tattoos on front of my body.”

“The last one....” Gumam Tawan.

“Cool, isn't it?” Tanya Joss dengan kekehannya.

“Hm. Keren.” Tawan memutuskan untuk melipat lututnya dan menumpukan kepalanya diatas lutut sambil melihat Joss.

“And on the back?” Tanya Tawan lagi.

“The wings on my back represent a free individual who ready to fly at any time, and also for me the wings represent that you already fly on the sky and I need to fly as soon as possible too, to catch you, to fly with you and face the world together, and a compass tattoo to guide me way back home when I'm lost while searching for you.”

“And the lions represent no worries for the rest of your days.” Lanjut Joss dengan senyuman kecil yang terbit di wajah tampannya.

“Ah and the last tattoo” Ucap Joss menunjuk tattoo di dekat telinga kanannya, “An arrow with a compass on it represents the fact that, no matter how far away you are, your target will still be hit. This can be directed towards a phase of life where, even in the times of losing your path or way in life, you were still able to accomplish your goal or overcome a fear or unexpected situation.”

Tawan kehilangan kata-katanya, bahkan setelah 6 tahun berlalu, rasanya selalu Joss yang selalu memberikan dirinya cinta yang banyak.

Tawan bahkan belum sempat menunjukkan perasaannya untuk lelaki itu, dan sekarang perasaan yang dimilikinya perlahan menghilang. Lelaki itu terlalu banyak mengorbankan dirinya sendiri untuk orang lain.

“Why'd you do that?” Lirih Tawan.

“Because I love you.” Balas Joss tanpa berpikir panjang.

“Don't love me...” Tawan bergumam lirih.

“Hm?” Joss bertanya karena tidak mendengarkan jawaban Tawan terlalu jelas.

“Thank you for loving me.” Jawab Tawan.

Joss hanya tersenyum kecil, kembali memperhatikan langit kota Jakarta di malam hari. 6 tahun lalu dia melakukan ini bersama Tawan, di tempat yang sama, pada jam yang sama.

6 tahun lalu dia merelakan Tawan ditempat ini, jika saat ini dia kembali harus merelakan lelaki itu, maka Joss akan membiarkannya.

“How about you? 6 tahun ini ada yang menyenangkan gak?” Giliran Joss yang bertanya.

“Banyak. Banyak banget. Sampe rasanya selain bersyukur gua gatau lagi mau ngapain.” Jawab Tawan.

“Kalau tentang volunteering yang gua jalanin tadi udah sekilas ya, kayak gitu lah garis besarnya. Disana banyak pengalaman yang didapet yang mungkin gak bakal keulang nanti. Kalau masalah kerjaan, kerjaan gua baik-baik aja. Gua bahagia kerja disana.”

“I'm a chief of division of health informatics and surveillance systems. Dulu pas pertama kerja gua masuk divisi TB eliminations selama 2 tahun, terus pindah jadi staff di divisi zoonotic infectious disease selama 6 bulan, dan terakhir ngajuin diri jadi staff bagian surveillance systems selama 1 tahun dan baru 6 bulan belakangan ini jadi chief division.”

“Punya temen pas 1 tahun kerja di divisi TB, namanya Michael dia lebih muda 1 tahun dari gua. Terus kita mutusin buat tinggal 1 apartment berdua biar mengurangi pengeluaran, terus Michael punya pacar sejak dia SMA namanya Evan. Sering nginep juga, mereka berdua baik banget.”

“Terus apalagi ya yang harus gua ceritain?” Gumam Tawan.

Joss menahan dirinya untuk mengusak rambut Tawan, “Your love story?” Tanya Joss dengan jahil.

Pipi Tawan sontak memerah, bayangan Thanat menari dipikirannya. Sudah seminggu tidak bertemu lelaki dengan wajah menenangkan itu. Tanpa sadar Tawan tersenyum dengan indahnya.

Joss memalingkan wajahnya dari wajah berseri yang diberikan oleh Tawan, bibirnya menerbitkan senyuman kecil. Tawan terlihat bahagia, dan dia tidak bisa meminta lebih daripada ini. Kebahagiaan Tawan adalah hal terpenting untuknya.

“Tell me about him.”

Rasanya dunia Tawan seakan jatuh untuk sekian kalinya, Tawan melihat Joss dengan pandangan bersalahnya. Dia tidak sadar bahwa tadi dirinya tersenyum ketika memikirkan tentang Thanat. Tawan mencoba membaca raut wajah lelaki itu, namun Joss terlalu pintar untuk menyembunyikan perasaannya.

Joss yang menyadari pikiran Tawan saat ini memutuskan untuk mengusak rambut lelaki itu dengan gemas, kekehannya terdengar dengan renyah. Tawan tidak pernah berubah. Lelaki itu selalu mudah untuk dibaca jika sedang bersamanya.

“Rules number one, always tell someone how you feel, because opportunities are lost in the blink of an eye but regret can last for a lifetime. Just tell me, it's fine.” Ucap Joss menenangkan.

“No. I'm sorry.” Lirih Tawan.

Joss menangkup wajah Tawan dengan tangannya yang hangat, matanya menatap Tawan dengan tatapan teduhnya, “Why you said sorry? You did nothing wrong, Little Tawan. It's completely okay to fall in love again. If he loves you unconditionally and gives you all the happiness which you were deprived of before, then it's okay to fall in love again.”

“Little Tawan, hey. Did you remember one of my insta story six years ago? After we broke up?” Tanya Joss.

Tawan menggeleng kecil, Bagaimana dia bisa mengingat insta story 6 tahun yang lalu.

“Make a list. Write down the most important things. I will give you the first. You.” Ucap Joss dengan suara menenangkannya.

Tawan menggelengkan kepalanya lagi tidak setuju dengan pernyataan Joss, “No. Please make yourself a priority once in a while. It's not selfish. It's necessary.”

Joss tersenyum kecil, “I will, but tell me about him first.”

“No, it's my turn to ask you. Kenapa baru muncul sekarang setelah 6 tahun menghilang?” Tawan mencoba membuat Joss melupakan tentang Thanat.

“Karena gua baru menyelesaikan kuliah gua. Kalau gua muncul di hadapan lu masih sebagai seorang mahasiswa, apa bedanya sama yang sebelumnya? Gua mau muncul didepan lu sebagai seorang lelaki yang udah jadi pinjakan yang kokoh.” Jelas Joss.

“Gua kuliah bachelor dulu di Harvard University, Business Administration. 4 tahun. Selama 4 tahun gua nyoba fokus sama kuliah, supaya gua gak samperin lu. Padahal saat itu kita satu benua. Kesempatannya banyak kan? Tapi gua mikir lagi. Gua masih berstatus mahasiswa, kalau gua balik pun rasa-rasanya kurang pantas.”

“Jadi gua mutusin buat fokus kuliah sampe lulus. Setelah lulus gua lanjutin magister gua di INSEAD Singapore. Tadinya mau di France tapi ayah gua minta di Singapore aja karena gua sekalian kerja perusahaan. Gua diperusahaan juga kerja jadi karyawan biasa. Uang gua masih sedikit. Gua belum bisa samperin lu karena gua masih gitu-gitu aja. Beda sama lo yang udah hebat.”

“Gua kuliah sambil kerja, hampir setiap minggu pasti gua selalu bolak balik Indonesia. Sampe akhirnya beberapa bulan lalu gua diangkat jadi CMO sama ayah gua. Keuangan gua udah stabil, uang hasil kerja keras gua sendiri. Sampe akhirnya gua baru punya kesempatan buat ketemu lu kemarin, tanpa pikir panjang gua gunain kesempatan gua, and here I am.” Joss tersenyum setelah menyelesaikan ceritanya.

“Lo di US 4 tahun?” Tawan bertanya sekali lagi untuk memastikan dan dibalas Joss dengan anggukan yakin.

“Wow.” Tawan kehilangan kata-katanya. 4 tahun merupakan waktu yang lama, dan Joss Wayar tidak sekalipun mendatanginya dalam waktu 4 tahun itu.

Katakan Tawan egois, namun meskipun Joss datang dengan status mahasiswanya, Tawan tidak perduli. Dia akan tetap menerima Joss. Kalau Joss tidak bisa menjadi pijakannya, biarkan Tawan yang menjadi pijakan lelaki itu. Namun sepertinya Joss memilih untuk tidak menemuinya.

“4 tahun dan lo gak ada niat untuk nemuin gua. Sementara gua di US, setiap kali ada kesempatan gua selalu mikirin lo, Joss Wayar.” Ucap Tawan penuh penekanan.

“I already tell the reason.” Bantah Joss dengan kalem.

“There's no excuse. At least, you can tell me, but you didnt even message or email me.” Ucap Tawan lagi.

“Ok. That's my fault. I'm sorry.” Joss mengalah. Tidak ingin bertengkar.

“Lo tau gak rasanya kayak gimana? Setiap hari gua selalu punya rasa bersalah ketika gua denger lo keluar dari FKM. Gua selalu ngerasa jadi penghalang buat lo. Gua ketakutan, gua takut nanti lo gak bakal balik lagi, gua selalu percaya sama kata-kata lo tentang kita bakal ketemu lagi kalau waktunya udah pas. Setahun, dua tahun, sampe 6 tahun bahkan gua masih selalu inget.”

“I try so hard to trust you. I keep your promise and waiting for you. Gua nutup hati. Gua pura-pura gak tau kalau ada yang deketin gua. Gua pegang semua janji lo. Semua kenangan 6 tahun lalu setiap hari terbayang-bayang, gua kangen sama lo, tapi gua gak bisa ngelakuin apa-apa.”

“And after a while, I got tired of waiting for you and I had to leave you behind, not because there's no love, but because there was no growth.”

“Setelah gua bisa merelakan, semua orang seakan nyalahin gua karena gua udah milih jalan hidup gua. Everyone keep asking about you. Terus gua harus jawab apa? Gua bahkan gatau lo dimana, apa lo masih inget gua, gua bener-bener buta sama segala hal tentang lo, dan semua orang seakan nyalahin gua karena gua udah mencoba buat lupain lo.”

“Apa gua gak boleh jatuh cinta lagi?” Tawan terisak kecil menumpahkan semuanya.

“Sekarang lo dateng, seakan-akan 6 tahun ini bukan apa-apa. Lo dateng langsung nanyain apa gua punya jawaban atas email lo 6 tahun lalu. Apa lo gak merasa kalau lo keterlaluan?” Tanya Tawan diantara isakannya.

Sekarang Joss mengerti. Seharusnya sejak dulu dia sudah mengerti bahwa dia hanya jatuh cinta sendirian. Sejak awal hanya ada dirinya dan perasaanya. Sejak awal, mungkin dia memang hanya jatuh cinta sendirian.

He saw the sign but he chose to ignore them. Sekarang Joss melihatnya sendiri. The distant look in his eyes, and the lack of emotion. The lack effort he began to give, and how their conversation just seemed to end. He didn't want to accept the truth that was bluntly in front of his face.

Joss mengingatkan dirinya bahwa Tawan tidak perlu tahu apa yang sudah dilaluinya, semuanya adalah kesalahannya. Kesalahannya dalam membuat janji yang tidak bisa dipenuhinya dengan sempurna. Kesalahan dirinya yang tidak sesuai ekspetasi yang Tawan bayangkan.

“I'm sorry for the times I hurt you. I'm sorry.” Bisik Joss pelan.

“You're so dumb. So dumb. Dumb. Dumber. Dumbest.” Teriak Tawan cukup keras. Tangan kecilnya memukul lengan Joss Wayar tanpa belas kasih.

“Lo paling tolol bego paling bikin gua benci. Gua benci banget sama lo. Marah. Marah ke gua. Omelin gua. Balikin kata-kata jahat gua. Kenapa lo minta maaf?!” Tangis Tawan.

Joss tidak membalas ucapan Tawan ataupun menghentikan pukulan lelaki itu. Dia hanya membiarkan Tawan meluapkan emosinya. Membuat beban lelaki itu terangkat sepenuhnya.

“Kenapa lo gak kasih pembelaan diri lo sendiri. Kenapa lo malah minta maaf. Kenapa. Gua udah jahat sama lo Joss Wayar. Kenapa?” Lirih Tawan dengan suara tercekat.

“Because it's my loss. You've done everything you could do. You've been patient, you've waited, you've prayed, and even in the most trying of times you remained loyal and respected “us” while I wasn't around, and if you fell in love with someone else, that's fine. Because you've done more than enough for me.” Ucap Joss.

“I told you to make yourself a priority.” Isakan Tawan belum berhenti.

“You want me tell about him? Okay. I'll tell about him.” Bisik Tawan.

Joss Wayar tersenyum kecil dan mengelus pipi Tawan yang terasa dingin dengan lembut. Siap mendengarkan tentang lelaki yang membuat Tawan menampakkan rona dipipi tembamnya.

“Namanya Thanat Lowkhunsombat. Deputy Director CDC bagian Penyakit Menular. Udah kerja di CDC selama 12 tahun. Umurnya sekarang 35 tahun, dia kerja sejak umur 23 tahun. Dia ketua team gua di divisi TB elimitations, orang Yogyakarta. Sejak awal kenal, dia udah banyak bantu gua bahkan sampe gua jadi ketua divisi dia masih banyak bantu gua.”

“He was and he is a nice guy. Nothing changed since the time I knew him and now. He is very understanding, caring, and respect me a lot. At very stage of my life, he's there for me when you're not around. He motivates me, and he gave me strength. He always supported me in everything I did. He was a very wise man and I realised at early age I could learn a lot from him.”

“He always gave me the right answer. But above all he was a very easy-going guy and last week, he said he fall in love with me and he asked my permission to meet my parents in the end of year.” Bisik Tawan dengan lirih.

Matanya sudah memerah karena terlalu banyak menangis. Lelaki itu memperhatikan Joss yang masih tersenyum dengan tatapan mata hangatnya.

“I'm glad you found him.” Respon Joss tidak terduga.

Tawan menyembunyikan wajahnya dan kembali menangis terisak. Joss memalingkan wajahnya melihat Tawan yang menangis dengan begitu menyedihkan. Seperti terluka dengan sangat dalam.

Joss memejamkan matanya, berharap pilihannya kali ini tidak salah. Berharap apa yang dia lakukan merupakan pilihan terbaik untuk dirinya, untuk Tawan, dan untuk Thanat.

“Gua serius. Gua bersyukur lu ketemu sama orang baik. Gua bersyukur ada orang lain yang bisa liat betapa pantasnya lu buat dicintai. Gua bahagia bang, seenggaknya lu dikelilingin sama orang-orang baik yang sayang sama lu.”

“Little Tawan, I love you. Kalau akhirnya nanti bukan gua dan lu, gua bakal tetep bilang kalau gua sayang sama lu.”

“Gua juga berterima kasih. Gua bersyukur banget bisa kenal sama lu dihidup gua. Meskipun bukan lu dan gua pada akhirnya, seenggaknya gua pernah jadi pelukan yang bikin lu ngerasa aman, pernah bikin lu ketawa, pernah jadi orang yang paling lu sayang, dan pernah ngerasain indahnya jatuh cinta sama manusia paling keren di dunia.”

“Thank you for loving me, Little Tawan.” Bisik Joss Wayar.

Tawan tidak membalasnya, suara tangisannya semakin keras.

“Little Tawan, and now I will choose myself.”

“I loved you enough to let you leave, and now I loved myself enough to let you go.” Ucap Joss dengan yakin.

Tawan menggelengkan kepalanya, tangisannya tidak bisa berhenti. Dia mengepalkan tangannya dengan erat.

“6 tahun dan lo masih kayak gini? Kenapa lo selalu mutusin semuanya sendirian? Lo gak pernah nanya mau gua apa, lo gak pernah nanya apa gua bahagia?”

“Lo selalu begitu. Ask me. Ask me if i'm happy or not, ask me to stay. Ask me to stay with you, you dumbass.” Teriak Tawan.

Joss Wayar menggelengkan kepalanya dan mencoba memeluk Tawan dengan sisa tenaganya namun Tawan menepis lelaki itu. Menjauh. Memberikan jarak.

“Look me in the eyes, and tell me you let me go and you will be happy.” Ucap Tawan dengan berani.

“You know it little Tawan. We never made it, did we?” Ucap Joss dengan suara pelannya.

“Tell me you let me go and you will be happy.” Tawan mengulang ucapannya.

Joss Wayar menatap Tawan dengan senyuman sendunya, berbeda dengan senyuman sendu yang diberikan matanya menatap Tawan dengan yakin.

Keheningan terasa mengcekam diantara keduanya, Tawan masih menatap Joss begitupula dengan lelaki itu. Bagaimana bisa Joss mengatakannya dengan lantang jika tatapan mata Tawan seakan memintanya untuk bertahan?

“Tell me you let me go, Joss Wayar. Tell me you loved yourself enough to let me go. Tell me the words you've said 6 years ago. You will let me fly again.” Ucap Tawan lagi.

Joss terdiam sebentar, “I loved you enough to let you leave, and I love myself enough to let you go, Tawan Vihokratana.” Ucap Joss dengan tegas.

Tawan tersenyum kecil, “Joss Wayar, In your hesitation, I found my answer.” Gumamnya pelan.

You've Got Mail: Epilog Chapter 4

Tawan menyeret kopernya keluar dari kamar, matanya menangkap pemandangan Michael dan Evan yang sedang menonton kartun bersama. Senyum kecilnya terbit menyaksikan pemandangan manis itu.

“Micha nanti lo seminggu tidur di sini apa di apart Evan?” Tanya Tawan menginterupsi kedua sejoli tersebut.

“Kayaknya diapart Evan deh. Lebih deket juga soalnya ke kantor.” Jawab Michael melirik Tawan yang sudah rapi dengan kopernya.

“Ini beneran gamau gue yang nganter?” Lanjut Michael.

Tawan berjalan mendekati kedua sejoli tersebut dan mendudukan dirinya di tengah-tengah mereka sambil memerkan senyuman jahilnya.

“Gak usah, gua dianterin sama deputy director lo berdua.” Jawab Tawan dengan intonasi mengejek.

Tawan merasakan pukulan pelan dari bahu kanan dan kirinya, dia melirik Evan yang memasang wajah meledek dan Michael yang sudah tertawa dengan keras.

“Anjrit gak nyangka beneran jadi lu sama deputy director paling ganteng se-CDC.” Kekeh Michael.

“Beneran Tay? Udah fix banget ini lo sama Thanat?” Gantian Evan yang bertanya.

Tawan terkekeh kecil, “Doain aja deh ya dia juga mau ke rumah pas pulang ke Indonesia nanti.” Jawab Tawan wajah yang memerah.

“SUMPAH LO BISA BISANYA LANGSUNG KE ARAH SANA?” Teriak Michael tidak mempercayai pendengarannya.

Tawan menyenderkan tubuhnya pada sofa dibelakangnya, dikanan kirinya Evan dan Michael menghadap ke arahnya dengan wajah penasaran.

“Ya gatau, diajakinnya ke arah serius.” Jawab Tawan dengan yang fokus ke arah televisi.

“Wajar sih, Thanat udah waktunya buat nikah juga bagi gua. Udah 35 kan.” Celetuk Evan memberikan pendapatnya.

“Ya bener tapi dia pede banget kali ya bakal diterima. Kaget gue, dia gak pake pendekatan-pendekatan dulu apa.” Celetuk Michael.

“Kayaknya yang, itu dia udah pendekatan dari lama deh tapi Tay gak sadar jadi dia mulai ambil langkah soalnya udah lama juga kalau dia emang pendekatan dari dulu.” Ucap Evan menanggapi pernyataan Michael.

“Ini kenapa lo berdua yang berspekulasi didepan gua? I'm hereeee helloooo?” Protes Tawan.

Michael terkekeh dan menyandarkan kepalanya di bahu Tawan dengan nyaman. Dia sangat menyayangi temannya ini, dari awal dia bekerja di CDC, Tawan sudah banyak membantunya.

“But I'm glad, artinya lo udah bisa ngelepasin masa lalu lo kan? To be honest gue sempet khawatir pas tau kalau lo masih condong ke masa lalu, lo gak pernah cerita tentang orang itu dan gue pikir selama ini lo emang orang yang gak perduli cinta-cintaan terus pas tau lo punya cinta belum selesai gue ngerasa gagal jadi temen.” Jujur Michael.

Tawan melirik Michael dengan penuh kasih sayang, rasanya sangat terharu karena dia memiliki orang-orang baik disekitarnya.

“Hehehe maaf ya Micha lo baru tau setelah 3 tahun temenan sama gua. Gua agak kurang nyaman aja bicarain Joss selama ini.” Tawan mengelus rambut Michael.

“Namanya Joss?” Tanya Michael dan Evan bersamaan.

Tawan menangguk, “Joss Wayar Sangngern.” Jelasnya.

“Buset namanya cakep.” Celetuk Evan.

“Iyakan? Orangnya juga ganteng, kepribadiannya juga bagus, dan kata-kata yang dia ucapin juga sama bagusnya.” Jawab Tawan dengan senyumnya.

Michael dan Evan melirik satu sama lain, Evan memutuskan untuk menyenderkan kepalanya di bahu Tawan, mengikuti kekasihnya.

“Pas kapan pacaran sama si Joss ini?” Tanya Evan.

“Kuliah semester akhir.”

“Mau denger ceritanya!!” Ucap Michael dengan semangat.

Tawan terkekeh dan menceritakan dirinya dan Joss secara singkat, lelaki itu kebanyakan menceritakan tentang betapa baiknya Joss dan apa yang lekaki itu lakukan untuknya. Seperti sebuah template diotaknya, dia hanya akan menceritakan hal bahagia tentang Joss.

“Gila sih pantes aja lo susah move on Te.” Respon Michael setelah mendengar cerita Tawan. Tawan sendiri hanya mengangguk membenarkan.

“Ada instagramnya gak? LIAT SIH GUE PENASARANNN.” Lanjut Hangyul dengan wajah super penasarannya.

Tawan terdiam sebentar, akun Joss Tawan hide dan dia tidak pernah membuka profil lelaki itu lagi. Namun dia juga penasaran, apa saja yang sudah Joss lalui selama ini.

“Ada..” Jawab Tawan dengan suara kecil.

Tawan mengambil ponselnya dan membuka aplikasi instagram. Tangannya terasa lemas, setelah 6 tahun berlalu dia baru memiliki keberanian untuk melihat akun Joss. Dia harus menunggu 6 tahun untuk melihat apa yang lelaki itu sudah lalui. Apakah lelaki itu melalui hari-harinya dengan baik?

Tawan mengetik username instagram yang sudah dihafalnya diluar kepala.

“Josswayar” Rapal Tawan dalam hati.

Layar ponselnya menunjukkan profil instagram Joss yang tidak pernah dilihatnya selama ini.

“Whoa followersnya banyak.” Komentar Evan saat melihat akun instagram Joss. Sementara Michael mengangguk membenarkan perkataan sang kekasih.

Tawan menampilkan wajah terkejut saat melihat feeds instagram lelaki itu, bukan hanya Tawan namun Michael dan Evan juga menampilkan wajah terkejut yang sama.

“Tattooan?” Tanya Michael dan Tawan bersamaan. Kedua sahabat itu saling melirik satu sama lain dengan wajah yang sama-sama terkejut.

“Anjir berani banget buat tattoonya keren banget yang tattoo sayap.” Komentar Evan menunjuk salah satu foto yang dipost oleh Joss.

“Dulu tattooan gak Te?” Tanya Michael penasaran.

“Engga, makanya gua juga kaget.” Jawab Tawan masih dalam kebingungan yang jelas.

Diotaknya muncul banyak pertanyaan, sejak kapan? sejak kapan lelaki itu memiliki tattoo? apa maksud dari semua tattoonya? Hal seperti apa yang dilewati oleh lelaki itu sampai dia membuat tattoo begitu banyaknya?

“Tapi jujur Te, ini tattoo sayapnya kenapa cocoo banget ya? Tapi ada kesan sedihnya sayapnya, bukan sayap yang indah gitu tapi cocok ngerti gak?” Komentar Michael.

Tawan juga memperhatikan foto punggung Joss dengan seksama. Hatinya entah mengapa terasa tercubit. Sayapnya, itu artinya apa? Singa, kompas dan huruf kanji itu apa?

Jujur, Tawan sangat penasaran. Rasanya ia ingin bertanya pada lelaki itu langsung. Tawan ingin melihat tattoo itu secara langsung, dengan mata kepalanya sendiri.

“Lo putus sama yang modelan begini ya gue kalau jadi lo juga gagal move onnya pasti lama banget.” Celetuk Michaelagi.

