You've Got Mail: Epilog Chapter 5 END

Tawan saat ini berada di mobil Joss, berkat bujuk rayu lelaki itu Tawan memutuskan untuk pulang bersamanya.

Keadaan mobil sangat hening, Tawan melirik Joss yang sibuk mengendarai mobilnya. Tangannya terasa dingin, sampai saat ini Tawan belum mengeluarkan sepatah katapun yang menyangkut tentang hubungan mereka.

“Mau mampir ke 7eleven dulu gak?” Tanya Joss tanpa mengalihkan pandangannya pada Tawan.

“Gak usah.” Jawab Tawan pelan. Tawan memutuskan untuk menatap jalanan disekitarnya.

“How long you've been here?”

Tawan memutuskan untuk bertanya, walaupun suara yang dikeluarkan benar-benar sangat kecil. Hingga nyaris tidak terdengar jika saja Joss tidak memiliki indera pendengaran yang cukup peka.

“2 years?” Jawab Joss tidak yakin

“Bolak-balik ke Indonesia juga soalnya kerjaan masih disana.” Lanjutnya.

“How did you know about me, in here?” Tanya Tawan lagi.

“Bang Jumpol. He called me earlier. He want to stay at my condo but I didn't answer his call because I was busy with my works, and yesterday I called him back, he said he's here with you and I thought this is could be my chance.”Jelas Joss Wayar tanpa ada yang ia tutupi.

Tawan ingat saat Jumpol mengatakan ia berniat untuk menginap di tempat temannya namun tidak ada kabar, namun Tawan tidak menyangka bahwa teman yang dimaksud adalah Joss Wayar, mantan kekasihnya.

Do you following me?”

Joss menoleh sekilas dan menggelengkan kepalanya, “No I don't. To be honest, I was planning to meet you at McDonald's but it turns out I met you in the middle of people.”

Tawan kembali terdiam. Tidak ada pertanyaan lagi yang ingin ia tanyakan, untuk saat ini. Karena ia merasa waktunya kurang tepat jika ia menanyakan hal-hal yang lebih penting.

Joss memutuskan untuk menghidupkan radio. Keadaan hening membuatnya tidak terlalu nyaman, karena apda hakikatnya dulu saat mereka masih berpacaran. Keadaan mobil tidak pernah hening, entah mereka yang tidak berhenti mengobrol ataupun Tawan yang bernyanyi mengikuti lagu yang berputar.

Suara Taka terdengar diseluruh penjuru mobil, lagu One Ok Rock yang berjudul Heartache berputar disaat yang kurang tepat.

Tawan mengumpat dalam hati, kenapa dari sekian banyak lagu di dunia. Lagu One Ok Rock harus berputar disaat dia dan Joss baru bertemu setelah 6 tahun lamanya tidak pernah bertemu.

Pikirannya belum terorganisir dengan benar, rasanya sangat membingungkan. Entah semesta membencinya atau malah menyayanginya. Seharusnya Tawan mengikuti Jumpol dan Arm tadi, atau bahkan seharusnya Tawan langsung kembali ke hotel setelah konferensinya selesai.

Bukan dia tidak bahagia, namun saat ini dia benar-benar sedang mempertanyakan dirinya sendiri. Kedatangan Joss membuat hatinya semakin bimbang. Rasanya beban dipundaknya terangkat melihat Joss datang dengan keadaan baik-baik saja.

“Dover rise?” Gumam Tawan.

“Iya Dover Rise 8” Sahut Joss.

“Lah Mike waktu itu rekomen condo ini pas gua tanya tempat yang bagus di Singapore.” Jelas Tawan.

“Suruhan lo?” Lanjutnya.

Joss menggeleng pelan, “Gak. Buat apa gua suruh dia ngasih alamat ke lu.” Jawabnya pendek.