Tawan hanya tersenyum kecil, Joss memang salah satu mahasiswa tertampan di Monokrom dulu. Dia juga memiliki badan yang bagus sejak dulu, jadi Tawan tidak terlalu kaget melihat Joss yang sekarang. Tidak jauh berbeda tapi ada beberapa hal yang membuat Tawan merasa asing dengan Joss.

“Eh tapi sekarang dia lagi dimana deh? Lo gak pernah meet up lagi sama dia Te?” Tanya Michael penasaran.

“Gak sih, gua juga gak tau dia dimana kayaknya di Indonesia deh? Udah 6 tahun gak pernah ketemu. Kalau pulang ya gua full family time sama nyamperin temen-temen gua.” Jawab Tawan.

“The difference between your boyfriend and your ex boyfriend gede juga ya. Kayak Thanat tuh udah yang dewasa banget kalau Joss ini keliatan tipe yang konyol kekanakan ya.” Evan kembali memberikan pendapat.

“Konyol sih bener, tapi kalau kekanakan sih enggak. Dulu dia terus yang ngertiin gua sih emang udah baik aja dari sana-nya. Kalau Joss lebih kayak pacar yang bisa dijadiin sahabat, partner crime, bro, terus seneng explore dunia baru, kalau mas Thanat lebih ke kakak kali ya? Karena pemikirannya udah dewasa banget jauh dari gua.” Jelas Tawan.

“Terus kal-” Ucapan Michael terputus dengan terdengarnya suara bel yang berbunyi di penjuru ruangan.

Tawan menepuk paha Michael dan Evan sebagai tanda untuk memindahkan kepala mereka yang masih asik menyender dipundaknya. Dengan tidak rela Michael mengikuti kode dari Tawan.

“Deputy director ya?” Tanya Evan setelah dia menyamankan posisi bersandarnya.

“Iya” Teriak Tawan, lelaki itu berjalan menuju pintu apartmentnya.

“Tadaaaa” Ucap Thanat dengan semangat.

Tawan dikagetkan dengan tumbler starbucks yang dibawa oleh Thanat. Tumbler itu persis didepan hidungnya.

“Mas kaget tau gak sih?” Omel Tawan. Namun lelaki itu tetap mengambil tumblr yang diberikan oleh Thanat.

“Mas tadi mampir ke starbucks dulu?” Tanya Tawan.

Tawan berjalan menuju dapurnya dengan Thanat yang masih setia mengikuti lelaki yang lebih muda itu.

“Kemarin malem kebetulan ada tumbler yang elsa itu, baru keluar. Lo pasti belum punya juga kan.” Jawab Thanat dengan santai.

Thanat melihat sekeliling dan menemukan dua orang karyawannya sedang asik menonton kartun sambil memakan makanan ringan.

“Seru amat.” Celetuk Thanat mengagetkan kedua sejoli tersebut.

“Thanat. Dateng juga lo.” Sapa Evan.

Thanat hanya terkekeh dan duduk disebelah Evan, tangannya mengambil makanan ringan yang berada dipangkuan Evan dan memakannya.

“Mas Thanat ini mau langsung ke bandara aja atau mas mau disini dulu?” Tanya Tawan.

“Micha, mas Thanat beli tumbler starbucks yang baru tuh ada dibelakang kalau mau pake, pake aja ya. Dia beli dua.” Lanjut Tawan.

Michael mengangguk dan mengucapkan terima kasih pada atasannya itu, Thanat memang kerap kali membelikan barang kembar untuk Tawan dan Michael.

Saat Michael bertanya alasan Thanat membelikannya barang, Thanat hanya menjawab kalau dia selalu ingat dengan Michael ketika sedang membelikan Tawan barang dan akhirnya dia membeli dua barang yang sama, yang membedakan terkadang hanya warna atau motifnya.

Banyak sekali baju ataupun sepatu Tawan yang kembaran dengan Michael, begitu pula tumblr, cangkir, bahkan sendok dan garpu.

“Yaudah langsung aja yuk?” Ajak Thanat. Lelaki yang lebih tua itu mengambil koper Tawan dan membawanya keluar.

Tawan sendiri membiarkan Thanat berbuat sesuka hatinya, sementara dia berpamitan dengan Michael dan Evan.

“Micha inget makannya jangan telat, terus jangan kebanyakan beli minuman soda. Susunya diminum kalau mau tidur oke? Evan juga jangan lupa stock banyak susu buat Michael.” Pesan Tawan pada kedua orang tersebut.

Michael bangkit dan memeluk Tawan dengan erat, “Have a safe flight and take care!!! Hope u find ur happiness in Singapore.” Ucap Michael mengeratkan pelukannya pada Tawan.

Evan yang tidak mau ketinggalan ikut memeluk Tawan dalam pelukannya. Mereka bertiga berpelukan dengan erat, seakan tidak ada hari esok.

“Nanti gua beliin oleh-oleh oke? Sampai ketemu seminggu lagi Michael, Evan.” Pamit Tawan.

Tawan sekali lagi memeluk mereka berdua dan berjalan keluar menyusul Thanat yang sudah berada di depan. Lelaki itu melambaikan tangannya dan menutup pintu dengan semangat.

Thanat menyambutnya dengan senyuman kecil, seakan ikut merasakan kebahagiaan Tawan yang akan meninggalkan Atlanta untuk seminggu ini.

“Seneng banget?” Ledek Thanat.

“Seneng lah mas, gua akhirnya bisa keluar dari US walaupun cuma seminggu.” Kekeh Tawan.

Thanat terkekeh dan mengusak rambut Tawan dengan gemas, lelaki itu memberikan jemarinya pada Tawan.

“Mau pegangan tangan gak?” Tanya Thanat.

Wajah Tawan memerah karena malu dan kaget. Thanat selalu melakukan hal manis secara tiba-tiba.

“Apaan sih mas, cringe.” Protes Tawan, namun lelaki itu tetap menyambut uluran tangan Thanat.

Senyum Thanat melebar saat merasakan tangan hangat Tawan yang menggenggam erat tangannya. Rasanya aneh sekali, dia sudah berkepala tiga namun dia merasa dirinya kembali seperti anak SMA yang baru pertama kali pacaran.

“Ada yang bakalan kangen kayaknya.” Ucap Thanat tiba-tiba.

Tawan memiringkan kepalanya, “Siapa?” Jawabnya dengan polos.

“Lee Thanat.”

Tawan menggelengkan kepalanya mendengar jawaban aneh Thanat. Benar-benar definisi pdkt orang tua. Perbedaan umur diantara keduanya sangat terasa jika Thanat sedang menjalankan aksinya.

Perjalanan mereka menuju bandara diisi dengan obrolan seputar kasus kasus kesehatan yang saat ini sedang banyak terjadi. Tawan memang sangat senang berbicara dengan Thanat, karena pengalaman lelaki itu lebih banyak darinya dan Tawan bisa belajar banyak hal baru.

“Tapi mas, kenapa ya kita CDC setiap tahunnya pasti selalu kirim relawan ke Afrika, dan masalah yang dihadapi tuh masih sama yaitu gizi buruk. Padahal udah banyak program yang berlangsung.” Keluh Tawan.

“Ya balik lagi ke pemerintahnya sih Tay, kita kan lagi-lagi cuma relawan disana. Semuanya balik lagi ke kebijakan pemerintah disana, bidang kesehatan mereka juga cukup jalan tapi emang sulit buat reach out orang-orang disana. Tau kan rasanya gimana pas kemarin jadi petugas lapangan?” Thanat bertanya kembali.

“Iya susah banget, apalagi buat masuk ke masyarakat. Kita bener-bener harus berbaur dibudaya mereka, terus juga pas lagi penyuluhan kita harus kasih contoh berdasarkan lingkungan disekitar mereka dan paling susah perbedaan bahasa sih mas. Kemarin kalau gak pake penerjemah, udah nangis kali ya gua.,” Jawab Tawan.

“Udah gitu disana kita gak fokus ke kesehatan juga, karena pendidikan mereka disana gak memadai kita juga ambil tugas jadi pengajar anak-anak. Tapi seneng mas, karena dua tahun disana udah banyak anak-anak yang bisa baca dan nulis.”

“Terus waktu itu kan setiàp orang megang satu balita kurang gizi, dan balita yang gua pegang, pas gua cabut berat badannya udah mencukupi buat balita seusia dia. Gila gua seneng banget sampe nangis waktu itu.” Lanjut Tawan.

“Seru ya? Bukan meromantisasi kemiskinan, tapi disana bikin paham makna dari kalimat “bahagia itu sederhana” karena disana emang bahagia sesederhana itu. Contohnya kita bagi satu permen ke anak-anak disana, tapi senyuman mereka udah selebar itu. Coba anak-anak di kota besar, pasti mereka bakal marah dan minta lebih.” Ucap Thanat.

“Terus disana kita juga bisa paham arti kekeluargaan yang sesungguhnya, meskipun mereka serba kekurangan, mereka tetep bantu satu sama lain. Indah banget. Somehow disana bisa jadi tempat yang tepat buat ngilangin penat sama hiruk piruk dunia.”

“Iya bener, itu juga alasan gua secara sukarela ikut jadi relawan. Mereka indah, mereka baik. Kalau disuruh balik lagi 2 tahun disana, gua akan bilang iya tanpa pikir panjang.” Sahut Tawan dengan senyum kecilnya mengingat kebaikan orang-orang disana.

“Ayo nanti balik kesana? Gak usah dibawah naungan CDC kita kesana aja 2 minggu, buat bagi-bagi rezeki ke mereka.” Ajak Thanat.

Tawan menatap Thanat dengan binaran mata yang jelas akan kebahagiaan.

“Beneran? Beneran? Ayooo!!! Nanti gua ajak temen-temen gua buat donasi.” Ucap Tawan semangat.

Thanat mengarahkan tangannya ke rambut Tawan dan mengusapnya pelan, “Iya ayo. Tahun besok ya? Kan tahun ini cutinya pulang ke kampung halaman.”

“Oke nanti gua tagih ya.” Ucap Tawan dengan penuh dedikasi.

Thanat terkekeh dan kembali memusatkan perhatiannya ke jalan, tanpa sadar mereka sudah sampai di Hartsfield–Jackson Atlanta International Airport. Ketika koran-koran itu membicarakan bawha Hartsfield-Jakson menjadi bandara tersibuk di dunia, memang benar adanya.

Banyak sekali orang yang berlalu, ada yang menjemput dengan wajah bahagia dan aja pula yang melepas dengan wajah sedihnya. Namun Thanat berbeda dari yang lainnya, dia mengantar Tawan dengan wajah bahagia, siapa pula yang tidak bahagia jika orang yang dicintai menampilkan senyuman yang tidak pernah luntur dari wajah manisnya.

“Mas gak usah dianter sampe dalem, sampe sini aja.” Ucap Tawan.

“Kenapa?” Tanya Thanat penasaran.

“Gapapa sih, lagian kan cuma seminggu perginya. Kalau sampe dalem aneh tau ga si rasanya. Biasanya kalau tugas ke luar US juga gak dianter sampe dalem.” Jawab Tawan.

Thanat tertawa geli mendengar alasan Tawan, tapi benar juga sih semenjak pengakuannya kemarin pada Tawan rasanya Thanat ingin selalu bersama lelaki itu.

“Yaudah berarti mas gak usah parkir ya? sampe sini aja kan?” Tanya Thanat.

Tawan mengangguk dan keluar dari mobil untuk mengambil kopernya di bagasi. Thanat ikut keluar untuk membantu Tawan menurunkan koper.

“Oh iya tadi mau komentar lupa, tapi enteng banget kopernya?” Tanya Thanat.

“Gak bawa baju banyak, nanti kalau kurang beli aja disana.” Jawab Tawan dengan wajah sombongnya.

“Lah udah bisa flexing” Thanat tertawa semakin geli.

Tawan sudah memegang erat kopernya, dia menatap Thanat dan tersenyum dengan lebar, “Sooo, dadah mas?” Ucap Tawan dengan semangat.

Thanat mendekatkan dirinya ke arah Tawan dan memeluk lelaki itu dengan erat, “Hati-hati disana Tay.” Pesan Thanat.

Tawan melepaskan pegangannya pada koper dan menepuk pelan punggung Thanat dan terkekeh kecil, “Iyaaa mas.”

Thanat melepaskan pelukannya pada Tawan dengan senyuman yang masih terpasang diwajah tampannya, “Yaudah, dadah Tay?”

“Dadah masssssssssss.” Balas Tawan dengan memanjangkan panggilannya pada Thanat.

Lelaki yang lebih muda itu berjalan meninggalkan Thanat dengan wajah yang masih terpaku pada wajah Thanat. Sekali lagi Tawan melambaikan tangannya dengan semangat yang dibalas lambaian tangan tidak kalah semangatnya.

Tawan menatap bandara yang penuh dengan orang-orang, di dalam hatinya dia merasa bahwa dia akan sering mengunjungi bandara. Entah untuk apa, tapi Tawan yakin perjalannya kali ini akan membuat dirinya bahagia.


Setelah kurang lebih 23 jam berada di udara, Tawan akhirnya sampai di Changi dengan keadaan yang lemas dan lesu. Sudah lama dia tidak berada selama itu di pesawat dan sekarang rasanya dia mengalami jetlag.

Beruntungnya konferensinya berlangsung dari selasa hingga kamis. Jadi dia memiliki waktu untuk tidur hari ini. Tawan menyeret kopernya dengan malas, Jumpol baru akan sampai disini nanti malam. Saat ini dia dijemput oleh Daniel, one of conference Organizing team.

“Mr. Tawan Vihokratana?” Sebuah suara memanggil namanya.

Tawan menoleh dan tersenyum kecil melihat lelaki yang kira-kira berusia 28 tahun menyapanya dengan menggenggam sebuah kertas berisi nama beserta fotonya.

“Hello..” Sapa Tawan.

“Hi Mr. tawan, my name is Daniel Tong. I'm responsible for helping you. I hope your trip here will be a pleasant one. How was your flight?” Sapa Daniel dengan berbasa basi.

“Oh I see, thank you Mr. Daniel for asking me. It was great. Anyway, my name is Tawan Vihokratana. Representative of CDC US.” Ucap Tawan membalas perkenalan diri dari Daniel.

Mereka berdua berjabat tangan dan Daniel membantu membawakan koper Tawan. Mereka berdua berjalan tanpa banyak mengobrol, selain karena Tawan tidak tahu bagaimana membuka percakapan jadi Tawan memutuskan untuk diam dan mengikuti lelaki itu.

“Is this your first time in Singapore?” Tanya Daniel melirik Tawan yang sedang memperhatikan jalanan.

“No, this isn't my first time. I can't count how many times I've been here before but my first time in here when I was a college student, I'm one of the representative from Indonesia to join Youth Model Asean Conference.” Jelas Tawan.

“Oh are you from Indonesia?” Tanya Daniel dengan tertarik.

“Yes. I'm from Indonesia but I've been working in US for 6 years.” Jawab Tawan dengan senyuman lelahnya.

“I have friend from Indonesia, he's currently living in here and continue his master, but now he's already graduated.” Cerita Daniel.

“Ah I see, Indonesia indeed one of the most populous country in the world. because wherever I go, I've met Indonesians” kekeh Tawan.

“Yes, you're right.” Kekeh Daniel.

Walaupun Tawan lelah namun Daniel yang berbicara dengan intonasi yang ramah dan membuatnya nyamanpun akhirnya mengobrol dengan asik selama perjalanan menuju hotel yang sudah disediakan untuknya.


Tawan membukakan pintu kamarnya yang berbunyi sedari tadi. Tawan tidak mendengarnya karena lelaki itu sibuk berbincang dengan Thanat di telfon.

“Jumpol?” Panggil Tawan tidak percaya.

“Anjir ya lu Tay, lama banget bukanya.” Protes Jumpol. Lelaki itu tanpa permisi masuk ke dalam kamar Tawan membawa kopernya.

Tawan yang masih kagetpun mengikuti Jumpol dengan kebingungan, “Kok lo ke hotel gua? Katanya mau nginep di condo temen lo yang tinggal disini.” Tanya Tawan.

“Orangnya gak bales chat gua, daripada gua kayak orang goblok nungguin balesan dia di bandara, mending gua langsung ke hotel lu aja.” Jawab Jumpol saat tubuhnya sudah dia rebahkan di tempat tidur.

“Ngapa lo capek amat?” Tanya Tawan penasaran setelah melihat Jumpol yang terlihat sangat jompo.

“Gua sabtu tuh PP Jakarta-Sulawesi. Terus baru sehari di rumah, gua balik lagi ke Jakarta terus kesini.” Cerita Jumpol.

“Lah lu ke Jakarta? Ngapain? Tumben amat. Gak sama Gun?”

Jumpol menegakkan tubuhnya, matanya melihat Tawan yang saat ini sedang fokus dengan ponselnya. Dia lupa, biasanya kalau dia ke Jakarta dia akan memberitahu Tawan karena Jumpol pasti selalu mengunjungi orang tua Tawan.

“Iya kemarin gua ada rapat buat seminar tentang K3 yang diadain sama Monokrom. Harusnya Gunsmile yang dateng, tapi orangnya gabisa jadi gua dah yang wakilin.” Jawab Jumpol berbohong.

“Oh gituuu, pantes biasanya lo mampir ke rumah. Yaudah tidur dah, keliatannya capek banget lo.” Jawab Tawan tidak begitu perduli.

“Oke, lo gak tidur?”

“Nanti, masih telfonan sama mas Thanat.” Jawab Tawan.

Jumpol menatap Tawan dengan pandangan yang sukar untuk dijelaskan. Entah bagaimana dia menjelaskan ke Joss Wayar bahwa kelihatannya hubungan antara Joss dengan Atasannya ini sudah melaju dengan pesat.

“Kenapa?” Tanya Tawan saat merasakan tatapan Jumpol padanya.

“Hubungan lu udah jauh sama Thanat itu?” Tanya Jumpol memberanikan diri.

Tawan memutuskan untuk menonaktifkan suaranya sementara waktu, lagian Thanat sedang rapat disana.

“Jauh dalam artian?” Tanya Tawan balik.

“Udah serius gitu mau sama dia?”

Tawan memasang wajah berpikir, “Gak tau sih? Kalau gua lagi difase jalanin aja yang ada. Akhirnya gimana ya urusan belakangan.” Jawab Tawan dengan yakin.

“Berarti, lu udah nyerah?” Tanya Jumpol.

Tawan mengalihkan pandangannya dari ponsel dan menatap Jumpol.

“Bisa gak ya, gak ngobrolin ini dulu? Sejujurnya gua juga lagi bingung, dan capek.” Jawab Tawan dengan serius.

Jumpol mengangkat tangannya tanda dia tidak akan bertanya lagi, Jumpol memutuskan untuk tidur saja. Urusan Tawan akhirnya bersama siapa biarlah semesta yang menentukan.

Jumpol hanya bisa membantu Joss sebisa yang dia bisa, bagaimana Tawan nanti itu diluar kuasanya.

Namun yang Jumpol tau, untuk saat ini dia mendukung Tawan dengan Joss, karena dia dan Gunsmile lah yang menemani Joss sejak awal berpisah dengan Tawan. Mereka berdualah yang memberikan informasi kepada Joss tentang Tawan. Jadi Jumpol tahu bagaimana perjuangan Joss untuk temannya.

Tidak menutup kemungkinan juga bahwa Thanat melakukan perjuangan yang sama. Jumpol belum pernah bertemu dan mengobrol langsung dengan Thanat, jadi akan terasa tidak adil jika Jumpol menjudge dari satu sisi saja. Jadi untuk saat ini, Jumpol akan diam dan mengikuti alur yang ada.


Ini adalah hari terakhir berlangsungnya konferensi. Arm sudah datang semalam, akhirnya mereka berdua memutuskan untuk menyewa kamar hotel yang lebih besar dengan 2 bed yang terpisah.

Tiga hari ini Tawan benar-benar merasa lelah karena terus-terusan belajar dan juga menerima informasi kesehatan dari berbagai negara. Saat dia menerima informasi dari Indonesia, Tawan meringis kecil.

Kasus TB Paru di Indonesia masih tinggi. Bahkan Malaria juga belum di eliminasi dari Indonesia, khususnya Indonesia bagian Timur. Selain itu di Indonesia terjadi double burden, dimana kasus gizi kurang tinggi dan obesitas juga tinggi.

Tawan memijat kepalanya dengan heran, sudah 6 tahun dari dia meninggalkan Indonesia namun di negeri tercintanya masih kesulitan menekan angka kesakitan.

Padahal sudah banyak program untuk menekan angka stunting yang dijalankan, begitu juga program untuk meningkatkan gizi balita. Setelah ini sepertinya Tawan akan meminta CDC untuk menghubungi Kemenkes dan membuat sebuah kerja sama untuk program volunteer tahunan di kampung halamannya.

Tawan melonggarkan dasinya dengan lesu. Seharusnya kantornya mengirim 2 orang untuk turut serta bersamanya mengikuti konferensi ini, ia pikir konferensi ini hanya konferensi biasa.

Namun ternyata konferensi ini cukup melelahkan, banyak masukan-masukan terhadap bidang kesehatan yang di lontarkan oleh masyarakatnya, bukan hanya dari pemerintahan namun WHO dan CDC di berbagai negara ikut dievaluasi untuk lebih baik.

“Mr. Tawan, do you want me to take you to the hotel?” Tanya Daniel.

“Oh, nope. My friend will pick me up. Thank you for the offer.” Jawab Tawan dengan sopan.

“Alright, thank you for joining us. Enjoy your free time, Mr. Vihokratana.”

“Thank you, Mr. Daniel.” Jawab Tawan dengan senyuman.

Daniel meninggalkan Tawan untuk menyapa yang lain, Tawan menunggu Jumpol dan Arm yang sedang dalam perjalanan.

Suara klakson mobil mengagetkan Tawan. Dia mendengus kecil, teman-teman bodohnya. Setelah sekian tahun tetap saja sering membuatnya kesal bukan main.

“Ayooooo naik cepet gua sama Arm laper. Mampir dulu ya ke mcd.” Ucap Jumpol.

Tawan masuk ke kursi penumpang tanpa banyak protes, jasnya ia buka dan tasnya ia lempar dengan sembarang.

“Mcd mana?” Tanya Tawan setelah menerima uluran kopi dari Arm.

“Di JEM.” Jawab Arm.

“Oh okay.”

“Jum, Arm.” Panggil Tawan.

“Kenapa?”

“Kayaknya gua mau balik ke Indonesia aja deh.” Ucap Tawan tiba-tiba.

Arm yang sedang menatap ponselnya dengan cepat melirik Tawan yang masih meminum kopinya.

“Kenapa tiba-tiba?” Tanya Arm.

“Gak tiba-tiba sih, gua kayak udah pengen balik gitu aja tapi belum punya motivasi. Tadi setelah banyak dapet informasi ternyata sektor kesehatannya masih belum maksimal ya.”

“Terus gua mulai mikir, negara orang gua bantuin, jalan ke sana sini buat identifikasi penyakit oke aja. Tapi negara sendiri, gua belum ngelakuin apa-apa buat negara gua.” Cerita Tawan.

“Ya kalau lu mau balik ya balik aja, lu bisa minta pindah ke CDC Indonesia atau lu daftar di Kemenkes.” Jawab Jumpol.

“Kayaknya sih fix bakal pulang aja deh gua, tapi mungkin masih satu atau 2 tahun lagi. Kayaknya mau nunggu jabatan mas Thanat selesai.” Ucap Tawan lagi.

Kali ini bukan hanya Arm yang memasang wajah terkejut, namun juga Jumpol.

“Mas Thanat?” Tanya Jumpol memastikan.

“Iya, pasti resign-nya barengan nanti. Atau gimana lah gak paham.”

“Kenapa mesti barengan?” Kali ini Arm yang bertanya.

“Kalau nantinya gua jadi sama mas Thanat, gua kayaknya gamau ngikut dia tinggal di US. Mau gak mau dia harus ngikut gua tinggal di Indonesia.” Jelas Tawan dengan santai.

Intonasi biasa yang diberikan Tawan seakan-akan topik ini bukanlah masalah sensitif untuknya malah menambah beban untuk Jumpol.

Kepalanya dengan tiba-tiba merasa sakit, dan pening. Kalau begini terus bisa-bisa Joss akan benar-benar menyerah pada Tawan.

Mungkin banyak orang yang salah mengira persepsi tentang Joss, tentang alasannya yang tidak datang ke Tawan selama 6 tahun ini meskipun dia memiliki finansial yang bahkan lebih dari cukup.

Joss yang sekarang ini, memiliki kepercayaan diri yang rendah. Tattoo yang dibuat Joss diseluruh tubuhnya adalah sebuah tameng untuk menutupi rasa kepercayaan dirinya yang sudah hilang.

Jumpol pernah beberapa kali menemani Joss mentattoo tubuhnya, khususnya tattoo elang di dada dan kata-kata “patience” di lengan atasnya.

Sampai sekarang Jumpol tidak mengetahui alasan Joss begitu merasa insecure, makanya Jumpol dan Gunsmile selama ini bersedia membantu Joss. Karena dengan mendengar informasi Tawan yang menjalani hidupnya dengan baik, cukup membuat Joss Wayar untuk terus melanjutkan hidupnya.

“How about Joss Wayar?” Tanya Arm tanpa basa basi.

Jumpol mengutuk Arm dan keberaniannya. Setelah semalam Tawan menolaknya saat membicarakan Joss, disini Arm dengan gagah berani bertanya tanpa basa basi.

“What do you mean?” Tanya Tawan dengan wajah seriusnya.

“If I'm not mistaken, lo udah nunggu dia selama 6 tahun kan? Setelah denger ucapan lo tadi, lo keliatan udah yakin sama Thanat ini, and now I'm asking you. How about Joss Wayar?” Arm menjelaskannya lebih mendetail dan bertanya ulang.

Tawan terdiam, kehilangan kata untuk menjawab.

“Lo pernah mikir gak? Kalau selama ini Joss Wayar juga masih nunggu lo? Gua gak masalah sih kalau lo emang mau serius sama Thanat ini. But at least banget nih selesaiin dulu sama Joss Wayar. Ketemu dia. Biar sama-sama ngerelain satu sama lain.”

“Mungkin lo mikirnya, kalau lo move on udah gapapa karena udah 6 tahun, but who knows coba? Seenggaknya lo bisa email dia coba mastiin apa ada harapan gak diantara kalian berdua. Kalau gak ada, lo boleh nyusun rencana hidup lo yang baru. Takutnya, lo udah nyusun hidup lo, dia masih jalan di tempat?” Ucap Arm dengan serius.

Jumpol merasa jantungnya berhenti sesaat, sebenarnya Jumpol tidak pernah menceritakan pada siapapun tentang dirinya dan Gunsmile, termasuk pada Gun. Gun hanya tau kalau Jumpol berteman baik dengan Joss, tanpa tahu bahwa selama ini dirinya membantu Joss.

“Gua kok ngerasa gak adil ya buat gua sendiri? Kenapa gua yang harus meluruskan semuanya dimana disini gua yang dikasih janji sama Joss?” Tanya Tawan kebingungan.

“Six years ago, he promised me. Then, now am I the one who needs to approach him first and asked about his promised?”

“Why not? Kenapa lo harus ngerasa gak adil kalau nantinya buat kebaikan lu berdua? Lu lupa kan kalau di suatu hubungan ada yang namanya give and take? Lu gabisa diposisi take and take terus, sesekali lu harus melakukan suatu hal duluan juga. Everything has a reason, so does Joss Wayar.” Kali ini Jumpol menanggapi ucapan Tawan.

“Kenapa pernyataan lo berdua sekarang seakan-akan gak setuju kalau gua lanjutin hidup gua ya?” Tanya Tawan lagi.

“Bagian mananya?” Tanya Jumpol lagi.

*“All sentences.”

“Kenapa lu ketrigger? Berarti semua yang gua omongin bener dong?”

“Ya-”

“Duh we will talk about it later, jangan berantem. Makan dulu gua laper.” Arm memotong pertengkaran yang mungkin akan terjadi saat ini di mobil.

Tawan keluar dari mobil pertama kali membawa jas dan tasnya, “Gua keliling duluan nanti gua susul ke Mcd.”

“Terserah.” Jawab Jumpol pendek.

Arm menghela nafasnya dengan pasrah, setelah bertahun-tahun akhirnya dia merasakan pertengkaran dua orang ini lagi.

“Gak berubah, kalau lagi marah atau sedih selalu ngilang duluan. Kirain udah dewasa.” Ucap Jumpol.

“Udahlah anjir, ayo makan aja.” Ucap Arm.

“Lu duluan ya bangke yang mulai bawa Joss Wayar ke obrolan kita, gua kan jadi nimbrung.” Marah Jumpol.

Arm hanya tertawa dan menarik Jumpol untuk mengikutinya. Mereka memutuskan untuk membiarkan Tawan menikmati waktu sendiriannya, mereka yakin Tawan akan tetap datang ke Mcd nanti.

“Yaudahlah anggap aja gua lagi nyari ribut tadi.” Kekeh Arm.

“Ye tolol.”


Tawan menenteng jas dan tasnya dengan lesu, perkataan Jumpol tadi terus berputar diotaknya. Apa benar selama ini dia hanya menerima tanpa memberikan timbal balik yang sesuai kepada Joss?

Tawan bahkan lupa arah jalan ke Mcd, sudah berapa tahun dia tidak ke JEM. Tawan merutuki kebodohannya sendiri. Dia hanya bisa berjalan tanpa arah saat ini.

Keinginan untuk membeli beberapa baju pun sudah hilang, saat ini dia hanya ingin bertemu dengan Jumpol dan Arm dan mengajak mereka pulang. Dia akan menggulung dirinya ditempat tidur sambil mendengarkan lagu dan berpikir.

Namun dia gengsi untuk meminta Arm dan Jumpol menjemputnya.

Tawan memutuskan untuk berhenti dan memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang. Banyak pasangan, dan juga banyak anak-anak yang bermain bersama teman-temannya. Dulu, dia juga sering melakukan hal yang sama dengan Jumpol dan lainnya, mereka ke Mall hanya untuk makan dan menonton film sisanya mereka akan keliling hingga bosan.

Ponselnya berbunyi, Tawan memutuskan untuk mengabaikannya. Karena mungkin saja Thanat yang menghubunginya karena saat ini pukul 8 di US. Tawan sedang ingin memfokuskan pikirannya pada Joss.

Dia sudah pernah memikirkannya, bagaimana jika memang Joss menunggunya? Namun disisi lain Tawan tidak ingin terlalu percaya diri. Ucapan Arm seakan menamparnya, secara tidak langsung dia memang masih memiliki hubungan yang belum terselesaikan dengan Joss. Terkait janji 6 tahun lalu.

Entah apa yang Tawan rasakan saat ini, semuanya campur aduk. Perihal Joss Wayar dan Thanat Lee yang ada dihidupnya saat ini membuatnya ingin pergi jauh dan menikmati waktunya seorang diri.

Tawan bahkan tidak pernah membayangkan jika memang Joss kembali datang, dia harus melakukan apa? Bagaimana dengan Thanat? Tawan sudah mengizinkan lelaki itu untuk datang ke rumahnya.

Jika Thanat benar-benar datang, bagaimana dengan Joss? Dan belum lagi jika dirinya disuruh memilih.

Siapa yang harus dia pilih? Tawan belum pernah memikirkannya hingga sejauh itu. Dia benar-benar hanya menjalani hidup yang ia dapatkan sekarang.

Ponselnya kembali berbunyi. Tawan menghela nafasnya dengan pasrah dan membuka ponselnya.

Matanya memanas, tubuhnya seakan lemas. Notifikasi yang tidak pernah diterimanya selama ini kembali muncul.

You've Got Mail From Joss Wayar #31

Tangan Tawan dengan gemetar membuka passcode ponselnya. Dia berusaha menahan air matanya yang sudah berkumpul saat ini.

Kenapa dari sekian banyak hari, sekian banyak waktu yang ada, Joss Wayar harus kembali menghubunginya disaat dia sedang mempertanyakan dirinya sendiri?

Tawan membuka email itu dengan perasaan yang tidak bisa ia jabarkan dengan kata-kata. Matanya menatap foto Joss Wayar yang sama dengan foto profil instagramnya.

Hi, How are you?”

“Im not fine.” Bisik Tawan dengan suara yang menahan tangisan.

“Tawan Vihokratana, do you have the answer to my question six years ago?”

Kali ini Tawan kehilangan keseimbangan dirinya, Tawan jatuh terduduk di tengah keramaian. Matanya menatap layar ponselnya dengan penuh air mata.

Jantungnya berdetak dengan menyakitkan, rasanya Tawan tidak perduli dia sedang berada dimana. Dia hanya ingin menangisi hidupnya yang seakan-akan selalu mengajaknya bercanda.

Jawaban yang diminta oleh Joss, dia tidak memilikinya. Dia tidak bisa menjawabnya saat ini. Karena Tawan sadar, bahwa saat ini hatinya bukan hanya ada pada Joss Wayar, namun juga ada pada lelaki yang menemaninya selama 6 tahun ini, Thanat Lowkhunsombat.

Ponsel Tawan kembali berbunyi, saat ini instagramnya notifikasi dari instagramnya.

Joss Wayar tagged you in a story.

Tawan membukanya dengan tangan yang masih gemetar. Dia sudah menangis sedari tadi. Energinya sudah benar-benar terkuras, dia tidak sanggup untuk berdiri dengan tegak lagi.

“What are you doing in there, little Tawan?”

Begitulah isi story Joss Wayar yang dilihatnya. Tawan dengan mata yang buram karena air mata menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri untuk mencari Joss Wayar.

Sampai retinanya menangkap seseorang yang tidak pernsh ditemuinya selama 6 tahun ini dengan hoodie hitam dan beanie hitam berdiri tidak jauh darinya dengan senyuman yang selama ini dirindukannya.

Pertahanan Tawan semakin pecah, dia menangis dengan keras. Ponselnya ia biarkan terjatuh dan dia sibuk menutupi wajahnya yang penuh dengan air mata.

Dia tidak bisa mendefinisikan perasaannya saat ini, rasanya begitu membahagiakan juga menyakitkan untuknya. Dia tidak bisa melihat senyuman Joss yang sirat akan kebahagiaan. Dia tidak bisa.

“Little Tawan...” Panggil Joss.

Jangan. Jangan memanggilnya seperti itu. Rasanya sangat menyakitkan. Tangisan Tawan semakin keras.

“Do you need a hug?” Tanya Joss dengan suara lembutnya.

Tawan tidak bisa menjawabnya. Semuanya terlalu tiba-tiba. Tawan hanya ingin pulang.

Karena tidak juga mendapat jawaban. Joss mendekati Tawan dengan senyuman yang tidak pernah luntur dari wajah tampannya.

Lelaki itu dengan perlahan mengelus rambut Tawan dengan penuh kasih sayang.

“Why you crying so hard, hm? Like you're in pain. Did I made mistake, little Tawan?” Tanya Joss dengan lembut.

Tawan menggeleng dan menangis semakin keras.

“Don't cry. It hurts me.” Ucap Joss dengan suara lembutnya.

Joss memeluk Tawan dengan erat. Membiarkan lelaki itu menangis di lehernya. Membiarkan lelaki itu menumpahkan semua kesedihannya. Sesekali Joss menenangkan Tawan dengan kalimat penuh kata sayang.

“Don't cry. I'm sorry. I love you, Little Tawan.” Bisik Joss.

“Jangan nangis. Nunggunya lama ya? Maaf ya. I'm sorry. Really I am.”

“Maaf ya janjinya ketemu di mcd tapi malah ketemu disini. I'm sorry Little Tawan.”

“Don't cry. Please I beg you. It hurts me to see you crying like you're in pain.”

Tawan tidak menjawab apapun. Dia masih menenangkan dirinya dari tangisan. Wangi tubuh ini. Wangi yang selalu dirindukannya selama 6 tahun belakangan.

Wangi yang dulu membuatnya nyaman. Tangisan Tawan semakin keras, rasanya sangat menyakitkan.

Pelukan yang selama ini dia rindukan, rasanya masih sehangat dulu. Joss masih sehangat dulu. Joss Wayar masih sama seperti 6 tahun lalu. Menyedihkan. Sangat menyedihkan.

Dirinya sangat menyedihkan saat ini, karena rasanya semuanya telah berubah. Dia hanya tidak menyadarinya pad hari-hari yang lalu.

Karena saat ini, Tawan merasa bebannya terangkat. Salah satu bebannya sudah hilang. Perasaan yang dulu Tawan impikan, debaran yang selama ini selalu Tawan tunggu.

Hilang perlahan.

Perasaan itu, telah hilang.

Epilog: You've Got Mail Chapter 3

Joss Wayar Point Of View

Singapore, 2026.

Joss Wayar kembali menghisap rokoknya setelah membaca pesan dari kakak tingkatnya terdahulu, matanya menatap datar gawai ditangannya. Tubuhnya besarnya ia senderkan dengan perlahan.

“Udah 6 tahun ya?” Bisik Joss pada dirinya sendiri.

Lelaki itu menghembuskan asap rokoknya dengan perlahan, menikmati sensasi asap itu melewati paru-parunya. Berkas-berkas bertumpuk dimejanya, belum ada satupun yang ia sentuh.

6 tahun ini dia menjalani hidupnya dengan penuh tekanan, memang sesuatu yang dipaksakan memerlukan banyak pengorbanan bukan?

Banyak hal yang berubah dari lelaki itu, dimulai dari dirinya yang sekarang menjadi perokok aktif, dan juga beberapa tattoo yang tercetak jelas ditubuh indahnya.

Joss juga menjadi lelaki yang tidak sekonyol dulu, 6 tahun benar-benar merubah lelaki ini menjadi sosok pribadi yang baru.

Joss bahkan lupa bagaimana rasanya menikmati waktunya dikala senggang, karena setiap kali dia memiliki waktu kosong, ayahnya akan menyeretnya untuk mengikuti pelatihan, seminar, atau acara apapun itu yang berkaitan dengan bisnis. Joss rasanya muak, namun inilah jalan hidupnya saat ini.

Ponselnya berbunyi dengan nyaring, namun dia membiarkannya. Matanya menatap pemandangan kota Singapore dari condominiumnya.

Sudah 6 bulan dia berada disini, pekerjaannya di Indonesia dia handle dari jauh, karena ayahnya masih aktif bekerja jadi Joss memutuskan untuk tinggal di Singapore, menjauhi ayahnya dan juga mengisolasi dirinya sendiri.

Harus darimana dia memulai kisahnya? Seminggu setelah dirinya putus? Atau saat kelulusan kekasihnya?

Dikepalanya banyak berputar memori tentang Tawan, bagaimana ia tetap memantau Tawan saat lelaki itu menyelesaikan skripsinya.

Joss selalu ada disekitar Tawan, namun lelaki itu memilih untuk menyembunyikan dirinya. Saat kelulusanpun sebenarnya Joss datang, namun dia tidak muncul kehadapan lelaki itu.

Alasannya sangat sederhana, dia melihat Tawan sudah mulai bisa berjalan selangkah demi selangkah maka dia membiarkan lelaki itu untuk melanjutkan jalannya, karena jika dia muncul, Tawan akan berhenti melangkah dan kembali mengejarnya.

Dan hal terpentingnya adalah dia melanjutkan studinya di harvard, dia berada di satu benua dengan Tawan namun Joss memilih untuk tidak mengambil kesempatan apapun, 4 tahun dia fokuskan untuk kuliah sambil membantu ayahnya diperusahaan.

Awal semester nilainya benar-benar hancur, dia tidak bisa memahami apa yang dipelajarinya, perpindahan dari kesehatan menuju bisnis benar-benar membuatnya kewalahan.

Dia bahkan harus mengejar nilai tambahan. Belum lagi ia harus mendengar ayahnya yang terus menyuruhnya untuk mendapat nilai sempurna. Banyak suara dikepalanya yang menyuruhnya untuk berhenti.

Berulang kali dia terjatuh, berulang kali juga dia mendapati dirinya berada di rumah sakit karena masalah pencernaan akibat makan tidak teratur ataupun karena terlalu banyak mengkonsumsi alkohol.

Untuk mencapai pada titik ini, Joss Wayar sudah mengorbankan banyak hal. Bahkan mengorbankan dirinya sendiri. Mungkin jika saat itu dia memilih untuk dia menyerah, orang lain akan mewajarkannya.

Karena keadaannya memang seburuk itu, namun dia tetap berjalan maju. Tidak perduli hari sebelumnya dia terjatuh, Joss tetap akan kembali berjalan maju. Hal itu bukan tanpa alasan.

Alasan yang membuat Joss tetap berada diakal sehatnya adalah kenangan tentang dirinya dan Tawan, bagaimana lelaki itu tersenyum, suara tawanya yang candu, wajah merajuknya, bahkan wajah sedihnya masih diingatnya sampai saat ini.

Joss mungkin kehilangan dirinya dalam proses menuju kedewasaan, tapi satu hal yang bisa ia pastikan, bahwa hatinya tetap sama. Tetap pada lelaki kecilnya yang saat ini sedang terbang bebas di angkasa.

**********

Joss menunggu kopernya, saat ini dia sudah kembali ke Indonesia, untuk mengurus beberapa hal sebelum kembali ke Singapore. Kali ini dia dijemput oleh Luke, ayahnya menawarkan supir namun Joss menolaknya.

“Thank you” ucap Joss setelah petugas bandara mengambilkan koper untuknya. Dia berjalan dengan kacamata hitam yang terpasang di wajah tampannya. Tubuhnya yang tinggi serta wajahnya yang rupawan membuatnya menjadi pusat perhatian di bandara. Namun Joss mengabaikan hal tersebut.

Matanya melirik sekeliling, mencari keberadaan sahabatnya yang katanya sudah sampai sejak 10 menit yang lalu.

Tepukan dipundaknya membuatnya terkejut, dia menoleh dan mendapati Luke tersenyum dengan lebar padanya.

“Sialan.” Joss mendengus kecil dan tersenyum.

“Apa kabar bos besar? Sombong banget lu gak pernah balik.” Ucap Luke dengan semangat.

“Sibuk.” Balas Joss dengan singkat.

Luke hanya tertawa mendengar jawaban pendek Joss, dirinya sudah biasa. Lelaki itu menemani Joss dari SMA hingga saat ini Joss menjadi CMO di perusahaan ayahnya. Dia juga melewati perubahan kepribadian Joss. Awalnya memang terasa aneh, namun dia sekarang sudah biasa saja.

“Starbucks dulu gak? Suntuk banget itu muka.” Ajak Luke.

“Oke.” Terima Joss tanpa pikir panjang.

Dua lelaki itu berjalan bersamaan, percakapan mereka lebih banyak diisi dengan cerita Luke, Joss hanya mendengarkan dan sesekali menanggapi cerita sahabatnya itu.

“Gimana?” Tanya Luke tiba-tiba.

Joss menaikkan alisnya tidak mengerti, “Gimana apa?”

“Bang Tay?”

Joss berhenti sebentar dan melirik Luke dengan wajah terkejutnya. Kenapa tiba-tiba Luke menanyakan Tawan?

“Maksud?”

“Bentar pesen dulu.” Ucap Luke.

Luke dan Joss menyebutkan pesanan mereka, Luke juga memesan beberapa makanan manis untuk Joss, karena menurut lelaki itu Joss butuh tambahan gula agar dia sedikit lebih semangat menjalani harinya.

“Gua aja yang bayar, traktir temen gua yang akhirnya pulang setelah jadi bang toyib.” Sela Luke saat melihat Joss mengeluarkan kartunya.

Luke mengambil beberapa lembar uang dan mengucapkan terima kasih. Mereka berdua memilih untuk duduk di pojok, karena selain terasa lebih privasi Luke juga tidak ingin menjadi pusat perhatian.

Karena sejak tadi dirinya berjalan bersama Joss, mata-mata memandang mereka berdua dengan kekaguman, lebih tepatnya menatap temannya yang bahkan tidak melirik pada orang-orang disekitarnya.

“Jadi gimana?” Tanya Luke setelah menyesap kopinya.

“Gimana maksudnya apaan.” Tanya Joss lagi.

“Ya perkembangannya? Lo kan udah sukses nih, udah 6 tahun juga. Lo ada planning apa buat kesayangan lo itu?”

“Gak ada.” Jawab Joss dengan singkat.

Luke hampir menyemburkan kopinya setelah mendengar jawaban tidak terduga dari Joss.

“Maksud lo gak ada??” Tanya Luke lagi, memastikan dia tidak salah mendengar.

“Ya gak ada.”

Luke mengusap tengkuknya dengan bingung, Joss ini selain kehilangan semangat hidupnya, dia juga kehilangan otaknya?

“Gak ada plan sama sekali? Nyamperin ke Amerika? Nyamperin ke CDC atau chat dia lagi atau email atau apa kek gitu?”

Joss mengangguk mengiyakan dengan pasti. Lelaki itu meminum americanonya dengan tenang, menatap Luke yang memasang wajah terkejut. Memang dia tidak memiliki rencana apapun pada Tawan.

“Kenapa?” Luke bertanya lagi karena masih merasa heran.

“First of all, gua gak pernah bilang kalau gua bakal samperin dia ke Amerika. Kalaupun gua sama dia ketemu, mungkin bukan di Amerika. Kemungkinan gua sama dia ketemu juga kecil banget jadi yaudah.” Jawaban terpanjang Joss setelah semua percakapan yang mereka berdua lakukan.

“Yaudah? Lo pasrah maksudnya? Giving up?!” Tanya Luke semakin tidak mempercayai apa yang dia dengar.

“Gua gak pernah bilang gua nyerah...”

Jawaban polos Joss membuat kepala Luke semakin pusing.

“Oke, let's say you won't give up. Tapi ini udah 6 tahun, berapa lama lagi lo berdua harus main tunggu-tungguan? Kalau gak ada yang ngambil langkah duluan, lo berdua gak bakalan ketemu.” Jelas Luke.

“Awalnya gua bilang kalau waktunya udah tepat bakalan ketemu, tapi kayaknya susah jadi gua mutusin buat bikin waktu gua sendiri.” Balas Joss dengan acuh.

“Maksudnya?????” Tanya Luke semakin tidak mengerti.

“Ya gitu, tunggu aja dah.” Putus Joss.

Luke memijat kepalanya dan menatap Joss dengan pandangan tidak mengertinya, semakin lama lelaki itu semakin tidak bisa ditebak. Salah satu perubahan Joss yang paling dibencinya adalah, hilangnya pancaran jenaka disorot mata Joss.

Luke ingat sekali dulu dia bisa membaca apa yang Joss pikirkan dari sorot mata lelaki itu, namun saat ini sorot mata penuh ekspresi itu hilang digantikan dengan sorot mata penuh kekosongan.

“Have you ever thought of giving up?” Tanya Luke tiba-tiba.

Selama 6 tahun belakangan ini, Joss jarang sekali mengeluh atau bercerita kepadanya secara vokal. Luke kerap kali bertanya namun Joss hanya menjawab bahwa semuanya baik-baik saja.

Joss Wayar tersenyum kecil, “Most of time.” Pikirnya.

“Of course I have thought of giving up, especially in the past 6 years. Many incidents beyond ones control sometimes overwhelm and then I want that it should just end there. There are things beyond my control sometimes that drag me down so much that the suffocation and despair swallows me up.”

“There was a time when I wanted to go back to the time before I knew bang Tay, there was a time when I wanted to go back to being a high school kid who had determined his dreams from the start, kayak semua rasa penyesalan tuh dateng tiba-tiba dan gua gak bisa kontrolnya.” Jawab Joss dengan santai.

“Pokoknya rasanya anjing banget dah.” Lanjut Joss dengan kekehan.

Luke menatap Joss dengan tatapan rasa bersalah, dia tidak tau bahwa temannya mengalami banyak hal sulit. Kesibukannya setelah Joss pindah kampus membuat intensitas chat mereka berkurang.

“Joss, I'm sorry-”

“For what?” Sela Joss tanpa memberikan Luke waktu untuk menyelesaikan ucapannya.

“For not be able to comforting you when you need it the most.” Jawab Luke.

Joss terkekeh kecil dan menepuk pundak temannya dengan keras, “Yaelah, santai aja kali? I'm fine. Buktinya gua bertahan sampe saat ini kan?”

“Lagian berapa banyakpun gua denial, gua bakal tetep jadi CEO nanti wkwk bokap gua bakal pensiun, sebanyak apapun gua gak suka sama dia, dia tetep bokap gua.” Lanjutnya.

“Kenapa sih lo tetep ketawa anjing gua udah berkaca kaca mau nangis. Apalagi si Mild, Kay, sama Mike pas lo baru cabut kerjaannya overthinking mulu. Mikirin lo dapet temen apa engga, ini itu. Gua sama bright udah capek banget ngurusinnya.” Keluh Luke.