Sebenarnya Joss merasa egonya sedikit tersentil, kenapa Tawan seakan-akan tidak bahagia saat bertemunya. Dari caranya bertanya tentang Mike dan Jumpol tadi, rasanya perbedaan yang Joss sudah prediksi memang terjadi.

Joss memakirkan mobilnya dengan sempurna, Tawan sudah diam sejak percakapan terakhir mereka. Joss keluar mobil berniat untuk membukakan pintu untuk Tawan, namun lelaki itu keluar terlebih dahulu.

“Udah?” Tanya Joss memastikan.

Tawan mengangguk kecil. Lelaki itu mengikuti Joss yang berjalan di depannya. Tawan sekali lagi memperhatikan punggung tegap itu. Punggung yang selama ini dirindukannya namun saat ini rasanya sangat jauh.

Sudah 6 tahun tidak bertemu, Tawan tidak menemukan perbedaan yang banyak dari lelaki itu, postur tubuh itu mungkin berubah, namun tatapan Joss padanya masih sehangat dulu. Tawan bahkan dapat merasakan perasaan yang tersalurkan lewat tatapannya.

Joss Wayar Sangngern, nama yang selama ini selalu Tawan simpan baik-baik dalam hati. Nama yang selama ini membawa banyak kebahagiaan juga perasaan sesak untuknya. Nama yang saat ini terasa asing, karena saat Tawan kembali menyebutkan nama itu, perasaannya terasa asing. Semuanya terasa asing.

Joss mempersilahkan Tawan masuk, Tawan memperhatikan interior minimalis disekitarnya. Condominium ini terlalu besar untuk ditempati seorang diri.

“Lo tinggal sendiri?” Tanya Tawan penasaran.

“Iya. Warot kesini kalau lagi libur aja.” Jawab Joss tanpa melirik Tawan. Lelaki tinggi itu menuju Dapur untuk mengambilkan Tawan minum dan makanan lainnya.

“Soda?” Suara teriakan Joss terdengar.

Iya.” Balas Tawan dengan suara kerasnya.

Tak lama Joss datang dengan tangan yang penuh dengan cemilan serta 2 bulah coca cola. Tawan menaikkan alisnya dengan bingung, sejak kapan Joss menyimpan begitu banyak makanan ringan di rumahnya. Dulu Joss sangat menjaga bentuk tubuhnya jadi dia jarang memakan makanan ringan.

“Gua mau ganti baju dulu, lu mau ganti baju gak? Kalau mau gua pinjemin baju.” Tawar Joss.

Tawan memperhatikan tampilannya yang masih memakai jas dan kemeja beserta celana bahan. Dia menatap Joss dengan ringisan kecil dan mengangguk dengan telinga yang memerah.

“Yaudah bentar.”

Joss melangkah menjauhi Tawan yang masih berdiri dengan canggung.

Joss kembali dengan baju tanpa lengan yang dikenakannya, memperlihatkan tattoo di lengan bagian atasnya. Sementara itu dia membawa kaos putih dan celana panjang berbahan katun untuk Tawan.

“Thank you.” Gumam Tawan.

Joss memutuskan untuk menonton netflix demi membunuh waktu. Lelaki itu bersandar dengan pikiran yang bekelana. Dapat melihat wajah Tawan dalam jarak dekat membuatnya menyadari betapa rindunya dia dengan lelaki kecil itu.

Tadi dia memeluk Tawan tanpa persetujuan lelaki kecil itu, Joss ingin meminta maaf. Seharusnya tadi saat dia menawarkan pelukan, dia harus mendapatkan jawaban yang jelas terlebih dahulu apakah Tawan bersedia atau tidak.

Namun sekali lagi, itu diluar kuasanya. Tanpa sadar dia ingin memeluk Tawan dengan erat dan mengucapkan ratusan kata cinta pada lelàki itu, mengganti 6 tahun yang telah ia lewati tanpa kehadiran sang terkasih.