Joss semakin tertawa, kisah teman-temannya saat dia pindah selalu menjadi bagian terbaik selama 6 tahun belakangan ini, karena mereka benar-benar seperti pemain opera sabun.

Beruntungnya bagi Joss karena mereka selalu berinteraksi di grup, bahkan sampai sekarang. Jadi ketika Joss sedang lelah, dia suka membaca obrolan mereka yang kebanyakan berisi kebodohan tanpa henti yang dilakukan Mike.

“Thank you.” Ucap Joss dengan senyumnya.

Luke terdiam, “Anjing gua pengen peluk lo nanti dikira homo.”

“Lah kan emang homo?” Jawab Joss dengan kekehan.

Luke melempar Joss dengan roti dan mereka tertawa bersama. Memang banyak hal yang mereka lewati tanpa kehadiran satu sama lain tapi pertemanan mereka tidak berubah sedikitpun.

Joss bersyukur, setidaknya dia masih memiliki teman yang mendukungnya dan selalu ada untuknya sampai saat ini. Karena jika bukan karena mereka, Joss yakin bahwa dirinya sudah menyerah sejak awal.


Joss dan ayahnya duduk dengan tenang di kursi penumpang, lelaki itu tidak berniat membuka pembicaraan dengan ayahnya saat ini.

6 tahun meninggalkan Jakarta membuat Joss menyadari betapa indahnya kota ini sekarang, biasanya sabtu pagi akan ada sedikit kemacetan namun sekarang jalanan Jakarta tidak ada hambatan sama sekali. Infrastrukturnya sangat bagus, mereka berhasil merubah Jakarta menjadi lebih baik.

“Mas, benar ini kompleknya?” Tanya Bayu, selaku supir sang ayah.

“Bener pak, nanti pas udah masuk komplek dipertigaan belok kiri ya pak.” Jawab Joss.

Joss membuka kaca mobilnya dan mengeluarkan tangannya. Matanya dengan teduh menatap jalanan yang biasa ia lalui dulu.

“Pak itu rumahnya yang ada dua mobil di depan ya.” Ucap Joss setelah melihat rumah yang menjadi tujuannya saat ini.

“Dad, udah sampai.” Ucap Joss.

Ayahnya hanya mengangguk sambil memperhatikan rumah-rumah disekitarnya. Perumahan ini bukanlah perumahaan elite seperti tempatnya tinggal, namun kawasannya begitu sejuk dan terasa nyaman. Berbeda dengan tempatnya yang mengedepankan keindakan arsitektur rumah dan kemewahan barang-barang.

Joss keluar dari mobil dan merapikan jasnya. Dia disambut oleh Jumpol dan Gunsmile dan kedua temannya Luke dan Mild yang tersenyum dengan lebar.

“Waduh siapa nih udah gede aja.” Ledek Gunsmile.

Joss terkekeh dan memeluk singkat kedua kakak tingkatnya itu.

“Apa kabar bang? Makin tua aja keliatannya.” Sapa Joss.

“Sialan juga.” Umpat Jumpol.

Luke menepuk pundak Joss, sementara Mild mengomeli Joss karena jasnya terlihat berantakan.

“Siapa sih yang kasih jas ini? Gak bener nih setrikanya.”

“Apa kabar bu...” Sapa Joss.

Mild menatap Joss dengan senyuman manisnya, “Gak usah nanya-nanya kabar gue ya lo dateng-dateng bikin satu kecamatan jantungan semua. Dadakan. Untung gue sama luke bisa.” Omel perempuan itu.

“Joss, udah?” Sebuah suara menginterupsi percakapan mereka. Jumpol dan yang lain sangsung menyalami ayah dari temannya tersebut.

“Udah.” Jawab Joss.

“Yaudah ayo.” Ajak sang ayah.

Joss mengambil nafasnya dengan perlahan, mencoba mengurangi degub jantungnya yang tiba-tiba menggila.

“Gua udah chat adeknya.” Ujar Jumpol memberi tahu.

Joss mengangguk dan mengucapkan terima kasih tanpa suara. Ayahnya berdiri disebelah kirinya sedangkan teman-temannya berdiri dibelakangnya.

Orang yang tadi dibicarakan keluar dengan pakaian yang cukup rapi juga, Joss tersenyum kecil.

“Bang..” Panggil orang itu.

“Oi Sasin, kabar baik?” Tanya Joss setelah lelaki itu membuka gerbang rumahnya dengan lebar.

“Baik bang, lo apa kabar?” Lelaki yang dipanggil Sasin itu bertanya balik.

“Baik.”

Sasin menyapa semua orang dan menyalami ayah Joss. Mereka dipersilahkan masuk karena ayah dan bundanya sudah menunggu sejak tadi.

Joss tersenyum kala melihat perempuan paruh baya yang dulu selalu ditemuinya saat bertamu ke rumah ini.

“Tante, apa kabar?” Tanya Joss dengan lembut.

Perempuan yang dipanggil tante tersenyum lebar dan memeluk Joss dengan tiba-tiba.

“Kabar baik sayang, Joss apa kabar? Makin ganteng aja tante sampe pangling.” Jawab perempuan paruh baya tersebut.

Joss terkekeh dan mengatakan bahwa kabarnya baik-baik saja. Joss menyalami lelaki paruh baya dengan sama hangatnya. Jumpol dan yang lainnya juga melakukan hal yang sama.

“Ayo silahkan duduk, maaf banget rumahnya kecil.” Ajak sang tuan rumah.

“Tidak apa-apa pak, rumahnya nyaman sekali.” Jawab ayah Joss setelah memperhatikan design dari rumah yang di datanginya. Banyak foto kebersamaan dengan anak-anaknya, pemilihan warna netral juga mendukung kenyamanan rumah ini.

Seorang wanita dengan anak kecil yang mengikutinya datang membawa minuman, “Silahkan diminum.”

“Kak mukkkkk” Panggil Gunsmile.

Wanita yang dipanggil Muk tertawa dan menepuk pundak Gunsmile yang masih berdiri disertai senyuman konyolnya.

“Jadi mohon maaf pak sebelumnya, maksud dari kedatangannya untuk apa ya?” Tanya lelaki paruh baya itu.

Joss menegakkan badannya, matanya melirik Jumpol yang berdiri berdiri disampingnya. Lelaki itu mengacungkan ibu jarinya memberi semangat.

“Mohon maaf sebelumnya karena kedatangan kami tiba-tiba. Saya disini datang sebagai orang tua dari Joss Wayar bermaksud untuk menyampaikan niat baik anak saya untuk melamar anak bapak yang bernama Tawan Vihokratana.” Ucap ayah Joss.

Raut terkejut ditunjukkan oleh wanita yang menjadi ibu dari lelaki yang dilamar saat ini. Sedangkan sang ayah hanya tersenyum kecil, sudah mengerti bahwa mereka datang untuk melamar karena mantan kekasih dari anaknya datang bersama sang ayah dan juga teman-temannya yang dikenalnya juga sebagai teman Tawan.

“Jadi Joss mau melamar anak om ya?” Tanya ayah Tawan dengan senyuman diwajah keriputnya.

“Iya om, mohon maaf sekali kalau saya datangnya tiba-tiba karena saya juga baru pulang ke Jakarta.” Ujar Joss dengan yakin.

“Kenapa? Kalau om tidak salah, kalian sudah mengakhiri hubungan 6 tahun lalu?” Tanya ayah Tawan.

Semua orang menatap ayah Tawan dengan pandangan terkejut, begitupula sang bunda, perempuan itu menyenggol sang suami dengan pelan. Memberikan kode bahwa perkataannya mungkin menyakitkan bagi mantan kekasih sang anak.

“Iya om, benar hubungan saya dan Tawan memang berakhir 6 tahun lalu om. Sebelumnya tolong izinkan saya untuk menjelaskan, 6 tahun lalu sebenarnya saya tidak bermaksud untuk putus, namun saat itu kami berdua belum cukup dewasa dan belum cukup kokoh untuk membangun sebuah hubungan jarak jauh.” Jelas Joss.

“Selain itu juga saya sendiri, belum menjadi lelaki yang baik untuk Tawan. Saya tidak percaya dengan kemampuan saya dalam membangun sebuah komitmen, karena hal tersebut saya memutuskan untuk melepaskan Tawan untuk mengejar mimpinya dan saya juga akan melakukan hal yang sama sepertinya.”

“Pada saat berpisah, saya berjanji pada anak om kalau nanti saya dan Tawan diizinkan untuk kembali bertemu dan menjalin kasih, saya akan datang dengan versi terbaik dari diri saya. Untuk mempersiapkan semua hal tersebut saya membutuhkan waktu 6 tahun, untuk membangun pondasi yang kokoh untuk Tawan terbang semakin tinggi, dan untuk membangun sebuah komitmen seumur hidup.”

“Maka dari itu saya datang saat ini tanpa sepengetahuan Tawan, untuk meminta izin melamar anak om dan tante. Saya sudah menepati janji saya untuk menjadi pondasi yang kokoh. Saya sudah memiliki kepercayaan diri.”

“Saya lulus sarjana Administrasi bisnis di Harvard University dan saya juga sudah menyelesaikan gelar magister saya di Institut Européen d'Administration des Affaires (INSEAD) saat ini saya memiliki pekerjaan tetap sebagai Chief Marketing Officer di United Tractors tbk.” Jelas Joss panjang lebar.

“Dan selama 6 tahun ini, tiada hari tanpa saya untuk tidak mencintai Tawan. 6 tahun ini saya mengejar mimpi saya dengan bayangan bahwa suatu hari nanti saya akan bertemu dengannya dengan percaya diri dan menunjukkan padanya bahwa saya berhasil. Bahwa kita berdua berhasil.”

“Karena hal tersebut, saya Joss Wayar Sangngern. Meminta izin kepada om dan tante untuk menjalin komitmen serius dengan anak om dan tante. Saya ingin menjadikan anak om dan tante sebagai rumah saya untuk pulang, saya ingin membahagiakan anak om dan tante dengan cara yang paling indah.” Tegas Joss.

Lelaki itu menundukkan setengah badannya kepada orang tua Tawan, berdoa semoga maksud baiknya dapat diterima dengan baik pula.

Sebuah tangan mengusak rambut Joss dengan penuh kasih sayang, Joss mendongkak untuk melihat siapa yang mengusak rambutnya.

“Tante selalu suka cara kamu mendeskripsikan anak tante. Tante selalu bisa ngerasain sebanyak apa kamu mengagumi anak tante. Untuk 6 tahun lalu dan saat ini terima kasih ya? Terima kasih karena udah jatuh cinta sama Tawan dengan cara paling indah, dengan begitu besar dan begitu mengagumkan. Tante gak bisa balas semua yang kamu korbankan buat anak tante selain memberikan izin buat kamu. Tante percaya sama nak Joss.” Ucap Bunda Tawan dengan senyuman dan mata yang berkaca-kaca.

“You believe in me? Even I was once break your son heart?” Tanya Joss tidak percaya.

“You may break my son's heart but you break it for his future, for his dreams, and now you asked my permission to marry my son. I definitely say yes. You can marry my son. You can be my son in law.” Ujar bunda Joss.

“Thank you. Terima kasih banyak tante.” Bisik Joss penuh kelegaan.

“Bunda. Panggil tante bunda.”

“Terima kasih bunda...” Bisik Joss.

“Ekhem....” Suara ayah Tawan mambuat Joss melihat lelaki paruh baya tersebut. Lelaki itu menatap Joss dengan tajam. Joss sangat gugup.

“You should ask my son first, if he say yes then I can accept you as my son-in-law.” Senyuman lelaki paruh baya itu muncul dengan lebar.

Lelaki itu tertawa melihat wajah Joss yang sangat tegang. Tidak mungkin dia tidak menerima lamaran dari lelaki yang sangat mengagumi anaknya sejak 6 tahun lalu. Sejak 6 tahun lalupun dia memang berharap pada akhir nanti, semoga anaknya berjodoh dengan lelaki ini. Karena sebagai seorang ayah dia bisa melihat lelaki ini tulus mencintai anaknya.

“Terima kasih om....” Ucap Joss dengan suara penuh kelegaan.

“Panggil ayah juga dong.”

“Baik ayah....” Jawab Joss kaku.

Seluruh orang yang berada di ruang tamu tersebut tertawa dengan keras melihat kegugupan Joss.

Ayah Joss dan ayah Tawan mengobrol tentang bisnis dan hal-hal lain seperti ekonomi negara, politik, dan sepak bola. Mereka memiliki opini yang sejalan diberbagai hal. Membuat mereka berdua cepat untuk akrab.

Sementara Joss bermain dengan anak dari kakak perempuan Tawan, nama anaknya adalah Keishi. Anak itu menempel pada Joss dan tidak mau dilepaskan. Joss hanya tertawa dan memeluk Keishi dengan erat.

“Abis ini mau apa?” Jumpol mendatangi Joss yang masih asik bermain dengan Keishi.

“Nunggu di Singapore.” Jawab Joss tanpa melihat Jumpol.

“Okai. Jadi lu langsung balik nih ke Singapore?”

“Iya besok gua balik niatnya.”

“Kapan handle kerjaan dari sini?” Tanya Jumpol penasaran.

“Belum kepikiran.”

“Yaudah best wishes for you dah bro.” Jumpol meninggalkan Joss untuk bergabung dengan Luke, Gunsmile, dan Mild yang asik mengobrol tentang masa kuliah mereka.

Joss menggendong Keishi dan menyusuri dinding yang berisi foto-foto keluarga Vihokratana. Joss tersenyum menyadari foto yang terpanjang 6 tahun lalu banyak mengalami perubahan, semakin banyak dan semakin bervariasi.

Di foto tersebut, ada Tawan yang berfoto di depan gedung CDC. Joss tersenyum kecil dan menatap foto itu dengan penuh rasa bangga.

“Hey, we did it. See you later. Wait for me a little bit more. I hope you still love me like I love you, Tawan Vihokratana. “ Bisik Joss dengan suara lirihnya.

Jauh dilubuk hatinya Joss Wayar sangat paham, bahwa segalanya telah berubah. Perasaan lelaki itu, bukan sepenuhnya lagi miliknya.

Dan jika memang dia harus kehilangan lagi, Joss akan membiarkannya.

He loved Tawan enough to let him leave, and he will love his self enough to let Tawan go.

**********

“Jadi kenapa tiba-tiba mau pulang? Ada yang mau diomomgin?” Tanya lelaki yang Joss sebut sebagai ayah.

“Dad, aku mau lamar seseorang.” Ucap Joss tanpa basa basi.

Lelaki paruh baya itu berhenti membuka dokumen dihadapannya dan menatap lelaki yang bediri dihadapannya. Tidak menyangka bahwa hari ini akan tiba juga.

“Okay?” Jawab lelaki paruh baya itu tidak yakin.

“Just okay?”

“Mau jawab apa lagi?”

“Oke. Hari sabtu dad jam 10 nanti kita kerumah dia.” Joss melangkahkan kakinya keluar dari ruang kerja ayahnya.

“She or he?” Pertanyaan itu membuat Joss berhenti dan melirik ayahnya yang saat ini menatapnya.

“He. His name is Tawan Vihokratana. Dia kerja di CDC Amerika sekarang and he was my senior at Monokrom.” Joss menyudahi percakapan mereka dan berjalan keluar ruangan tanpa melihat ayahnya lagi.

Joss tidak sadar bahwa ayahnya tersenyum kecil.

“You gave up your dream of becoming a public health expert and suddenly agreed to my offer to study business and continue the company early, all for him, right?”

**********

Epilog: You've Got Mail Chapter 2

“Micha gua balik duluan ya” Ucap Tawan setelah seluruh pekerjaannya untuk hari ini selesai.

“Loh gak jadi bareng sama gue sama Evan?” Tanya Michael kebingungan.

“Tay udah selesai?” Sebuah suara menginterupsi percakapan antara Michael dan Tawan.

Tawan hanya melirik Michael dengan mata yang menunjukkan liat kan udah dijemput.

Michael mengangguk paham dan berbisik kecil, “good luck datenya”

Tawan hanya terkekeh dan melambaikan tangannya pada Michael. Dia mendekati Thanat yang sudah berada di depan ruangan mereka. Lelaki itu hari ini memakai kemeja berwarna hitam dengan jas yang sudah disampirkan dipergelangan tangannya.

“Udah ayo, mau kemana jadinya?” Tanya Tawan, tangan lelaki itu menarik jas yang disampirkan sembarang oleh Thanat dan melipatnya dengan rapi.

“Kebiasaan deh mas, ini jasnya dilipet yang rapi kalau udah selesai dipake. Kan bisa dipake buat besok?” Gerutu Tawan.

Thanat tersenyum kecil dan mengacak rambut lelaki yang lebih muda, “Kan ada lo yang bakal rapiin jas gua.”

“Berantakan anjir rambut gua.” Omel Tawan, “Ini jadinya mau kemana eh mas?” Lanjutnya.

“Ruth's Chris Steak House” Jawab Thanat tanpa melihat Tawan, lelaki itu sibuk menyapa para pekerja yang melewatinya dan Tawan. Thanat memang dikenal sebagai atasan yang suka bergaul dengan bawahannya maka tidak asing melihat dirinya disapa oleh semua pekerja dengan santai.

“Wih steak, akhirnya bisa makan steak.” Ledek Tawan dengan kekehan kecil.

Thanat kembali mengusak rambut Tawan dengan gemas, “Kayak gak pernah makan steak aja woy, gaji lo berapa digit udah.”

“Gak usah ngomongin gaji deh, gua tau mas gaji lo kalau dirupiahin nolnya udah gak terhingga. Apalah gua nolnya masih dikit.” Keluh Tawan.

“Sembarangan, mana ada nolnya tak terhingga. Ngaco.” Thanat tertawa dengan keras. Tawan memang sangat menggemaskan apalagi kalau sudah membahas tentang jabatan dan gaji, lelaki itu selalu meledeknya sebagai milyarder asal yogyakarta.

“Bawa mobil yang mana mas?” Tanta Tawan penasaran.

“Kayak gua punya banyak mobil aja, bawa yang biasa si toto.”

Tawan memutar bola matanya masalahnya tuh mobil “biasanya” Thanat itu luar biasa.

“Iya dah deputy director mah beda ya Ferarri roma seharga $225,000 mah biasa ya mas, bukan apa-apa.” Sindir Tawan.

“Nanti juga uangnya buat lo semua Tay” Jawab Thanat pelan.

“Hah apa mas? Maaf tadi gak kedengeran?” Tanya Tawan penasaran karena tadi saat Thanat membalas ucapannya dia sedang tidak fokus mendengarkan lelaki itu karena membalas pesan dari Michael yang nitip cemilan saat pulang nanti.

“Gapapa, ayo masuk laper nih gua.” Ajak Thanat.

“Mas buka jendelanya ya.” Pinta Tawan.

Thanat mengangguk dan membuka jendela mobilnya. Tawan tersenyum lebar dan mengacungkan jempolnya pada Thanat.

“Gila udah lama banget gak keliling Atlanta dengan tujuan buat jalan-jalan.” Keluh Tawan.

“Bener, akhir-akhir ini banyak banget kasus kesehatan di US makanya CDC lagi sibuk-sibuknya. Mau cuti tiga hari aja di acceptnya susah banget.” Thanat ikut mengeluh.

Tawan tertawa, dia ingat betul saat Thanat marah-marah karena permintaan cutinya selama tiga hari saat dia ingin menghabiskan waktu bersama teman-temannya di LA ditolak karena kantor yang sedang sibuk.

Setelah kejadian penolakan tersebut Thanat benar-benar menyelesaikan pekerjaannya secepat kilat, bahkan dikantor wajah tampan Thanat yang biasa dipenuhi senyuman hanya berekspresi datar membuat siapapun segan untuk menyapanya, tak terkecuali Tawan.

“Tahun ini gak bisa pulang gak sih mas? Kayaknya gak bisa deh. Apa gua bawa mama papa sama yang lain kesini ya?” Ujar Tawan.

Tawan sih ingin sekali membawa mama papanya untuk berlibur kesini, karena terakhir mereka kesini tiga tahun yang lalu, setelah itu mereka menolak karena katanya terlalu buang-buang uang membawa mereka semua ke US padahal Tawan tidak pernah mempermasalahkan tentang uang, toh selama ini dia juga memang menyimpan uangnya buat orang tua, kakak, dan adiknya.

“Bisa, mas udah request cuti akhir tahun nanti selama 2 minggu.” Jawab Thanat.

“Loh serius? Gua juga?” Tanya Tawan dengan mata berbinar.

“Iya anak kecil.” Kekeh Thanat mengusak rambut Tawan dengan gemas.

“Mas sorry banget ya gua udah dewasa udah mau 27 tahun, dasar om-om.” Keluh Tawan.

“Om-om dari mana? Gua baru 34 tahun Tay.” Protes Thanat.

“35 tahun.” Koreksi Tawan

“Terserah.” Pasrah Thanat.

Tawan hanya tertawa dan kembali melanjutkan agenda meledeki Thanat karena lelaki itu selalu memiliki celah untuk Tawan jadikan bahan ledekkan. Lelaki berusia 35 tahun itu juga tidak pernah marah atau tersinggung, Tawan pernah bertanya langsung karena dia takut candaannya terlalu berlebihan.

Namun Thanat hanya tertawa dan menyetil dahinya dengan keras saat itu, katanya dia sudah lama tidak diledeki oleh orang lain jadi dia menikmati semua celotehan dan ledekkan yang Tawan berikan padanya.

“Kalau lagi jalan gini selalu inget Jakarta yang setiap harinya gak pernah gak macet, mau dinner jam 7 sampenya malah jam 8 malem. Jalanan Jakarta gak ada rasa kasihannya sama gua dulu.” Cerita Tawan.

“Pas masih kuliah ya?” Tanya Thanat.

Tawan mengangguk dengan semangat, “Iya pas jaman kuliah di Monokrom mas.”

“Ayo ceritain masa kuliah dong Tay, mau denger.” Pinta Thanat dengan senyumannya, lelaki itu melirik sekilas Tawan yang masih sibuk memperhatikan jalanan yang mereka lewati.

Senyum Tawan luntur mendengar permintaan Thanat, entah kenapa saat membahas masa kuliah semua kenangannya dengan Joss selalu teringat paling pertama. Padahal mereka menghabiskan waktu bersama hanya satu bulan, tapi rasanya seperti menghabiskan waktu bersama selama bertahun-tahun.

“Dulu gua gak bisa nyetir mobil, sampe sekarang sih. Dulu pas sebelum ambil peminatan gua selalu nebeng sama temen-temen gua mas, yang sering gua ceritain itu si off dan lainnya. Kayak hampir setiap hari mereka samper gua di rumah, soalnya kan kelasnya selalu sama kalau di monokrom gak pernah ganti.”

Thanat mengangguk mengerti, awalnya dia heran kok ada anak Jakarta yang gak bisa menyetir kendaraan ternyata emang Tawan sendiri yang malas untuk belajar bawa kendaraan.

“Terus pas peminatan tuh karena gua cuma ada barengan sama Gun jadi kebanyakan gua naik gojek sih mas. Mau naik gocar saat itu tapi takutnya pas sampe dosennya udah selesai ngajar” Canda Tawan.

“Terus pas akhir-akhir semester gua punya yang nganter jemput terus-terusan.” Senyum Tawan meluntur saat membicarakannya.

“Pacar?” Tanya Thanat penasaran.

Tawan menoleh ke arah Thanat dan memberikan anggukan dan senyuman kecil.

“Kirain anak kecil ini belum pernah pacaran” Ledek Thanat mengusak rambut Tawan dengan kekehan yang jelas.

“Sembarangan!!! Pernah lah masa gak pernah, tapi masih kalah sih sama mas Thanat yang suka disamperin orang nangis minta balikan.” Jawab Tawan memainkan intonasi bicaranya sebagai upaya meledek lelaki yang lebih tua.

Thanat tertawa keras mengingat awal-awal dia dekat dengan Tawan saat itu ada lelaki yang menjadi mantan kekasihnya mendatanginya dengan menangis meminta maaf dan ingin balikan dengannya. Saat itu Thanat sangat kaget begitu juga dengan Tawan.

Namun setelah kejadian itu Tawan menjadikannya sebagai bahan untuk meledeknya karena memang sangat lucu. Bayangkan mereka berdua sedang makan di burger king lalu ada lelaki yang mendatangi sambil menangis.

Saat itu Thanat dan Tawan menjadi pusat perhatian. Bahkan Thanat harus meninggalkan Tawan sendirian karena mantannya tidak berhenti menangis.

“Udah dong jangan diinget lagi, lucu banget emang itu. Si Richard juga kalau diingetin sekarang malu deh kayaknya.” Ujar Thanat disela tawanya.

Tawan mencoba menghentikan tawanya, dia mengambil nafas perlahan dengan wajah yang memerah karena terlalu banyak tertawa.

“Tapi asli mas itu pengalaman pertama gua, soalnya mantan gua gak ada yang begitu. Pisahnya miris mulu.” Curcol Tawan.

Thanat tersenyum kecil dan mengusap pundak Tawan dengan tangan kanannya, “Ayo lanjutin ceritanya.” Ujar Thanat.

“Oh tadi sampe mana? Anter menganter ya?” Tanya Tawan yang dibalas anggukkan Thanat.

“Iyaaa dulu tuh gua sampe ditemenin pas ambil data skripsi tau mas. Dulu kan skripsi gua tentang psk, terus pas gua datengin salah satu rumah psk dia ikut bantuin ambil data. Nemenin sampe selesai juga mas.” Cerita Tawan.

Thanat mendengarkannya dengan seksama, dari intonasi yang Tawan gunakan sudah menggambarkan betapa dulu Tawan sangat menyayangi mantan pacarnya.

“Waktu itu bahkan dia bantuin gua ngerjain bab 2 sama bab 3 tau mas. Jadi gua yang parafrase dia yang ngetik sama masukin daftar pustaka. Gila dulu bucin banget ya dia, gua juga sih.” Kekeh Tawan, matanya menatap jalanan dengan tatapan hangatnya.

“Terus putus kenapa? Kalau boleh gua tau. Kalau gak mau cerita gak papa sih.” Ucap Thanat dengan hati-hati.

Tawan kembali menatap Thanat dengan senyuman kecil yang terpasang diwajah tampannya, “Karena sama-sama mengejar mimpi.”

Thanat terdiam mendengar ucapan Tawan, “Susah ya?” Tanya Thanat dengan suara menenangkannya.

Gantian kali ini Tawan yang terdiam, sudah lama rasanya tidak ada yang berbicara dengan intonasi menenangkannya. Seperti dipeluk oleh sebuah suara, merangkulnya untuk menumpahkan seluruh beban yang dipangkunya selama ini.

“I don't even remember what it's like to not feel broken.” Bisik Tawan.

“He was the first one to show me what it's like to open up and be dependent to someone else, he showed me that it is better to feel, and good to grow memories with people. He said not every person is going to hurt me and leave me behind.”

“And now those memories are going to be something I hold on to for the rest of my life because saying goodbye to him was one of the hardest things I have ever done.” Tawan mengalihkan pandangannya dari Thanat yang saat ini menatapnya.

“I'm sorry you went through that. But now I can say that all is well, Tawan. Things don't happen for no reason, they happen to teach you something.” Ucap Thanat dengan yakin.

“When you feel you want to give up just remind yourself of the dream you want to pursue, of humans you have yet to meet, of place you have yet to see. No matter what, just continue to remind yourself that you are going to make it, that you are going to heal, that above all else- you are going to survive.” Bisik Thanat.

Lelaki itu mengelus pucuk kepala Tawan sekali, memberikan seluruh kasih sayangnya untuk lelaki yang lebih muda. Thanat kembali fokus pada jalanan didepannya, membiarkan Tawan tenggelam dalam semua pikirannya. Lelaki itu mungkin memang butuh waktu untuk sendirian.


Mobil Thanat dengan sempurna terparkir di depan restaurant yang mereka tuju. Waktu menunjukkan pukul 6.30 PM. Baik Tawan maupun Thanat sudah merasakan lapar karena pekerjaan mereka hari ini cukup banyak.

“Ayo masuk?” Ajak Thanat.

Tawan mengangguk dan berjalan beriringan dengan Thanat masuk ke dalam restaurant.

Ruth's Chris Steak House memang cukup terkenal karena rasa steaknya yang diatas rata-rata. Tawan pernah sekali kesini saat itu dan menurut Tawan memang juara rasa steaknya.

Mereka disambut dengan pelayan lelaki dengan wajah yang Tawan akui rupawan, Tawan membiarkan Thanat yang berbincang dengan sang pelayan sementara dirinya memperhatikan keadaan sekitar. Restaurantnya cukup ramai tapi tidak sampai membuat sesak.

“Waiting list?” Tanya Tawan saat Thanat belum juga selesai berbincang.

“Engga, lagi minta spot bagus yang deket jendela kebetulan orangnya baru selesai jadi lagi diberesin dulu gapapa kan?” Tanya Thanat.

“Iya gapapa.” Jawab Tawan.

Pelayan tersebut mempersilahkan Thanat dan Tawan untuk mengikutinya. Tawan yang tiba-tiba merasa gugup menarik ujung kemeja Thanat, namun lelaki yang lebih tua itu tidak menyadarinya.

“Silahkan duduk, sir.” Ujar pelayan tersebut. Thanat tersenyum dan mulai duduk begitu juga dengan Tawan.

“Biasa makan di burger king jadi kagok deh.” Keluh Tawan.

Thanat hanya tertawa mendengar keluhan Tawan, dirinya sudah biasa karena memang biasanya jika ada rapat dengan deputy lainnya mereka akan memilih tempat di luar kantor, mencari suasana baru juga.

Pelayan kembali datang menyerahkan buku menu, Tawan dan Thanat fokus membaca menu yang tertera dihadapan mereka.

“Appetizersnya stuffed mushrooms, Tay?” Thanat membuka suara pertama kali menyebutkan pesanannya.

“Veal osso buco ravioli.”

“For main course I want T-bone with mashed potato and cremini mushrooms.” Ujar Thanat lagi.

“For me, new york strip with mashed potato and grilled asparagus. For dessert i would like to have haagen-dazs ice cream with chocolate flavor.” Ucap Tawan.

“Ah dessert...” Ungkap Thanat berbisik, “For dessert I want chocolate sin cake and give us red wine. Thank you.” Lanjut Thanat.

Pelayannya mengucapkan terima kasih dan meninggalkan mereka berdua. Tawan sibuk memandangi jalanan kota Atlanta yang terlihat dari jendela yang berada disampingnya. Memilih spot disini memang pilihan terbaik. Rasanya bebannya menghilang sedikit.

Jujur saja ucapan Thanat tadi sedikit banyak mempengaruhinya. Selama ini teman-temannya memang menyemangatinya namun mereka jarang sekali mengungkit tentang Joss, mungkin mereka memang menghindarinya karena takut dirinya sedih.

Namun apa yang Thanat tadi ucapkan langsung pada intinya membuatnya menyadari bahwa dia berhasil survive selama ini, membuatnya kembali mempertanyakan apakah semuanya akan selalu baik-baik saja bahkan ketika dia tidak akan kembali bersama lelaki itu?

“Mikirin apa sih? Alisnya sampe nukik gitu.” Tanya Thanat tiba-tiba.

Tawan terkejut karena jari-jari lelaki itu berada alisnya, memainkan alisnya dengan serius.

“Jangan mikir berat-berat, nanti makin laper repot.” Ucap Thanat santai. Lelaki itu menarik jarinya dari wajah Tawan dan terkekeh kecil karena melihat ekspresi Tawan yang terkejut.

“Bikin kaget aja.” Protes Tawan.

“Hahaha iya maaf lagian serius banget sampe alisnya menukik nukik gitu.” Balas Thanat.

“Cuma mikir dikit tadi yang mas omongin.” Jujur Tawan. Lelaki itu memang selalu vokal pada Thanat karena memang Thanat merupakan seorang pendengar yang baik.

Selain itu Tawan belajar banyak dari masa lalu, ketika dia banyak menyimpan semuanya sendirian dan akhirnya malah memiliki dampak buruk untuk dirinya, jadi sebisa mungkin dia akan vokal pada apapun yang dipikirannya.

“Apa yang dipikirin, hm?” Tanya Thanat dengan lembut. Lelaki yang lebih tua itu menatap Tawan dengan pandangan teduhnya.

“Am I really gonna be okay?” Tanya Tawan menatap Thanat tepat dimata.

“You're gonna be okay Tawan. Even if you're not. It's still okay.” Jawab Thanat dengan pasti.

“Was it hard?” Tanya Tawan.

“Apa?” Tanya Thanat tidak paham.

“Letting go and move on?” Tanya Tawan.

Thanat tersenyum kecil, dia sudah mengiranya sejak Tawan menceritakan tentang lelaki terakhir yang menjadi mantan kekasihnya. Cara penyampaian Tawan yang begitu penuh akan pemujaan membuatnya menyadari bahwa lelaki ini masih terjebak dalam masa lalu yang membelenggunya.

“Not as hard as holding on to something that wasn't real.”

Something that wasn't real Tawan mengulangnya dalam hati. Apakah janji yang dibuatnya dengan Joss merupakan suatu hal yang tidak nyata?

He promise me that we will meet again but it's already six years and there's no sign for us to meet.

Bagaimana jika selama ini hanya dirinya yang menunggu lelaki itu? Bagaimana jika selama ini dia menunggu sendirian?

“At some point, you just have to let go and move on. It might be the hardest thing in the world to do, but you have to summon all of the strength you possibly can to finally let go.” Lanjut Thanat.

“He promised me we will meet again in better circumtances.” Lirih Tawan.

Thanat mengelus rambut lelaki dihadapannya dengan penuh kasih sayang, “Listen anak kecil, not everything is supposed to become something beautiful and long-lasting.”

“Sometimes people come into your life to show you what is right and what is wrong, to show you who you can be, to teach you to love yourself, to make you feel better for a little while, or to just be someone to walk with at night and spill your life too.”

“Not everyone is going to stay forever, and we still have to keep going on and thank them for what they've given us.” Tandas Thanat.

“Jadi gua harus move on ya mas?” Tanya Tawan.

“Gua gak bilang gitu, tapi coba tanya lagi sama diri lo sendiri Tay. Mau sampe kapan nunggu? Kalau gua gak salah hitung udah hampir 5 tahunan kan? itu terserah lo mau gimana kedepannya Tay, just remember that you are the only one in charge of your life.” Ujar Thanat.

Sebelum Tawan sempat menjawab, pelayan datang mengantarkan pesanan mereka.

“Later, we will talk about it later ya?” Ucap Thanat.

Thanat berterima kasih pada pelayan dihadapannya, lelaki ity kembali duduk dan menatap Tawan yang terpaku pada makanan di depannya.

“Selamat makan.” Ucap Thanat.

“Selamat makan...”

Thanat makan dengan hening, sesekali memerhatikan Tawan yang makan dengan cukup lahap. Lelaki yang lebih muda itu sangat menggemaskan. Matanya masih memperlihatkan banyak kebingungan namun mulutnya tidak berhenti mengunyah makanan dihadapannya.

Thanat memotong steaknya dan menyerahkan garpunya di depan mulut Tawan, Tawan melirik Thanat dengan penuh tanda tanya.

“Cobain t-bonenya, enak banget.” Ujar Thanat sambil menyodorkan garpunya.

Tawan yang masih kebingungan hanya mengikuti perintah Thanat untuk membuka mulutnya dan menerima suapan steak milik Thanat. Tawan menguyahnya dengan perlahan dan matanya sontak membulat terkejut.

“Enak bangetttttt!!” Tawan berucap dengan semangat.

“Iyakan enak? Enakan mana sama punya lo?” Tanya Thanat.

Tawan terlihat berpikir namun tidak kunjung memberikan jawaban atas pertanyaan Thanat, lelaki itu malah memotong steaknya dan menyerahkannya pada Thanat seperti yang Thanat lakukan padanya.

“Cobain sendiri mas, gua agak payah dalam mendeskripsikan rasa.” Kekeh Tawan.

Thanat tersenyum sangat lebar dan menerima suapan dari Tawan dengan suka cita. Siapapun yang melihat Thanat dapat memberikan kesan bahwa lelaki itu sangat memuja lelaki yang duduk didepannya.

“Enak dua-duanya lah.” Ujar Thanat setelah menelan suapan yang diberikan Tawan.

Tawan dan Thanat melirik satu sama lain dan terkekeh bersama, menertawai kekonyolan mereka saat ini.

Entah apa yang semesta lakukan pada Tawan tapi untuk saat ini Tawan merasakan hatinya menghangat, rasanya familiar. Sangat familiar, Tawan pernah merasakannya enam tahun yang lalu. Perasaan hangat yang dirasakannya secara tiba-tiba namun dapat membuat hidupnya jungkir balik dalam sekian detik.

Jujur saja, Tawan sangat merasa ketakutan saat ini. Tawan takut, bahwa dia sudah terbiasa tanpa Joss dan hatinya mulai membuka celah untuk orang baru tanpa ia bisa cegah.


Thanat dan Tawan memutuskan untuk mengelilingi Atlanta sebelum pulang. Perut mereka sudah penuh dengan makanan bercita rasa tinggi. Thanat kembali membuka jendela mobilnya, membiarkan Tawan untuk merasakan indahnya jalanan dimalam hari.

“This is one of my best night ever.” Ucap Thanat tiba-tiba.

Tawan menoleh sebentar dan tersenyum kecil, “I guess, is it because of me right?” Jawabnya dengan percaya diri.

“Bener.” Jawab Thanat tanpa banyak mengelak.

Tawan terkekeh kecil dan kembali memperhatikan jalanan malam Atlanta. Tangannya dia keluarkan sedikit untuk merasakan angin malam. Rasanya menyenjukkan.

“So, how do you feel?”

Tawan kembali memfokuskan padangannya pada Thanat, lelaki itu menyenderkan tubuhnya dengan perlahan.

“I don't know...” Jujur Tawan.

Thanat mengangguk mengerti, “Describe him.” Pinta Thanat.

“Tiba-tiba banget?” Tanya Tawan terkejut. Thanat hanya menaikkan alisnya dengan sengaja, Tawan mendengus geli.

“He had warm hugs, and he had beautiful eyes. The kind you could get lost in and I guess I did.” Kekeh Tawan. Sebenarnya banyak sekali yang ingin dia deskripsikan dari sosok Joss namun kata-kata itu tertahan diujung lidahnya.

“Want to try one?” Tanya Thanat.

“Apa?” Balas Thanat kebingungan.

“Warm hug.”

“Hah?”

Thanat dengan tiba-tiba menyalakan lampu sen kiri dan memberhentikan mobilnya secara tiba-tiba.

Lelaki itu membuka seatbelt yang melingkari tubuhnya dan membuka lengannya dengan lebar. Lengannya merengkuh Tawan dalam sebuah pelukan erat.

Tawan yang menerima pelukan secara tiba-tiba tidak bisa berkutik karena terlalu terkejut. Sebuah pelukan hangat tiba-tiba melingkupi tubuhnya.

Thanat menepuk-nepuk punggung Tawan dengan lembut, memberikan ketenangan bagi lelaki yang lebih muda. Menyalurkan seluruh kasih sayangnya pada lelaki itu, seakan mengingatkan bahwa Thanat akan selalu berada disisinya.

“How about my hug? Is it warm?” Tanya Thanat berbisik.

“It's warm.” Lirih Tawan. Tawan memeluk kembali Thanat dengan seluruh tenaga yang tersisa.

Pelukan ini rasanya sangat mirip. Seperti pelukan yang Joss berikan padanya enam tahun lalu, pelukan yang selalu dia butuhkan saat dirinya sedang terjatuh. Pelukan yang lelaki itu berikan untuk menyalurkan kasih sayang yang dimiliki.

Tawan semakin mengeratkan pelukan mereka, mencari kehangatan yang sudah tidak dia rasakan selama enam tahun ini. Tawan merindukannya. Namun saat ini Tawan bertanya-tanya, apa yang dirindukannya?

Dia merindukan eksistensi Joss, ataukah dia hanya merindukan memori lamanya?

“Wanna hear a story?” Tanya Thanat disela pelukan mereka.

“Apa...”

“I fell in love with someone. Orang ini orang hebat, mau belajar, mau coba hal baru tanpa takut, bahkan ketika orang-orang bilang dia terlalu bekerja keras dia gak pernah perduli dan malah semakin maju.” Jujur Thanat.

“Hah?”

“I fell in love with his courage, his sincerity, and his flaming self-respect and it's these things I'd believe in even if the whole world indulged in wild suspicions that he wasn't all that he should be. But of course the real reason is that I love him and that's the beginning and the end of everything.” Jelas Thanat.

“And he's with me. Right now. In my arms.”

Tawan membeku. Lengannya dengan refleks melepaskan pelukan mereka. Tawan menatap Thanat dengan tidak percaya. Benar, orang-orang itu benar bahwa Thanat memiliki perasaan untuknya.

“Kenapa?” Lirih Tawan.

“I don't know. I love you for absolutely no reason at all. I just love you and that is all. Sometimes love doesn't need to have special reason. It just exist.”

“Dari kapan mas?” Tanya Tawan lagi.

Thanat terkekeh dengan cara yang paling indah, “Aduh gak tau sejak kapan, lupa. Tiba-tiba udah banyak kupu-kupu aja diperut. Kirain mah karena kelamaan sendiri, tapi kok adanya cuma pas deket lo aja.” Lanjutnya.

Tawan masih terdiam. Matanya meninggalkan tatapan Thanat yang masih menguncinya. Dia menunduk, merasa terbebani dengan pernyataan yang baru saja Thanat berikan.

Thanat menangkup wajah Tawan dengan hati-hati, lelaki itu tersenyum kecil melihat ekspresi wajah Tawan yang penuh tekanan.

Ekspresinya seperti saat lelaki itu diberikan tugas untuk mencari faktor penyebab dari outbreak yang terjadi namun orang-orang yang diwawancarai tidak mau memberikan informasi apapun.

“Kenapa sih ekspresinya kayak dikasih tugas buat ngelakuin penelitian kohort?” Ledek Thanat.

“Susahan kohort.” Protes Tawan.

“Yaudah nanti gua request ke Karen kalau lo disuruh penelitian kohort aja.” Ucap Thanat jahil.

“Males banget?????”

“Bercandaaa.” Kekeh Thanat. Lelaki itu merapikan rambut Tawan yang berantakan. Senyumannya tidak pernah luntur dari wajah tampannya. Dia senang karena ekspresi Tawan sudah tidak sekaku tadi.

“Mas.... Soal yang tadi-”

“Kenapa sih buru-buru? Gua gak minta jawaban kok. Cuma mau kasih tau aja. Mau memperjelas maksud gua deketin lo selama ini.” Jelas Thanat.

“Lagi emang tampang gua itu tampang orang yang nyari pacar ya?” Tanya Thanat.

Tawan kebingungan sekali lagi, namun dia mau tidak mau mengangguk mengiyakan. Memangnya apa lagi kalau bukan pacar?

Thanat kembali terkekeh, “Ya engga lah. Gua ini nyari pasangan hidup tau?”

“Nanti pas pulang ke Indonesia, boleh ya gua mampir ke rumah lo? Mau silaturahmi sama orang tua lo.” Lanjut Thanat tanpa memberikan Tawan waktu itu mencerna ucapan lelaki itu.

“Until the time I meet your parents, let me love you differently. Like the shores make love to seas. Relentlessly, never ceasing. In way eyes have never seen.” Thanat berucap menatap Tawan dengan penuh pemujaan. Lelaki itu tersenyum kecil melihat wajah kebingungan Tawan.

“Tay, Let me take you to places, places you've never been. Let me unzip feelings, feeling you've never knew exist. Let me start a fire within with the sparks with my kisses. Let me break down those walls, let me burn those bridges, and let me give you a love only me can give.”

Epilog: You've Got Mail Chapter 1

“Lo tuh kenapa gak pernah nerima tawaran kencan orang-orang deh?”

Pertanyaan itu terlontar saat Tawan baru ingin meletakkan secangkir kopinya. Dua hari ini teamnya harus lembur karena harus membuat laporan dari kejadian foodborne disease disekitaran Boston karena restoran seafood yang tidak memerhatikan hygiene bahan baku yang digunakannya.

“Gak ada waktu, Micha..” Ucap Tawan menanggapi pertanyaan yang seringkali ditanyakan padanya dengan santai.

“Gak ada waktu gimana? Lo masih bisa ikut bakti sosial dimana-mana kok, masih mau ditempatin di daerah yang jauh juga. Padahal lo bisa dikantor aja udah tinggi juga jabatan lo.” Protes lelaki yang dipanggil Micha itu, lebih tepatnya Michael.

Michael adalah teman satu team Tawan sejak lelaki itu diterima di EIS. Satu team mereka terdiri dari 10 orang, dengan 5 orang warga negara asing sama seperti dirinya.

Tawan hanya tertawa kecil, memang benar sih dia mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut untuk menghabiskan waktu agar terus sibuk jadi tidak terlalu memikirkan masa lalunya.

“Jangan-jangan lo udah punya pacar ya?” Tuduh Michael.

Tawa Tawan berhenti dengan sekejap, memori otaknya secara tiba-tiba memberikan gambaran tentang lelaki yang dicintainya beberapa tahun belakangan ini.

“Ya anggap aja begitu.” Jawab Tawan pelan.

Michael yang mendengar berjengkit tidak percaya, tubuh lelaki itu mendekati Tawan dengan cepat.

“Eh beneran? Beneran lo udah punya pacar? Kok gak pernah cerita sih sama gue?” Tanya Michael bertubi-tubi.

Tawan kembali terkekeh dan melanjutkan pekerjaannya, “Cepet gih selesaiin bagian lo, nanti kalau selesai hari ini bisa pulang cepet tau. Katanya lo mau kencan sama Evan?.” Perintah Tawan.

Michael hanya mencebikkan bibirnya kecewa, dia kan mau tau tentang kisah asmara ketua teamnya karena selama ini ketuanya itu hanya kerja, kerja, dan kerja.

“Iya iya.” Pasrah Michael.

“Someday in the future, kan?” Bisik Tawan dalam hati. Senyuman lelaki itu tidak pernah hilang sejak memori tentang mantan kekasihnya muncul tiba-tiba di otaknya.

“Tapi Tay, apa lo gak pernah nyadar kalau disekeliling lo banyak banget yang mau jadi pacar lo? Contohnya deputy director kita tuh yang sering bolak-balik kesini.” Celetuk Michael lagi merasa belum puas.

“Deputy director?”

“Iya!!! Dia kan baiknya ke lo doang tau Tay, apa lo gak sadar? Semuanya disini ngira kalian pacaran sih, kecuali anak team kita sih. Lagian lo apa-apa bareng dia terus, makan siang, pulang, terus dia sering bawain makanan atau kopi kesini juga padahal kan kita bukan dibawah naungan dia.” Lanjut Michael.

“Masa sih?” Tanya Tawan penasaran.

“Iya ih mulai besok perhatiin deh.”

“Yaudah nanti. Lagian gua gak ada ketertarikan juga, like I said, anggap aja gua punya pacar makanya gak pernah pacaran selama kerja disini.”

“Hadah keliatan orang gagal move on ini mah.” Pasrah Michael. Lelaki itu melanjutkan pekerjaannya membiarkan Tawan tersenyum hanya karena memikirkan mantan kekasihnya.

Sudah 6 tahun sejak perpisahan mereka, namun Tawan tetap menunggu lelaki itu seperti yang lelaki itu suruh. Dia tidak keberatan menunggu Joss Wayar selama apapun itu, karena Joss Wayar memang sepantas itu untuk menjadi kisah terakhirnya.

****

Waktu menunjukkan pukul 1 siang, Tawan merapikan barang-barangnya. Rekan kerjanya sudah kembali terlebih dahulu, sementara dia harus menyelesaikan beberapa hal sekaligus mengecek seluruh pekerjaan teman-temannya.

Suara pintu ruangan yang dibuka membuat Tawan dengan cepat menolehkan kepalanya, senyumannya melebar melihat siapa yang datang dengan segelas ice americano ditangannya.

“Ngapain mas? telat dih, gua udah mau pulang.” Ledek Tawan saat melihat lawan bicaranya kebingungan karena ruangan yang biasa ramai hanya tinggal dirinya seorang.

“Pada kemana? Kok tumben sepi, biasanya paling rame.” Tanya orang itu dengan kebingungan yang jelas.

“Udah pada pulang mas, semalem kita lembur ngejar deadline jadi hari ini gua suruh pada pulang cepet.” Jawab Tawan santai.

Lelaki yang baru saja datang itu berjalan mendekati Tawan dan memberikan kopi yang dibawanya, “Pantes. Kemarin gua kan gak ke kantor.”

“Lo sih mas, bolos terus.” Ledek Tawan. Tangannya menerima minuman yang dibawakan untuknya.

“Thanks for the coffee btw, kenapa mas tumben kesini jam segini? Seorang deputy director bisa-bisanya bolak balik ke divisi orang mulu.” Lanjut Tawan.

“Mau ngajak pulang bareng, sekalian tadi turun beli americano buat yang lain.”

“Not today mas, karena gua udah mau pulang.” Kekeh Tawan sambil memperlihatkan mejanya yang sudah rapi begitu juga dengan tas kerjanya.

Lelaki itu hanya terkekeh dan mengelus rambut Tawan dengan gemas, “Oke oke you won. Take care ya. Kalau udah dirumah kabarin gua oke?” Ucapnya dengan senyuman tampan yang terpasang diwajah tampannya.

“Oke mas, pulang duluan ya. Thank you sekali lagi buat kopinya, mas Thanat.” Balas Tawan dengan senyuman manisnya.

Lelaki yang dipanggil mas Thanat itu hanya tersenyum dan memberikan jempolnya pada Tawan. Tawan melambaikan tangannya dan berjalan keluar meninggalkan lelaki itu di ruangannya.

“Tay, besok pulang bareng oke?” Teriak Thanat sebelum Tawan masuk ke dalam lift.

“Dinner on you?” Tanya Tawan dengan senyuman miring yang terpasang di wajah tampannya.

“It's on me. See you tomorrow, Tay. Hati-hati pulangnya.”

Tawan masuk ke dalam lift dengan senyuman yang tidak berhenti di wajahnya. Lee Thanat adalah Deputy Director untuk divisi infection disease. Mereka mulai dekat satu tahun setelah Tawan bekerja di CDC. Kebetulan Thanat adalah orang Indonesia seperti dirinya, tepatnya orang Yogyakarta.

Thanat banyak membantunya disini, Tawan sudah menganggap Thanat sebagai kakaknya sendiri karena lelaki itu sangat baik padanya. Bahkan mereka beberapa kali pulang ke Indonesia bersama. Selain itu karena bantuan Thanat pula lah dia bisa menjadi Chief dari Divisi yang dia inginkan, yaitu Health informatics and Surveillance System.

Sebenarnya Tawan sudah mendengar banyak desas desus tentang dirinya dengan mas Thanat. Namun lelaki itu memilih abai dan fokus menjalani karirnya. Lagipula mana mungkin seorang dengan jabatan super tinggi seperti mas Thanat suka pada team leader biasa seperti dirinya.

Dia hanya berusaha membalas kebaikkan Thanat sebaik mungkin karena memang hidup dia lebih muda disini karena power dan relasi yang lelaki itu miliki. Sampai dia memiliki divisi sendiri dan menjadi ketua team didivisinya yang berisi 10 orang hebat, salah satunya adalah Michael Lee.

Tawan mengulik kembali perjalanannya sampai pada tahap ini, saat itu setelah dia menyelesaikan volunteernya, Tawan langsung mengambil program masternya di Stanford University dengan Dual Medical Doctor and Master of Public Health (MD/MPH).

Selama dia menempuh pendidikannya, dia juga bekerja sebagai EIS Officer selama 2 tahun. Berdasarkan pengalaman yang dimilikinya tersebut, Tawan mendaftar langsung di Departmen of Health and Human Service.

Dia memulai karirnya di CDC awalnya menjadi anggota team yang diketuai oleh Thanat, dibagian Divisi TB eliminations. Lalu dia kembali dipindah kebagian Zoonotic Infectious Disease sampai akhirnya dia mengajukan diri untuk pindah ke bagian Health science and surveillance karena Tawan merasa lebih menguasai tentang Surveillance System.

Dan itu merupakan keputusan yang tepat, karena belum lama dari Tawan dipindah tugaskan, Tawan sudah diangkat menjadi chief dari salah satu divisi di HSS yaitu Health informatics and Surveillance System.

Tawan juga selalu pulang ke Indonesia setiap 6 bulan sekali, kakaknya sudah menikah dan sekarang dia memiliki satu keponakan perempuan yang sangat menggemaskan. Kakaknya menjadi dokter spesialis anak di salah satu rumah sakit swasta di Jakarta. Selain itu adiknya, saat ini sedang menempuh kuliahnya di semester akhir.

Terakhir dia kembali ke Indonesia, Tawan mengunjungi Jumpol dan Gun di Sumatera Utara. Kedua temannya tersebut pindah kesana karena Jumpol menjadi seorang safety inspector and auditor di salah satu perusahaan pertambangan emas disana.

Sementara Gun menjadi kepala bidang PPP di Dinkes Sumatera Utara, awalnya Gun berada di Dinkes DKI Jakarta namun dia mengajukan diri untuk dipindahtugaskan ke Sumatera Utara mengikuti kekasihnya.

Selain Jumpol dan Gun, Tawan lebih sering bertemu dengan teman-temannya yang lain karena mereka semua bekerja di daerah Jakarta. Sehingga lebih mudah untuk bertemu. Pada awalnya dia paling tidak mempercayai pekerjaan Arm, siapa sangka Arm akan menjadi dosen sekaligus manajer riset salah satu universitas negeri di Jakarta, dia pikir Singto-lah yang akan menjadi seorang Dosen.

Tawan menyapa orang-orang yang dikenalnya sepanjang perjalanan. Hari ini dia memutuskan untuk pulang dengan uber, biasanya dia akan menumpang pada Michael dan kekasihnya karena Tawan dan Michael tinggal diapartment yang sama.

Tawan memasuki uber yang dipesannya dengan senyuman, “Pak nanti bisa drive thru mcdonald's dulu gak?” Tanya Tawan dengan pelan.

“Bisa”

“Okay nanti mampir dulu ya pak sebentar.”

Tawan menyenderkan tubuhnya dengan lelah, sebenarnya melelahkan sekali harus lembur seperti ini, namun memang deadline yang sudah didepan mata. Kalau Tawan dan teamnya menunda pekerjaan, maka pekerjaan mereka yang lainnya akan terbengkalai. Apalagi mereka bermain dengan data, semua yang dikerjakan harus benar-benar fakta yang nyata karena dari data yang mereka olah akan dibuat kebijakan oleh perusahaan.

Tawan memperhatikan jalanan yang tidak begitu padat, ingatannya kembali melayang pada masa awal-awal dirinya dan Joss sepakat untuk memutuskan hubungan. Awalnya sangat berat untuk Tawan, meskipun dia mengatakan pada orang lain dirinya baik-baik saja, tapi dia sebenarnya tidak baik-baik saja.

Skripsinya sempat terbengkalai selama dua minggu, Tawan tidak bisa fokus mengerjakan apapun. Dia hanya membaca ulang chat antara Joss dengan dirinya beserta email yang dikirimkan lelaki itu. Joss dan Tawan sepakat untuk tidak berkomunikasi setelah mereka putus.

Sebenarnya itu adalah permintaan Joss, Tawan hanya mengiyakan. Semua akun sosial media Joss, Tawan mute. Dia tidak menerima update apapun dari lelaki itu. Salah satu cara yang dia lakukan dalam hal mengikhlaskan, dan berhasil.

Tawan akhirnya bangkit perlahan, dia langsung mengerjakan skripsinya dan mengejar sidang. Beberapa kali Tawan jatuh sakit, namun akhirnya dia berhasil menyelesaikan pendidikannya. Gelar SKM tersemat dibelakang namanya.

Pada hari kelulusannya Tawan pikir Joss akan datang dan memberikannya selamat, tapi nyatanya lelaki itu tidak datang. Padahal Tawan ingin menyerahkan copy-an skripsinya pada Joss, karena lelaki itu menambahkan nama Joss Wayar dikata pengatar sebagai salah satu orang yang berarti di hidup Tawan.

Tawan kembali terjatuh, namun kali ini dia membiarkan dirinya terjatuh dengan bebas. Tawan tidak menunggu waktu lama, 2 minggu setelah kelulusannya dia memutuskan untuk langsung pindah ke America. Setelah orang tuanya mencari Apartment untuk ia tinggali, akhirnya Tawan pindah tanpa pernah bertemu lagi dengan Joss.

Awal kepindahan Tawan disibukkan dengan pengurusan berkas-berkas sebagai WNA dan juga berkas sebagai volunteer. Setelah semua yang ia lalui, akhirnya negara tempat Tawan melakukan pengabdian adalah Kenya.

Dan berita paling mengejutkan untuknya adalah sebelum dia terbang ke Kenya, Jumpol memberikan informasi bahwa Joss Wayar keluar dari FKM dan melanjutkan sekolah bisnis. Tawan semakin terjatuh, dia tidak menyangka Joss benar-benar menyerah akan mimpinya.

Lelaki itu mengorbankan banyak hal agar dapat menempuh pendidikan di FKM, namun lelaki itu menyerah. Tawan merasa sangat merasa bersalah, dia bahkan tidak bisa merespon apapun selain menangis. Jumpol mengatakan padanya bahwa Joss mengambil jalan itu agar dirinya bisa menyamai langkah Tawan yang menuju kebebasan.

Namun mereka tidak tau, bahwa kebebasan Joss Wayar bukanlah tentang bisnis. Lelaki itu tidak pernah menyukai hal-hal yang berkaitan dengan bisnis dan ayahnya.

Tawan semakin meyakinkan dirinya untuk menjadi merpati paling indah di langit, agar Joss dapat melihatnya dimanapun dia berada. Dia akan menunjukkan pada lelaki itu bahwa Tawan berhasil menjadi seseorang dengan kebebasan paling tinggi.

Bahwa Tawan berhasil meraih cita-citanya yang setinggi langit, bahwa Tawan berhasil menepati janjinya pada Joss untuk melanjutkan hidupnya dengan baik.

“Sir, mau pesen apa?” Suara supir uber mengagetkan Tawan dari lamunannya.

“Oh, big mac, french fries and cola large and chicken bites please.” Ungkap Tawan.

Tawan mengeluarkan uangnya dan membayar makanannya. Selama di Amerika Tawan memang seringkali pergi ke Mcd, mengharapkan pertemuan yang dijanjikan sang lelaki kesayangannya di masa lalu. Kemanapun Tawan pergi, dia akan menyempatkan diri untuk pergi ke Mcd.

Kabar terakhir yang Tawan dapat tentang Joss Wayar adalah saat ini lelaki itu baru menyelesaikan Master of Business Administration, dan ada yang mengatakan bahwa Joss saat ini menjadi COO di perusahaan milik ayahnya, namun Tawan tidak pernah mencari tau lebih lagi.

Dia ingin mendengar langsung cerita tersebut dari orangnya nanti ketika mereka dipertemukan. Tawan juga beberapa kali berkumpul dengan teman-teman Joss, namun mereka tidak ada yang membicarakan mengenai lelaki itu.

Kalau ditanya apakah Tawan merindukan lelaki itu? Tawan akan menjawab dengan lugas bahwa dia sangat merindukan mantan kekasihnya itu. Dia rindu diberikan pelukan secara cuma-cuma, dia juga rindu ketika lelaki itu dengan berisik menyuruhnya untuk beristirahat.

Hidup Tawan rasanya sangat sepi karena tidak ada lagi yang menyuruhnya untuk beristirahat. Teman-temannya juga memiliki kehidupannya sendiri, mereka tidak lagi seberisik dulu. Semua orang bertumbuh dewasa, satu persatu kebiasaan yang biasa ia lakukan juga menghilang.

Rasanya aneh, namun memang waktu selalu berjalan maju kan? Tidak perduli seberapa indah masa lalu mereka tidak akan pernah terulang. Maka Tawan mencoba sebisa mungkin selalu mengulang semua memorinya, agar memorinya tidak memudar ditelan waktu. Terutama memori tentang lelaki itu, lelaki yang masih dicintainya hingga saat ini.

Major Character Death, Angst, Car Accident.

9 Agustus untuk ketiga kalinya. Sudah 3 kali Tawan melakukan perayaan bersama lelaki paling ia sayangi di semesta raya setelah ayahnya sendiri. 9 untuk 36, begitu sekiranya mereka menjalani suka dan duka bersama.

Te (panggilan sayang yang diberikan oleh Joss hingga sekarang Tawan lebih sering menyebut dirinya sendiri sebagai Te dibandingkan Tawan) ingat sekali, saat itu kalau tidak salah pada saat sekolah menengah atas tingkat pertama semester dua, Tawan mendapatkan pengakuan cinta tiba-tiba dari seseorang yang bahkan namanya saja Tawan tidak kenal.

Awalnya Tawan mencurigai bahwa lelaki sedang melakukan taruhan atau bermain truth or dare, seperti yang biasa dilakukan oleh anak-anak seusianya. Namun ternyata lelaki itu sedang tidak melakukan kedua hal tersebut.

Pada saat kejadian Tawan tidak menerima ataupun menolak, Tawan hanya diam dan menatap lelaki yang mengaku bahwa namanya itu Joss cukup lama. Teman-teman disekitarnya sudah menyoraki mereka berdua untuk pacaran saja, yang Tawan pahami saat itu adalah Joss bawa pasukan untuk mendukung tingkahnya.

Tawan juga paham, jika ia menolak Joss pasti hal tersebut akan menjatuhkan harga diri serta kepercayaan diri Joss, namun jika Tawan menerimanya itu sama saja membohongi dirinya sendiri. Karena Tawan tau dia tidak menyukai apalagi mencintai Joss, atau lebih tepatnya belum menyukai lelaki itu.

Jadi yang terjadi saat itu, Tawan mendekati Joss hingga hampir tidak ada jarak diantara mereka dan berbisik,

“Joss, gue belum bisa jawab sekarang tapi jalanin dulu aja ya. Makasih udah suka sama gue.”

Dan dari situlah awal dimulai adanya perayaan setiap tanggal 9 Agustus.


Hari-hari Tawan dijalani dengan setiap tingkah dan kejutan yang Joss lakukan. Entah memang sengaja dilakukan untuk menarik perhatiannya atau memang sudah habit dari Joss untuk bertingkah aneh. Tawan hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat Joss yang aneh.

Banyak orang bertanya, “Te, kok bisa tahan sama Joss?” Tawan hanya bisa tertawa canggung dan menjawab, “Gak paham. Semakin aneh Joss, malah makin sayang.”

Lalu orang-orang tidak pernah mempertanyakannya lagi. Mungkin lelah akan jawaban Tawan yang selalu sama dan terkesan terlalu mencintai Joss. Padahal memang kenyataannya Tawan terlalu mencintai lelaki itu, siapa juga yang tidak mencintai lelaki sehangat dan sebaik Joss Wayar Sangngern?

Hubungan tanpa status mereka usianya mencapai 5 bulan, sampai Joss sekali lagi bertanya pada Tawan. Kali ini Joss tidak membawa pasukan, hanya ada dirinya, Tawan, dan burger kfc yang sisa setengah.

Joss memulai, “Te. ini gak romantis soalnya gua gak pernah jadi cowok romantis, karena jadi romantis itu no fun. Kalau kemarin saksinya banyak orang, kali ini saksinya cukup burger kfc harga sepuluh ribuan aja. Gapapa kan? Aduh anjir gua gugup banget.”

“Burgernya sisa setengah, sekarang tanggal 9 Agustus dan tepat 5 bulan setelah pernyataan cinta yang lalu. Kali ini pertanyaannya sama, tapi udah dimodifikasi soalnya kalau pake yang lama pasti lu bosen.”

Joss masih berbicara panjang lebar, dia terlalu fokus menatap burger hingga tidak memberi perhatian lebih pada pipi Tawan yang sudah memerah, semerah saus tomat di dalam burger yang menjadi saksi saat ini.

“Tawan Vihokratana, mau gak jadi batu penambal untuk aspal-aspal yang bolong? Jadi kompas buat para penglana, atau bahkan jadi rambu-rambu lalu lintas buat para pengendara kendaraan bermotor?” Tanya Joss dengan wajah paling seriusnya.

Tawan tertawa, suaranya tawanya begitu renyah, sangat nyaman untuk didengar. Joss selalu mempertanyakan mengapa Tuhan tidak adil. Dia menciptakan Tawan terlalu sempurna hingga untuk melengkapi kekurangan Tawan, Joss harus bisa menjadi seperti Leonardo DiCaprio (karena Tawan bilang DiCaprio adalah lelaki paling sempurna di bumi pertiwi jadi Joss memutuskan role modelnya adalah DiCaprio).

“Gak mau Joss.” Balas Tawan saat itu. Mendengar hal itu membuat pundak Joss merosot turun seperti harapannya yang mulai menipis.

Joss sudah menundukkan kepalanya, dibenaknya ia menyalahkan burger yang tinggal setengah, karena mungkin saja karena burger yang tinggal sedikit itu keberuntungannya saat ini juga berkurang.

“Gue gak mau jadi batu penambal, kompas, atau bahkan rambu-rambu lalu lintas, enak aja masa secakep gue jadi batu penambal. Gue maunya jadi pacar Joss. Joss Wayar Sangngern, siswa kelas 10-3 IPA di BM400 dan Joss yang 5 bulan lalu nyatain cinta ke siswa kelas 10-1 IPA yang namanya Tawan Vihokratana.” Balas Tawan panjang lebar.

Joss? Jangan ditanya, senyuman lelaki itu adalah senyuman terlebar yang pernah Tawan liat. Mata lelaki itu menyipit dengan indah, indah sekali, warnanya seperti kayu-kayu pinus di hutan. Joss sangat indah dan entah berapa banyak Tawan harus bersyukur dengan kenyataan bahwa dia dicintai dengan begitu banyak oleh lelaki sebaik Joss.

Joss masih tersenyum, tangannya dengan berani menggenggam erat jemari Tawan yang menganggur diatas meja.

“Te jangan gitu ya, kasian tadi burgernya sempet gua mau marahin karena gua kira lo bakalan nolak gua anjir.” Bisik Joss kecil.

Tawan hanya tertawa dan mengeratkan genggaman tangan mereka berdua, pipi hingga telinganya memerah namun lelaki itu tidak perduli karena dia sedang mencapai level tertinggi dalam kebahagiaan.

Joss kembali menghabiskan burgernya, tangannya masih menggenggam erat jemari Tawan dan sore hari itu mereka berdua habiskan dengan tawa serta keluhan-keluhan kecil tentang hidup.

Dan kali ini mereka sudah 3 tahun bersama menjalani kisah yang tidak pernah terpikirkan bahkan oleh alam bawah sadar Tawan, Tawan awalnya ingin fokus sekolah dan mengejar PTN agar membahagiakan orang tuanya, namun kini ia harus terjebak bersama lelaki aneh yang sayangnya dia cintai.

Tawan tidak pernah menyesal, bahkan dengan implusifnya Tawan pernah mengeluh mengapa dia tidak mengenal dan bersama dengan Joss sejak sekolah mengengah pertama atau bahkan sejak sekolah dasar sehingga banyak waktu yang bisa Tawan habiskan bersama lelaki itu.


Pada tahun pertama perayaan tanggal 9, Joss mengajak Tawan ke daerah perbatasan antara Jakarta Selatan dengan Depok. Iya, yang dekat Cinere Mall itu yang bertulisan Selamat datang di Kota Depok. Joss berdiri di bagian kota Depok sementara Tawan berdiri di bagian kota Jakarta Selatan, dan saat itu pukul 2 dini hari.

Joss sengaja, katanya biar istimewa. Ada jarak yang membentang diantara mereka, diantara dua kota besar dan ada dua hati juga yang telah disatukan dalam satu hubungan. Joss tersenyum lebar, tangannya menggenggam erat tangan Tawan.

Tawan ingat betul apa yang Joss ucapkan saat itu, “Te. Ini perbatasan dua kota pertama yang kita datengin bareng-bareng. Nanti kita terus datengin perbatasan ya, sampe di perbatasan akhir yang terkenal itu, antara Indonesia dan Malaysia.”

Joss mengucapkannya lagi-lagi dengan wajah paling serius, seakan-akan dia sedang mengucapkan teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

“Te dicatet ya, dengan ini Joss Wayar di perbatasan kota pertama yaitu Depok dan Jakarta Selatan mengucapkan selamat tanggal 9 Agustus untuk pertama kalinya. Semoga ada 1000 perbatasan kota lagi yang bakal kita datengin bareng-bareng, dan kali ini biarin gua jadi cowok paling romantis di bumi pertiwi.”“Te, you were my proof that somewhere, deep inside myself, I still existed. Reaching for you wasn't a need to connect so much as a demonstration of protest from some repressed inner shadow, screaming victorious that I was still alive. Finally I had proof that I was not a figment of my own imagination because here was a person who could see me and hear me. And it was glorious, finally someone had looked into my eyes and acknowledged that I was there.”

“Te, I could tell you I love you like drowning at the bottom of the deepest ocean or I could tell you I love you from the forgotten dreams that only deepest of sleep can bring.. I could tell you how deeply I love you with a thousand different metaphore and the thousand tears they bring, or I could just tell you the simple truth.. as it honestly is—That I love you as deep as it can possibly go.”

Dan saat itu di perbatasan kota Depok dan Jakarta Selatan pada pukul 02:16 Waktu Indonesia Barat, Tawan memberikan ciuman pertamanya pada lelaki yang sampai saat ini masih mengisi bagian terdalam di relung hatinya, dan Tawan tidak pernah menyesal, karena mengenal dan mencintai Joss adalah salah satu bagian terbaik dalam hidupnya.


Pada tahun kedua perayaan tanggal 9, Joss kembali menjadi manusia paling tidak bisa ditebak. Untuk tahun yang kedua Joss mengajak Tawan untuk melakukan skydiving, katanya agar Tawan paham bahwa dunia itu indah bukan hanya di permukaan dan lautan saja, namun di langit juga sama indahnya.

Tawan awalnya menolak, orang gila mana yang mengajak untuk melakukan skydiving disela-sela jam pelajaran masih berlangsung sudah gitu mengajaknya lewat pesan coba. Jika Joss lupa, mereka itu masih sekolah.

Namun siapa memangnya Tawan ini kalau dia mampu menolak pesona Joss yang sengaja dia keluarkan untuk meyakinkan Tawan bahwa mereka akan melakukan skydiving bersama? Joss itu ibarat sebuah narkoba, semakin kita mencoba untuk menolaknya semakin besar godaannya.

Sore itu, sepulang sekolah Joss membeli tiket pesawat dari Jakarta ke Cijulang. Gila? Memang. Tawan juga tidak paham kenapa ia menurut saja saat Joss memintanya untuk membolos dengan alasan merayakan hari perayaan 9 Agustus untuk kedua kalinya.

Tawan mendapatkan izin dari orang tuanya, tentu saja semuanya berkat Joss dan tingkah sopan dan santun di depan orang tuanya. Joss dengan senyuman yang mencapai mata dengan suara sehalus kapas adalah versi terbaik dari Joss yang dicintai oleh hampir seluruh orang, tak terkecuali Tawan. Karena demi nama Tuhan yang paling Agung, Joss benar-benar definisi sesungguhnya dari kata sempurna yang ada di kamus besar bahasa Indonesia.

Tawan juga ingat saat itu, saat di pesawat Tawan bertanya pada Joss,

“Joss, kenapa kok tiba-tiba mau skydiving?” Tanya Tawan penasaran, tangannya berada digenggaman jemari Joss, dan seperti biasaya genggaman itu diletakkan di atas debaran jantungnya.

“Gak tiba-tiba, sebenernya udah lama mau ngajak lo skydiving tapi karena momentumnya belum tepat dan sekarang baru dapet waktu yang pas. Sekalian ngerayain 2 tahunan kita” Jawab Joss kelewat santai saat itu.

“Terus ada lagi gak?” Tanya Tawan yang merasa belum puas dengan jawaban Joss.

“Karena gua mau lo liat pemandangan indah.” Jawab Joss sambil tersenyum, sesekali lelaki itu mengecup jemari Tawan yang masih saja digenggamnya dengan posesif.

Dahi Tawan mengkerut kecil, “Kan kalau pemandangan indah udah sering?” Sangkal Tawan lagi.

Joss tersenyum kecil dan mengusak pelan rambut hitam Tawan.

“Iya tau. Di daratan lo udah sering liat pemandangan indah dari langit, di darat juga lo udah sering liat pemandangan dari laut, dan bahkan lo juga udah liat pemandangan dari laut ke langit. Tapi kurang lengkap kan? lo belum pernah liat pemandangan indah dari langit ke daratan ataupun langit ke lautan. Makanya gua mau ngajak lo buat mencintai pemandangan dari sudut sempurna yaitu 360 derajat.” Jelas Joss panjang lebar

“Yaelah masih berkerut aja dahi lo, gua tuh mau lo belajar dari seluruh sudut pandang yang ada di bumi pertiwi. Gua mau lo liat ke segala sudut arah sebelum melakukan atau mengambil keputusan tertentu. Eh, korelasinya kurang ya?” Joss terkekeh kecil melihat dahi Tawan yang semakin mengkerut saat mendengar penjelasannya.

“Te, gak seluruh hal harus punya alasan yang kuat. Kadang hal-hal abstrak yang bahkan gak bisa dijelasin secara logika itu bisa menjadi sumber pembelajaran yang kuat, bukan pelajaran sekolah ya tapi pelajaran hidup. Kapan lagi yakan lo dapet pelajaran hidup dari gua.” Kekeh Joss.

“Intinya, gua ngajak lo ke perbatasan kota dan skydiving tuh karena gua mau lo mencintai semua hal tanpa membeda-bedakannya. Karena lo udah ngerasain semua sudut pandang berarti bisa dikatakan lo udah paham kalau di seluruh sudut pandang, kebahagiaan itu bakal ada porsinya masing-masing. Jangan takut buat coba hal baru karena dimanapun lo berdiri, karena kebahagiaan kebahagiaan bakal terus ada mengikuti.”

Penjelasan Joss mengakhiri percakapan sore itu, Tawan tertidur di bahu Joss dengan seluruh doa yang tak henti ia panjatkan dalam hati. Satu kalimat yang sama sejak awal hingga saat ini; semoga kebahagiaan Joss selalu kekal abadi.

Joss dan Tawan sampai saat matahari sudah siap untuk menenggelamkan diri. Joss langsung dan Tawan langsung menuju penginapan yang Joss persiapkan dengan waktu kurang dari 24 jam.

“Te, gua pesen kamarnya satu tapi bed-nya dua. Jadi pisah dulu ya. Terus nanti kalau lo mau tidur tapi gak bisa tidur lo boleh kok pegangan tangan sama gua selama tidur.” Ucap Joss tiba-tiba dengan percaya diri saat Tawan hendak mempertanyakan alasan kunci hanya ada satu.

Tawan hanya memutar bola matanya dan masuk terlebih dahulu, di dalam hati sedikit mencibir Joss. Padahal selama ini yang selalu mencari jemari tangan Tawan adalah Joss tetapi lelaki itu malah bertingkah seakan-akan Tawan-lah yang senang menyatukan jemari tangan mereka.

“Nanti pas mau tidur pake sarung tangan ah, kan dingin.” Celetuk Tawan tanpa pikir panjang.   Sepanjang malam itu dihabiskan dengan suara rengekan Joss yang berisi penyesalan atas godaan pada Tawan sore tadi dan bibirnya tidak berhenti mengucapkan permintaan maaf serta rengekan meminta jemari untuk digenggam.

Namun, Tawan tetap pada pendiriannya untuk tidur menggunakan sarung tangan, dan malam itu Joss tidur tanpa memegang tangan Tawan karena kekasihnya sedang merajuk padanya.

*****

Keesokan harinya, Joss sudah bangun sejak pukul 6 pagi karena Nusawiru Paracenter buka pada pukul 8 pagi. Joss merupakan salah satu yang memiliki semangat paling tinggi di pagi hari ini, dibandingkan Tawan yang masih bergelut dengan selimut.

Membangunkan Tawan cukup mudah, begitulah kata Joss yang selama 24 bulan ini sudah sering membangunkan lelaki itu untuk pergi ke sekolah ataupun nongkrong bersama teman-temannya.

Tawan hanya butuh dipeluk dan dibangunkan ke posisi duduk dari posisi tidurnya lalu lelaki itu akan bangun dengan sendirinya. Cukup mudah bukan?

Setelah menunggu Tawan untuk merapikan diri, akhirnya mereka berangkat menuju Nusawiru Paracenter dengan menggunakan mobil yang sudah Joss sewa.

Selama perjalanan menuju Nusawiru, Tawan kerap bertanya mengenai skydiving. Dari semua pertanyaan yang Tawan ajukan kepada Joss satu hal yang Tawan pahami.

Joss mendatangi Nusawiru Paracenter karena lokasi inilah yang paling dekat dengan Jakarta. Joss berkata bahwa lokasi rekomendasi untuk skydiving lainnya terlalu jauh untuk digapai, seperti Batam, Manado, dan Gunung Bromo. Jadi Joss memilih Nusawiru bukan hanya karena dekat dengan Jakarta namun karena beban tanggung jawab Joss sedikit berkurang.

Jujur, Joss merasa jika dia membawa Tawan ke Batam ataupun Manado ia merasa beban itu terlalu berat, Joss tidak bisa mengembannya seorang diri. Ia takut Tawan terluka atau 1001 hal lain yang dapat membuat hormon adrenalinnya bekerja dua kali lipat, karena hal tersebutlah Nusawiru menjadi pilihan satu-satunya untuk mereka.

“Te, nanti pas skydiving berdua aja ya sama gua?” Tanya Joss tiba-tiba disela suara Adam Levine yang mengalun dari radio.

“Loh kok berdua?” Tanya Tawan penasaran.

“Gapapa, takut lo jatuh sendirian.” Balas Joss tidak jelas.

Tawan hanya menghela nafasnya pasrah, tidak mencoba membantah perkataan lelaki itu. Karena terkadang ucapan Joss memang setidak jelas itu. Sudah pasti mereka akan jatuh, namanya juga skydiving kan?

Mereka sampai di Nusawiru Paracenter sekitar pukul 8 kurang 20 menit. Tawan sudah siap untuk melakukan skydiving tapi dia merasa aneh dengan Joss yang sedari tadi hanya diam tanpa bersuara sedikitpun.

“Joss?” Panggil Tawan.

Joss tersentak dan menatap Tawan dengan penuh tanda tanya, “Te, kenapa?”

“Lah lo yang kenapa? Kok keliatan gak nyaman gitu?” Tawan bertanya tanpa basa basi. Tawan memang bukan orang yang harus memutarkan percakapan hanya untuk bertanya hal yang mengganggunya.

“Takut lo luka.” Jawab Joss dengan suara pelan.

Tawan terkekeh kecil mendengar jawaban Joss, “Kenapa takut? Kan gua sama lo terus? Udah pasti baik-baik aja kan?” Tanya Tawan lembut.

Joss memang banyak sekali memiliki pikiran buruk, Tawan sudah terbiasa. Dibalik sosok Joss yang penuh kejutan dia selalu menyimpan seribu kecemasan pada seluruh hal yang terjadi di dunia. Untuk saat ini, Tawan hanya perlu meyakinkan lelaki itu bahwa mereka akan baik-baik saja, tepatnya dirinya sendiri akan baik-baik saja.

“Tetep aja.” Balas Joss lagi.

“Joss, liat gua.” Perintah Tawan.

Joss menatap Tawan seperti yang disuruh oleh lelaki yang lebih kecil itu.

“Joss, dengerin baik-baik oke. Gua bakalan baik-baik aja. Gak ada luka gores, gak ada luka lebam. Gua bakal baik-baik aja selama ada lo disamping gua. Te-nya Joss bakalan baik-baik aja.” Tegas Tawan dengan tatapan mata penuh keyakinan.

Joss meragu, namun dia tetap menganggukkan kepalanya.

“Te, lo harus baik-baik aja ya.” Bisik Joss.

“Iya, Joss. Lo juga harus baik-baik aja ya.” Balas Tawan dengan penuh keyakinan.

Mereka menghabiskan waktu menunggu dibukanya gate dengan keheningan. Bibir Joss tidak berhenti mengecup pelan jemari Tawan yang tidak pernah dilepaskannya. Sementara Tawan hanya bersandar pada Joss dan sesekali tersenyum melihat kekhawatiran Joss yang menguar dari tubuhnya.

Joss dan Tawan sudah berada di pesawat yang akan membawa mereka terjun dari langit. Tawan sudah dipeluk erat oleh Joss, genggaman lelaki itu pada pinggangnya terlalu kuat, mungkin dapat menimbulkan kemerahan pada kulitnya, tapi Tawan tidak perduli. Dia paham kecemasan yang Joss rasakan, karena sejujurnya Tawan juga takut Joss terluka.

Wisata ini terlalu berbahaya, ada 1001 kemungkinan yang bisa terjadi. Namun, Tawan tetap percaya akan takdir dari Tuhan, bahwa dia dan Joss akan baik-baik saja. Mereka akan melewati hal ini bersama, dan akan tertawa di akhir nanti.

“Te, are you ready?” Bisik Joss ditelinga Tawan. Tidak ada jarak yang memisahkan mereka. Sesekali bibir Joss menyentuh telinga Tawan yang tertutup oleh penutup kepala yang diberikan oleh penyedia jasa.

“I’m ready, Joss. Let’s make an amazing memories together.” Balas Tawan sedikit berteriak karena mereka sudah menjatuhkan diri ke langit yang luas.

Joss dan Tawan sama-sama berteriak heboh, selain karena jantung yang berdegub sangat keras pemandangan di depan matanya sangat tidak bisa diterima oleh akal sehat.

Pemandangan yang belum pernah Tawan lihat, pemandangan yang ingin Joss tunjukkan padanya memang sebagus itu. Lagi-lagi Tawan harus mengungkapkan rasa terima kasihnya pada Tuhan karena telah diberikan kesempatan untuk melihat pemandangan semenakjubkan ini.

“TEEEEEE” Panggil Joss berteriak

“APA JOSS.” Balas Tawan tidak kalah kerasnya.

“Gimana? Suka gak sama apa yang lo liat sekarang?” Tanya Joss.

“SUKA BANGET JOSS????” Tawan berteriak lebih keras dari sebelumnya.

Jadi seperti ini rasanya terbang, dulu saat kecil Tawan pernah berangan-angan. Bagaimana rasanya menjadi burung? Terbang bebas di langit? Melihat dunia dari berbagai sudut pandang? Rasanya terlalu menakjubkan. Tawan rasanya ingin terbang selamanya, menjelajahi seluruh sudut dunia bersama dengan Joss. Merasakan kebebasan dan kebahagiaan bersama.

Parasut telah dibuka, kali ini rasanya seperti melayang di udara. Posisi Joss dan Tawan sudah seperti orang yang sedang duduk, berbeda dari posisi terbang tadi yang seperti orang sedang telungkup. Tawan merasakan tangannya digenggam erat, begitu juga pinggangnya.

Tawan tersenyum kecil dan membalas pegangan tangan Joss tak kalah eratnya, seakan tidak ingin melepaskan barang satu detikpun. Apa yang mereka lakukan saat ini tidak akan terulang setiap hari, maka Tawan akan waktu ini sebaik mungkin, dan akan menyimpan kenangannya dengan baik didalam memori otaknya.

“Tawan Vihokratana.” Panggil Joss dengan suara yang sudah tidak sekeras tadi.

“Hm?”

“Selamat tanggal 9 Agustus untuk kedua kalinya, Te.” Bisik Joss lembut.

“Te, you’re exist. Past my own horizons on what feels like the edge of the world. Further than the streets and roads between us, yet somehow closer. You exist. Brighter that undiscovered stars with a smile that lights worlds and a touch that sets bodies alight. In your wake I have smouldered to ash. You exist. As a parable, a myth, a bedtime tale. A collection of words strung together by an inadequate poet.”

“No words could ever do you justice. You exist. And that has always been, and continues to be my reason to smile. And weather you exist in my world or not, I will always be forever grateful… that you exist in this universe.”

“Te, I don’t know how much words that I need to describe you, to describe how much I love you. Te, I love you. I love you with all my life. I love you, Tawan Vihokratana.” Bisik Joss semanis madu.

Tawan tidak bisa tidak menangis. Joss— lelaki itu selalu mengatakan bahwa dia bukanlah lelaki yang romantis, bahwa dia tidak berkata-kata dengan manis. Namun rasanya Tawan harus memberi label pembohong pada lelaki itu, karena demi Tuhan semua kalimat yang Joss ucapkan padanya terdengar seperti untaian kata romantis yang berdasar dari hati paling tulus dari lelaki itu.

“Joss..” Panggil Tawan dengan suara serak dan isakan yang masih terdengar dengan jelas. Tawan tidak bisa melihat Joss namun dia yakin saat ini Joss sedang tersenyum dengan bahagia.

“Joss, Te is going to love you. Te is going to love you in your weakest moments to your strongest one. Te is going to love you when you’re happy and still going to love you the most when you’re sad. Don’t you understand? Te is here, and Te not going anywhere. Te want to love Joss, each and every piece of Joss. Te want Joss with all Joss’s imperfections as much as Te want Joss for Joss. And Te always going to want Joss, and Te always going to be here loving Joss with everything. Joss Wayar, selamat tanggal 9 Agustus untuk ke dua kalinya. Terima kasih atas semua hadiah dan kejutan bahkan semua cinta yang Joss kasih buat Te.” Ucap Tawan disertai isakan kecil.

Joss rasanya ingin menjatuhkan diri secara bebas mendengar ungkapan kata cinta dari Tawan yang sejujurnya jarang Joss dapatkan.

Tawan adalah epitome dari kesempurnaan yang sesungguhnya. Jika ada yang bertanya pada Joss alasan dia mencintai Tawan, maka Joss pasti membutuhkan waktu sepertiga abad untuk mendeskripsikan alasan kenapa Tawan harus dicintai.

“Te, let’s grow old together.”

Banyak orang mengatakan bahwa kisah asmara saat sekolah tidak usah dibawa serius, namun Joss bukanlah salah satunya. Joss sudah meyakinkan diri bahwa pelabuhan terakhirnya adalah Tawan.

Meskipun perjalanan mereka masih sangat panjang, namun Joss tetap akan memanjatkan ribuan doa kepada Sang Pencipta bahwasanya dia hanya ingin Tawan sebagai satu-satunya lelaki yang akan dirinya cintai di sepanjang hidupnya.


2 Agustus, 2020.

Tanggal 9 Agustus selalu menjadi hari paling istimewa dalam satu tahun, baik bagi Tawan ataupun Joss.

Joss selalu memiliki sejuta kejutan untukknya disetap tahunnya, dan untuk tahun ini mungkin akan lebih istimewa karena setelah 6 bulan tidak bertatap muka karena perbedaan jarak yang membentang diantara keduanya.

Joss mendapat libur, akhirnya. Tawan sangat bersyukur karena selama ini Joss sangat sulit untuk ditemui dan dihubungi, dikarenakan jadwal kuliahnya yang padat dan juga himpunan kebanggannya yang selalu menjadi prioritas nomor satu lelaki itu.

Tawan tidak protes, karena apapun hal yang dapat membahagiakan Joss diluar sana bahkan walaupun tanpa ada Tawan didalamnya akan tetap dia dukung, lagipula Joss terlihat sangat tampan dengan jaket biru himpunan kebanggannya.

Untuk perayaan kali ini Joss memiliki sebuah permintaan bahwa mereka akan bertemu di tengah kota North Carolina, ditempat yang sudah Joss tentukan sebagai labirin diantara mereka dan akan bertemu secara tidak sengaja, sesuai takdir yang sudah disusun oleh alam semesta. Joss datang sendiri, begitupun dengan Tawan. Joss menjelaskan bahwa jikalau memang ditakdirkan untuk bertemu pada hari itu maka selama apapun mereka mencari satu sama lain, pasti akhirnya akan tetap bertemu.

Tawan tidak sabar untuk bertemu Joss, di negara orang lain yang luas. Tawan tidak sabar menanti hari dimana akhirnya dia dapat bertatap muka dengan salah satu manusia yang dia puja dari ujung kaki hingga kepala, ada sejuta doa yang selalu dia panjatkan setiap harinya, dan diantara doa-doa tersebut, nama Joss tidak pernah absen menemani seluruh doanya pada Tuhan.   4 Agustus 2020.

Hari ini Tawan berangkat ke North Carolina seorang diri, Joss sudah berangkat dini hari tadi. Sementara Tawan mendapatkan penerbangan pada pukul 11 Malam. Tawan diantar oleh sahabat beserta orang tuanya. Padahal Tawan hanya 4 hari disana, namun teman terdekatnya bertingkah seakan-akan Tawan akan pindah dalam kurun waktu yang lama.

Perjalanan ini Tawan ambil dengan risiko yang besar, dia bahkan berani meninggalkan kuliahnya demi merayakan hari jadi mereka yang ketiga.

Tawan sudah bosan diberi label budak cinta oleh orang sekitarnya, padahal sebenarnya bukan budak cinta tapi hanya mencintai terlalu banyak. Bukankah begitu?

Ini pertama kalinya Tawan berpergian ke Amerika Serikat seorang diri, Tawan gugup dan juga bersemangat. Dia bersemangat untuk menghabiskan hari liburnya dan bersemangat untuk menghabiskan waktu berdua dengan Joss. Tawan juga sudah memantapkan diri untuk menyerahkan dirinya sepenuhnya pada Joss, sebagai hadiah untuk lelaki itu.

Tawan sudah melakukan pencarian terhadap tempat-tempat wisata yang akan didatanginya seorang diri. Tidak begitu banyak namun Tawan rasa itu sudah cukup untuk membahagiakan dirinya, dia berniat untuk datang ke The Biltmore Estate, dia juga akan mendatangi kota New Bern yang dianggap sebagai salah satu kota terindah di North Carolina, Billy Graham Library, Tweetsie Railroad dan Duke University Chapel juga menjadi tempat tujuan yang akan Tawan datangi.

Sementara itu tempat pertemuan antara dirinya dan Joss adalah Downtown Raleigh. Tawan sudah mempelajari seluk beluk dari Raleigh, di Downtown Raleigh terdapat 10 bar terkenal.

Jalanan malam yang cukup ramai, karena Tawan dan Joss akan bertemu malam hari, untuk menghabiskan malam bersama sekaligus langsung mendatangi perbatasan antara North Carolina dan Virginia agar sampai disana tepat pada tanggal 9 Agustus.

Setelah perjalanan yang panjang akhirnya Tawan dapat menginjakkan kakinya di North Carolina, dia sedikit merasakan jet lag. Untuk hari ini dia akan istirahat di hotel dan mulai berpetualang esok hari. Tawan memberikan kabar pada Joss, Joss sendiri sampai 6 jam terlebih dahulu daripada dirinya.

Selama perjalanan tak hentinya Tawan tersenyum, salah satu impiannya tercapai. Jangan bilang siapapun ya, bahkan Joss sekalipun. Dia sangat ingin mengijakkan kaki di North Carolina, semuanya berasal dari film A Walk to Remember yang sudah ditontonnya sejak SMP. Dan ketujan dari Joss benar-benar membuatnya terkejut, siapa yang menyangka dia akan merayakan hari jadinya di negara impiannya? Bahkan di alam bawah sadarnya dia tidak pernah berharap akan mendapatkan kesempatan langka seperti saat ini. Terima kasih, Joss.

6 Agustus 2020

Tawan menghabiskan petualangan hari pertama dengan begitu baik, entah berapa kata “wow” yang terucap dari kedua belah bibir ranumnya hari ini. Tawan benar-benar menikmati perjalanannya detik demi detik, kota demi kota, wisata demi wisata. Hari ini dia tidak menghubungi Joss, begitu juga dengan Joss. Bahkan mereka saling mute akun sosial media satu sama lain, agar tidak mengetahui kegiatan masing-masing.

Sebenarnya tidak harus mute sosial media, namun baik Joss maupun Tawan hanya memiliki pertahanan diri yang tipis dikarenakan rasa rindu yang menggebu-gebu di dada. Jadi daripada mereka menyusun skenario ketidaksengajaan bersitatap di lokasi wisata lebih baik mereka saling menjauhkan diri mereka satu sama lain.

Awalnya Tawan akan mendatangi lokasi tempat dibuatnya film A Walk to Remember, namun Joss bilang mereka akan mendatanginya berdua. Setelah pulang dari perbatasan nanti, Tawan menyetujuinya, dia sangat tidak sabar untuk datang menghabiskan waktu bersama Joss sebagai Landon dan Jamie. Semoga semuanya tetap berjalan dengan lancar. Tawan benar-benar mengharapkan hal tersebut untuk terjadi.

7 Agustus 2020

Hari kedua tidak kalah membahagiakannya baik bagi Tawan maupun Joss. Rasa rindu mereka semakin banyak namun mereka semakin bahagia menjalani hari-hari yang tersisa. Seperti saat ini, Tawan sedang mengunjungi Tweetsie Railroad yang diapun baru mengetahui ada tempat wisata selucu ini?

Sedangkan Joss hari ini lebih santai, lelaki itu banyak mengunjungi mingo falls yang direkomendasikan banyak orang dan dia juga mengunjungi biltmore sebagai wisata terakhir untuk hari kedua disini. Dua hari ini mereka tidak memberi kabar satu sama lain, namun mereka percaya bahwa masing-masing dari mereka pasti akan baik-baik saja.

8 Agustus 2020

Hari ini adalah harinya, hari dimana akhirnya Tawan dapat bersitatap dengan Joss. Tawan sudah rapi, handy talky, ponsel, airpods dan hadiah untuk Joss sudah berada di dalam tasnya. Tawan hari ini memakai sweater berwarna biru dengan celana jeans berwarna putih gading favoritnya.

Tawan juga sudah makan malam, karena Joss menyuruhnya untuk makan malam terlebih dahulu. Jarum jam sudah menujukkan pukul 6 sore, dan Tawan sudah akan berangkat ke Downtown Raleigh menggunakan bus. Dia sudah mempelajari seluk beluk Downtown Raleigh semalaman, begitu pula rute yang harus ditempuhnya untuk sampai di Raleigh.

Tawan memasang airpods dan mendengarkan playlist yang diberikan oleh Joss, dia juga sudah menambah beberapa lagu favoritenya. Beberapa kali dia juga ikut bernyanyi mengikuti suara yang mengalun ditelinganya.

Sejak pagi tadi wajah Tawan selalu disertai dengan senyuman, bahkan ia merasa tulang-tulang pipinya pegal karena terlalu banyak tersenyum. Namun dia tidak bisa menahannya, hari ini akan menjadi hari paling membahagiakan untuknya dan Joss. Dia akan bertemu Joss, dan ingatkan Tawan untuk mencium lelaki itu tepat di bibir sebagai hadiah dari semua kejutan yang diberikan kepadanya.

Suara ponsel menyadarkannya, nama Joss terlihat dilayar ponsel. Senyum Tawan semakin merekah. Tanpa banyak berpikir dia langsung mengangkat penggilan dari Joss.

“Halo, Te?” Suara Joss terdengar ponselnya. Suara yang dia rindukan.

“Iya Joss, kenapa?”

“Te, lo udah berangkat belum?”

“Lagi di bus, kalau lo?” Jawab Tawan dengan senyuman yang tidak pernah lepas dari bibirnya.

“Lagi nyetir mobil ini.”

“Okay Joss, hati-hati ya nyetirnya. Jangan ngebut.”

“Roger that Te. Oh iya nanti kalau memungkinkan handy talkynya dipake ya, kalau gak dapet sinyal nanti telfonan aja kalau ada hal penting. See you in 2 hours, Te.” Ucap Joss dengan suara lembutnya.

“Okay! See you, Joss.”

Suara panggilan telfon terputus, bibir ranum Tawan selalu merekahkan senyumannya, bertanya-tanya kepada sang semesta. Apakah jatuh cinta bisa sedalam ini?

Banyak yang pernah mengatakan hal ini pada Tawan, kata mereka jangan terlalu serius menjalani hubungan karena perasaan dapat berubah setelah satu tahun pacaran. Namun mengapa dia tidam merasakan hal itu?

Jangankan berubah, dia tidak pernah merasa bosan dengan Joss. Makanya Tawan bertanya, apakah jatuh cinta bisa sedalam ini?

Karena rasanya Tawan jatuh terlalu dalam, dia terlalu dalam meletakkan Joss pada hidupnya. Dia terlalu bergantung pada lelaki itu.

Hari-harinya dihabiskan bersama Joss. Tidak ada sedetikpun dibenaknya akan berpisah dengan Joss, dia selalu berdoa pada Tuhan agar Joss menjadi satu-satunya dan lelaki terakhir di hidupnya.

Halte pemberhentian yang menjadi tujuan Tawan telah tiba. Tawan sudah berada di Downtown Raleigh. Dia menghirup udara dengan banyak, senyumannya masih tidak juga luntur dari wajah tanpa cacatnya. Tawan melihat sekeliling, gedung-gedung dan café bertebaran.

Bahkan jalanan-pun masih ramai akan kendaraan. Tawan dengar-dengar juga jalanan Raleigh dijadikan ajang untuk balap mobil, namun Tawan tidak tau pasti pukul berapa.

Tawan mengeluarkan handy talky-nya, dia mau mengetest apakah handy talky-nya sudah dapat digunakan atau belum.

T: Te to Joss, test test. Udah bisa dipake belum ya, over.

Hening, belum ada jawaban. Tawan terkekeh kecil atas ketidaksabarannya bertemu dengan Joss. Lelaki itu memasukkan kembali HT-nya kedalam tas dan mulai berjalan menyusuri kota dengan riang. Sesekali Tawan bernyanyi mengikuti irama lagu dan mengambil foto spot-spot yang menurutnya bagus.

Tawan sedikit meringis ngeri karena pengendara mobil di daerah ini mengendarai mobilnya dengan kecepatan yang tidak main-main, bahkan ada beberapa mobil yang suara mesinnya sengaja dibuat keras dan meraum entah mungkin maksudnya untuk menakuti para pejalan kaki agar menjauh dari jalan utama, tapi bagi Tawan itu terlalu berlebihan karena selain berisik hal itu juga membahayakan.

Tawan kembali mencoba HT-nya, dia lama-lama merasa takut juga berjalan seorang diri di malam hari di negara orang lain.

T: Te to Joss. Joss, Joss, udah nyambung belum? Over.

Terdengar suara berisik disebrang, Tawan tersenyum kecil.

J: Joss to Te. Hi, Te? Over.

T: Te to Joss. JOSS!!!! Over.

J: Te gak usah teriak, gua kaget. Over.

T: Hehehe iya Joss maaf ya. Gue tadi terlalu semangat pas lo udah bisa dihubungin pake HT. Over.

J: Te, lo gapapa kan? Gaada yang ganggu lo kan di jalan? Over.

T: Gak ada Joss. Btw Joss kita udah deketan ya? HT kan jaraknya 3km-an? Over.

J: Hm bisa jadi. Lo udah jalan berapa lama sebelum gua bales? Over.

T: Gak inget hehehe tapi udah lewatin banyak café terus juga tadi banyak mobil gitu, masih rame tau jam segini. Over.

J: Iya masih rame makanya seru kan? Over.

T: Seru banget hehehe. Over.

J: Te, ayo mulai? Over.

T: Ayo. Over.

J: Bar paling terkenal? Over.

T: Bar paling terkenal. Over.

J: Take care, Te. See you in minutes. Over.

T: See you in minutes, Joss. Over.


Tawan menyimpan kembali HT-nya ke dalam tas. Dia melihat sekeliling untuk mencari bar yang menjadi tujuannya. Sebenarnya kemarin clue yang disepakati mereka berdua adalah mencari pub atau bar terkenal di pusat kota Raleigh, mereka akan memilih masing-masing dan tidak memberitahukan pilihannya.

Jadi kalau mereka bertemu di satu bar yang sama berarti memang mereka memang ditakdirkan untuk bertemu, jika tidak mereka berdua harus mencari lagi ke seluruh bar yang ada direkomendasikan situs tersebut.

Tawan gugup, apakah dirinya dan Joss akan bertemu dalam satu kali percobaan? Jujur saja Tawan tidak memilih rekomendasi teratas karena menurutnya itu terlalu mainstream, jadi Tawan memilih rekomendasi ketiga atau keempat dari situs tersebut. Tawan sudah memikirkannya secara matang-matang. Ia harap Joss akan memilih bar yang sama dengannya.

Tawan mengikuti jalan setapak yang ditunjukkan google maps padanya, dia punya 1001 keyakinan mengapa Joss akan memilih bar ini. Dia paham betul bar yang menjadi style dari Joss. Kalau dia salah berarti Tawan harus belajar kembali tentang kepribadian Joss, karena demi Tuhan lelaki itu benar-benar susah ditebak.

Lagu The one that got away berputar ditelinganya yang masih terpasang airpods. Tawan bernyanyi kecil, kepalanya tidak berhenti menengok kanan dan kiri guna mencari patokan dan petunjuk jalan menuju bar yang ia tuju.

“In another life, I would make you stay. So I don't have to say you were the one that got away.” Lirih Tawan pelan. Ini adalah salah satu lagu favorite Joss. Dia tidak mengerti namun Joss selalu menyanyikan ini, kapanpun dan dimanapun.

Google maps menunjukkan bahwa perjalanan Tawan sudah hampir sampai, sekitar 7 menit lagi dia akan sampai pada bar yang dituju.

Jantungnya berdegub sangat keras. Dia tidak sabar dan sangat bahagia. Entah kenapa. Dia merasa malam ini akan ada kejutan besar yang menantinya. Tawan kembali tersenyum dengan lebar.

Tawan berjalan perlahan, destinasi yang akan dia tuju hampir sampai. Hanya perlu jalan 500 meter dari tempatnnya saat ini lalu dia akan sampai pada Hibernian Pub, yang menjadi tujuannya sejak awal. Banyak mobil berlalu lalang, anak muda dengan botol-botol alkohol juga banyak keluar masuk dari club yang berada terpisah dua toko dari Hibernian Pub.

Tawan sedikit meringis ngeri saat ada perempuan yang mengerling padanya, sungguh apa dia salah memilih tempat? karena rasa-rasanya Joss tidak mungkin ke tempat ini. Apa Joss menuju Deep South the Bar yang memiliki musisi setiap hari selasa, dan rabu.

Tawan memutuskan untuk menepi ditoko ice cream yang sudah tutup, dia melihat jalanan yang ramai dan sepertinya di daerah ini akan diadakan balapan. Dilihat dari ada beberapa orang yang berpapasan dijalan tadi membicarakan agenda balapan yang akan dimulai sekitar 20 menit lagi.

Tawan menggigit bibirnya dengan gugup, dia menunggu Joss. Jika menggunakan feeling. Tawan yakin bahwa Joss akan kesini, namun jika dengan logika sepertinya tempat seperti ini akan Joss jauhi.

“TAWAN VIHOKRATANA.” Sebuah suara memanggil nama Tawan.

Tawan takut dirinya berhalusinasi karena rasa rindu yang terlalu menggebu di dada, maka lelaki itu menundukkan kepalanya dan berdoa kecil agar dia segera dipertemukan dengan Joss.

J: Joss to Te. Te tengok ke depan. Over.

Suara dari HT mengagetkan Tawan yang masih menunduk. Lelaki itu dengan cepat menyusuri area sekitarnya untuk mencari Joss. Joss, tepat berada disebrang jalanan yang saat ini sedang Tawan pijaki. Senyuman Tawan merekah dengan sangat lebar.   Tawan berlari kecil menuju pertigaan jalan. Hanya tinggal 20 meter lagi dari tempat Joss saat ini. Lelaki itu tampan. Sangat tampan.

Joss memakai Kaos putih dan celana jeans yang membungkus indah tubuh besarnya. Tattoo Joss dibiarkan terlihat, jarang sekali Joss memperlihatkan tattoonya dengan gamblang. Melihat hal tersebut benar-benar membuat senyuman Tawan semakin lebar.

“JOSS.” Teriak Tawan yang dibalas Joss dengan kekehan pelan. Keduanya tersenyum satu sama lain, meskipun banyak mobil yang menghalangi pandangan mereka berdua namun mereka puas, karena setelah sekian lama mereka akhirnya dapat bertatap muka dalam jarak yang dekat.

“JOSS MAU KESANAAA.” Ucap Tawan dengan sedikit teriakan. Agar suaranya terdengar kesebrang, agar suaranya mengalahkan suara mobil yang sejak tadi mengaum disekelilingnya.

“TUNGGU DISITU TE. BIAR GUA YANG KESANA.” Balas Joss dengan suara yang tidak kalah kerasnya. Tawan terkekeh dan mengacungkan ibu jarinya.

Joss mengeluarkan HT dan memberikan aba-aba pada Tawan agar melakukan hal yang sama.

J: Joss to Te. Lapor. Joss Wayar Sangngern sudah bertemu Tawan Vihokratana di depan Hibernian Pub. Over.

T: Te to Joss. Laporan diterima. Tawan Vihokratana juga sudah melihat Joss Wayar Sangngern di depan Hibernian Pub. Over.

Mereka terkekeh kembali, mentertawakan takdir yang benar-benar membawa mereka kesatu kali pertemuan dibanyaknya bar terkenal di pusat kota Raleigh.   J: Te. Kenapa lo pilih Hibernian? Over.

T: Soalnya kalau pub yang pertama disitus pasti mainstream, udah gitu Pub ini keliatan classy dan namanya bagus. Jadi gua pilih ini. Over.

J: As expected my Te. Over.

T: Hehehehe. Joss. Kangen. Over.

J: Sama, Te. Gua juga kangen banget. Over.

J: Te, gimana challenge dua hari tanpa gua kemarin, baik-baik ajakan? Over.

T: Baik-baik ajalah gila gue menikmati waktu sendiri. Kalau lo sendiri gimana? Over.

J: Amazing. Over.

T: Glad to hear that, Joss. Over.

Keheningan terjadi, kali ini mereka berdua bersitatap. Tidak melepaskan pandangan masing-masing. Joss tersenyum dengan lembut melihat Tawan yang seperti malaikat disebrang sana.

Suara mobil yang memekakkan telinga seakan-akan tidak terdengar, pusat perhatiannya hanya pada Tawan yang saat ini sedang tersenyum dengan lebar. Memamerkan wajah manisnya. Wajah yang selama ini menjadi favorite Joss.

“Te….” Panggil Joss masih melalui HT-nya.

“Apa Joss?” Jawab Tawan lembut.

“Te. Udah mau tiga tahun ya?” Tanya Joss.

“Iya. Udah mau tiga tahun.” Balas Tawan.

“Tawan, it’s been three years and I keep thinking of how much I love talking to you, how good you look when you smile; how much I love your laugh. I day dream about you off and on, replaying our conversation; laughing at funny things you said or did. I’ve memorized your face and the way that you look at me. I catch myself smiling again what I imagined. I wonder what will happen the next time we’re together and even though neither of us know what the future holds. I know one thing for sure; you’re the best thing that’s ever happened to me.” Joss menyelesaikan kalimatnya dengan tegas.

Tawan yang mendengar perkataan Joss hanya bisa menahan tangisan, setiap tahun rasanya Tawan selalu diberi banyak-banyak kata manis. Tawan sangat menyukainya. Dia benar-benar menyukainya.

“Joss….” Bisik Tawan pelan.

“Te, ayo main game.” Ajak Joss.

“Game apa?” Jawab Tawan penuh kebingungan.

“Nine feet apart of truth. Setiap satu langkah, satu kalimat pengakuan apapun itu. Setiap gua ungkapin satu kejujuran, lo harus mundur karena jarak kita harus nine feet. Kalau lo ungkapin satu kejujuran, lo boleh maju deketin gua. Kalau jaraknya kurang atau lebih berarti lo kalah. Inget Te, When I walk closer to you, you should step back until the distance between us is nine feet apart.” Jelas Joss.

“Well, oke. Lo mau pengakuan dosa ya?” Tanya Tawan.

“Kind of” Kekeh Joss.

“Mulai ya.” Lanjut Joss.

“Te, I love you.” Joss memulai pertama kali. Lelaki itu melangkahkan kakinya satu kali. Langkah pertama. Matanya terfokus pada Tawan yang terlihat sangat menawan malam ini.

“You're weird but I love you.” Ucap Tawan. Tawan maju satu langkah mendekati Joss yang berada disebrang jalan.

“Te, gua gak pernah nyesel buat jadiin lo pacar saat itu. Itu adalah keputusan terbaik yang pernah gua buat.” Ucap Joss lagi. Lelaki itu melangkahkan kakinya satu kali. Langkah kedua.

“Te, mungkin lo gak pernah sadar tapi kehadiran lo dihidup gua itu seberarti itu. Lo selalu bisa bikin gua bertahan hidup.” Ucap Joss lagi, pada langkah ketiga Joss tidak memberikan Tawan waktu untuk berucap.

“Te, orang tua gua mau cerai.” Ucap Joss lagi. Langkah keempat.

Tawan berhenti melangkah mendengar ucapan Joss. Namun Joss menggelengkan kepalanya tanda Tawan mengingkari rules yang ada.

Suara mobil terdengar dari kejauhan entah mengapa jalanan yang mereka lewati saat ini sangat sepi dari kendaraan. Tawan berpikir mungkin semakin malam memang semakin sepi.

“Te, don't ever leave me. You're my home. The only home that makes me happy.” Bisik Joss lagi pada Tawan. Langkah kelima, Joss tetap menatap Tawan tepat dimata.

Tawan mundur dengan perlahan, mata lelaki itu menatap mata Joss yang masih menatapnya dengan intens. Tawan sengaja diam, membiarkan Joss mengungkapkan perasaannya. Joss memang sangat jarang menceritakan keluarganya, lelaki itu lebih sering mendengarkan keluh kesah Tawan daripada menceritakan keluh kesah dirinya sendiri.

Langkah keenam yang diambil Joss.

“Te, you promise to love me till the end of the day?” Tanya Joss memastikan.

“Yes.” Balas Tawan.

Te, gua udah pernah bilang belum kalau gua bangga banget punya pacar kayak lo? Gua bangga. Bangga banget sama lo.” Ucap Joss pada langkah ketujuhnya.

Tawan hanya mengangguk dengan mata yang berkaca-kaca. Melihat Joss dalam jarak seperti ini sungguh menyiksanya. Tawan ingin memeluk lelaki itu dan mengatakan padanya bahwa dia tidak perlu khawatir karena semuanya akan baik-baik saja.

Langkah kedelapan yang diambil oleh Joss.

“Te, setelah semua ini. Tolong peluk gua ya? I need your hug. A lot.” Bisik Joss.

Tawan mengangguk dengan air mata yang mulai turun dari wajah rupawannya. Joss terlihat sangat menakjubkan saat ini. Lelaki itu terlihat bersinar diantara gelapnya malam.

Langkah terakhir, langkah kesembilan. Joss sudah berada di jalan setapak yang sama dengan Tawan. Lelaki itu berada tepat dipinggir jalan. Sementara Tawan berada di pintu masuk Hibernian Pub. Joss tersenyum dengan manis.

“Tawan Vihokratana, please live your life happily and please stay alive ya?” Ucap Joss dengan suara tercekat.

Tawan sempat tidak mengerti, namun lelaki itu mengabaikannya. Sudah langkah kesembilan. Tawan sudah bisa mendekati Joss. Tawan tersenyum lebar, berjalan selangkah demi selangkah.

Baik Tawan maupun Joss tidak menyadari suara mobil semakin terdengar disertai sirine mobil polisi yang mengikuti. Tawan yang terfokus pada hitungan langkah kaki dan terfokus pada Joss yang menatapnya dengan wajah bahagia.

“Te….” Teriak Joss pelan. HT lelaki itu sudah ia simpan di kantung celananya. Joss tersenyum lebar dan menatap Tawan dengan penuh pemujaan.

“Te, we’re only nine feet apart. I love you with all my life. You’re the reason why my life become so beautiful. I love you Te.” Teriak Joss. Lelaki itu memberikan senyuman termanisnya pada Tawan.

Tawan berhenti melangkah karena melihat mobil dengan kecepatan tinggi melaju kencang ke arah tubuh kekasihnya. Mobil itu seakan kehilangan kendalinya.

“No no no.” Bisik Tawan.

“JOSS RUN!! JOSS PLEASE RUN!!! JOSS COME HERE!!!” Teriak Tawan kesetanan. Lelaki itu berlari kearah Joss dengan air mata yang sudah menggenang di wajahnya.

Namun Tawan terlambat, tubuh lelaki yang disayanginya terpental dengan keras. Suara tabrakan terdengar sangat jelas. Tepat dihadapan Tawan, Tawan melihat bagaimana sebuah mobil balap menabrak tubuh kekasihnya tanpa ampun. Suara orang-orang terkesiap memenuhi telinga Tawan. Tawan berdiri dengan kaku.

Matanya menatap nanar kecelakaan yang terjadi dihadapannya. Bibirnya kelu, air matanya tidak berhenti menetes. Tawan melangkah mendekati Joss, langkahnya pelan.

“No. Joss. No. Please. Please. You said you'd grow old with me. No please.” Tangis Tawan tanpa henti.

Tak lama suara sirine mobil polisi terdengar. Orang-orang berlari mendekati tubuh kekasihnya yang terkapar tidak berdaya. Kaki Tawan seakan lumpuh. Air matanya tidak bisa tertahankan. Tubuh kekasihnya berlumuran darah. Tubuh itu terpental dan menabrak mobil lain yang sedang melintas. Tawan berharap bahwa ini adalah mimpi.

Tawan berharap bahwa tubuh yang terkapar tidak berdaya itu bukanlah kekasihnya. Tawan berharap bahwa dia hanya berhalusinasi. Tawan berharap bahwa dia saat ini masih mencari Pub untuk bertemu dengan Joss. Tawan berharap, bahwa lelaki yang terkapar tidak berdaya itu bukanlah Joss Wayar Sangngern, kekasihnya.


8 Agustus 2020

Tawan seperti mayat hidup, sejak tadi dia ditanya-tanya mengenai kekasihnya namun tak sepatah katapun terucap dari bibir ranumnya. Kepalanya masih memproses seluruh hal yang terjadi.

Untuk menangispun rasanya Tawan sudah tidak sanggup. Lidahnya kelu, matanya sudah perih. Tawan hanya bisa menatapi tubuh kaku sang kekasih di hadapannya.

Mereka sedang perjalanan pulang menuju Indonesia. Harusnya tidak seperti ini bukan? Harusnya malam ini mereka sedang menuju state line antara North Carolina dan Virginia. Harusnya saat ini mereka sedang menjadi Landon dan Jamie untuk satu hari penuh.

“Joss, bercandanya gak lucu. Ayo bangun. Pegang tangan gue. Gapapa pegang sampe 5 jam penuh, gue gak bakal protes. Tapi bangun dulu ya?” Isak Tawan.

Jemari lelaki itu masih menggenggam erat telapak tangan Joss yang terasa dingin. Tangan itu biasanya mengenggam balik jemarinya, terkadang mengelus pelan punggung tangannya. Namun, saat ini hanya dia yang mengenggam erat tangan lelaki itu.

“Joss. Joss. Mana hadiah 3 tahunnya? Ini bukan hadiah loh, gue gak mau terima. Gak mau sampe kapanpun.” Bisik Tawan lagi.

“Joss, gue belum sempet bilang kalau gue sayang banget sama lo. Kalau gue bangga punya pacar kayak lo, kalau gue selalu bersyukur atas kehadiran lo disisi gue. Gue sayang banget sama lo. Kenapa lo jahat hm?”

Tawan menutup wajahnya dan terisak dengan keras. Tidak. Dia tidak mau menerima realita yang ada. Joss masih terlalu muda, perjalanan mereka masih panjang. Joss masih memiliki segudang janji padanya. Joss berjanji untuk menua bersamanya.

Tawan hanya tidak ingin menerima kenyataan bahwa dia tidak akan pernah bisa memeluk Joss, tidak bisa melihat Joss, dan tidak akan pernah bisa mendengar suara kekasihnya lagi.

Tawan mencintai Joss dengan seluruh hatinya, namun sepertinya Tuhan lebih mencintai Joss lebih dari siapapun itu.


11 Agustus 2020

Pemakaman berjalan dengan sendu, banyak orang yang mengantarkan Joss menuju tempat peristirahatan terakhirnya. Lelaki itu dikenal sebagai lelaki yang baik dan juga ramah, dia memiliki banyak relasi pertemanan, sehingga teman-temannya berbondong-bondong mengikuti pemakamannya.

Tawan berdiri dengan Jumpol dan Arm yang berada di sisinya, lelaki kecil itu memakai kacamata untuk menutupi mata bengkaknya. Sejak kepulangannya Tawan hanya bisa menangis dan menangis.

Bahkan lelaki itu sempat dilarikan kerumah sakit karena pingsan.

Satu-satu orang terdekat Joss menyampaikan kalimat perpisahan pada lelaki itu. Tawan menyadari banyak pasang mata yang menatapnya dengan pandangan sendu, namun lelaki itu tidak perduli.

Matanya hanya terpaku pada Joss yang terlihat tampan dan gagah dengan tuksedo putih yang membalut tubuh tegapnya. Joss terlihat seperti tidur, Tawan lagi-lagi berharap bahwa semua yang ia lalui hanya mimpi belaka.

“Tay, Tay” Panggil Jumpol pada Tawan yang melamun.

Tawan hanya menoleh sebentar mempertanyakan alasan Jumpol memanggilnya.

“Maju, mau ditemenin gak?” Tanya Jumpol.

Tawan menggeleng dan maju ke podium untuk menyampaikan beberapa kata.

“Joss Wayar, Sometimes I wonder what I would say if we had just one more day, would I tell you all the things left unsaid? Those special memories of you will always bring a smile if only I could have you back for just a little while. Then we could sit and talk again just like we used to do. You always meant so very much and always will do too. The fact that you're no longer here will always cause me pain but you're forever in my heart.” Tawan mengambil nafas dengan banyak untuk menghilangkan rasa sesak yang menderanya.

“Joss, you never said that you're leaving. You never said goodbye, you were gone before I knew it and only God know why. A million times I needed you, a millions times I cried, If love could have saved you, you never have died. In life I loved you so dearly, In death I loved you still. In my heart you hold a place, that one one could ever fill. I love you, Joss Wayar.” Tawan menyelesaikan ucapannya dengan senyuman sendu yang menghiasi wajah rupawannya.

Tawan turun podium dengan kaki bergetar, peti Joss mulai diturunkan ke tanah. Tawan menolak untuk melihat kekasihnya di tempat peristirahatan terakhirnya. Tawan memejamkan matanya dengan erat.

Tawan menahan tangisannya dengan sangat baik, dikepala lelaki itu memutar seluruh memori tentang Joss, tentang mereka berdua. Rasanya Tuhan tidak adil padanya, kepada siapa Tawan harus mengadu tentang rasa kehilangan yang bersarang didadanya? Tentang kilasan kecelakaan yang selalu menghantuinya ketika menutup mata?

Joss dikebumikan dengan tangisan kehilangan dari orang-orang terdekatnya. Tawan sudah membuka matanya, dia menatap nisan Joss dengan pandangan kesedihan yang mendalam.

Bahkan ketika orang-orang beranjak meninggalkan makam, Tawan masih diam tanpa bergerak sedikitpun. Rasanya kakinya mati rasa, dia tidak bisa beranjak meninggalkan Joss sendirian.

Jumpol menepuk pundaknya sekali, memberikan waktu untuk Tawan sendirian.

Kaki Tawan rasanya lemas, lelaki itu jatuh terduduk disamping makam kekasih hatinya. Bahunya bergetar, Tawan menangis dengan keras disaat semua orang telah pergi meninggalkan makam. Hatinya hancur, tangisan Tawan terdengar seperti keputusasaan akan hidup.

“Lo jahat banget. Lo jahat banget sama gue..” Isak Tawan.

“Setelah 6 bulan gak ketemu, lo bahkan jadiin pertemuan kita jadi pertemuan terakhir. Lo bahkan gak sempet kasih gue pelukan. Lo jahat banget Joss Wayar. Lo paling jahat.” Teriak Tawan dengan air mata bercucuran.

“Lo jahat banget, lo belum sempet ngucapin happy anniversary ke gue. Lo belum ngucapin kata-kata manis yang selalu lo keluarin setiap perayaan hari jadi kita. Lo jahat banget Joss.”

“Katanya lo mau ngajak gue skydiving di gunung everest? Katanya lo mau ngajak gue ke disney land? Katanya lo mau ngajak gue ke perbatasan Malaysia Indonesia? Kenapa lo ninggalin gue dengan segudang janji lo.”

“Lo paling jahat. Lo paling jahat.” Ucap Tawan terbata. Nafasnya terputus-putus karena terlalu banyak menangis.

Pundaknya ditepuk, Tawan menoleh dengan air mata yang masih mengalir dari mata indahnya.

Jumpol- orang yang menepuk pundaknya. Tangisan Tawan semakin keras. Temannya itu berjongkok dan membawa Tawan pada pelukan hangatnya.

“Gapapa Tay, gapapa. Nangis yang banyak.” Bisik Jumpol dengan pelan. Tangan lelaki itu mengusap punggung Tawan dengan penuh kasih sayang. Menyalurkan kekuatan pada teman dekatnya.

Tawan menangis tanpa henti, hingga lelaki itu jatuh tertidur di pelukan Jumpol dengan harapan bahwa semuanya hanyalah mimpi belaka. Dia berharap bahwa Joss masih bersamanya, masih tertawa dan melontarkan candaan garingnya. Tawan berharap bahwa semua kejadian ini adalah mimpinya belaka.