Tawan kembali dengan wajah yang lebih segar, pakaian Joss terlihat terlalu besar untuknya namun hal tersebut menambah kadar lucu seorang Tawan Vihokratana dimata seorang Joss Wayar.

“Sini.” Panggil Joss menepuk tempat duduk disampingnya.

Tawan tanpa banyak menyela duduk disamping Joss dan membuka beberapa makanan ringan yang disediakan Joss. Matanya menatap televisi yang menampilkan film yang juga ditontonnya, The Sun is Also a Star.

“Bisa gak, kita ngabisin semalaman tanpa pertanyaan? I just want to spend my night with you. I miss you.” Pinta Joss tiba-tiba.

Tawan mengangguk mengiyakan. Mau menolakpun rasanya Tawan tidak memiliki tenaga. Dia hanya ingin beristirahat dengan tenang dan nyaman.

“Come here.” Panggil Joss lagi.

Tawan menoleh dan melihat Joss sudah merentangan tangannya dengan lebar. Memberikan isyarat untuk Tawan menyambut ajakannya.

“Please, just one hug.” Pinta Joss lagi.

Tawan menghela nafasnya dengan pasrah dan menubrukan tubuhnya dengan tubuh besar Joss. Tangan lelaki itu melingkari pundaknya dengan erat, sementara bibirnya berkali-kali mengecup rambut Tawan.

“I miss you.” Bisik Joss.

Tawan tidak menjawabnya, dia hanya memeluk kembali Joss tak kalah eratnya. Mencari kehangatan yang yang selama ini tidak ia rasakan. Merasakan perasaan aman dan nyaman yang selalu lelaki itu berikan untuknya.

“Besok pagi flight ke Indonesia ya.” Bisik Joss.

Tawan yang mendengarnya terkejut dan berusaha melepaskan pelukan mereka berdua. Ke Indonesia? Maksudnya apa?

“Ke Indonesia?” Tanya Tawan memastikan.

“Iya. Gua mau ngajak lo ke rooftop FKM. Udah 6 tahun gak kesana kan?” Tanya Joss.

“Lu balik minggu kan? Ini masih kamis. Besok Jumat ke Indonesia, sisanya lu bisa di rumah ketemu orang tua lu.” Lanjut lelaki itu.

Tawan ingin menyanggah namun mendengar kata orang tua dia memutuskan untuk mengiyakan ajakan Joss untuk kembali ke Indonesia. Lagipula dia memang merindukan keluarganya. Dia akan memberitahukan pada atasannya besok kalau dia akan pulang selama 3 hari ke Indonesia sebelum kembali ke US.

“Thank you.” Ucap Tawan.

“Anything for you.” Bisik Joss.

Anything for you.

3 kata sederhana namun memiliki ribuan maksud terpendam. Joss Wayar menyadari hal itu bahwa dirinya terlalu banyak memberi pada Tawan. Namun tidak masalah untuknya karena Tawan memang pantas mendapatkan itu semua setelah segala hal yang dilaluinya.

Joss mengeratkan pelukan mereka dan berbisik pelan, “Welcome home, little Tawan.”

Satu hal yang Joss Wayar tidak ketahui, bahwa Tawan menitikkan air matanya saat mendengar kalimat penuh kelagaan itu. Joss Wayar tidak mengetahui, bahwa rumah dari lelaki kecilnya sudah berubah.

Bahwa Joss Wayar bukanlah rumah lagi untuk Tawan Vihokratana.


Joss dan Tawan kembali menginjakkan kaki dirooftop fakultas mereka. Begitu banyak yang berubah, 6 tahun benar-benar bukan waktu yang sebentar. Rooftop ini terlihat lebih bagus dari 6 tahun yang lalu, ada beberapa bangku, meja, dan bahkan ada beberapa rak besi yang berisi buku.

Rooftopnya juga diberikan atap, namun hanya dibagian kursi dan rak buku. Mungkin agar mahasiswa yang ingin bersantai tidak merasa panas, ataupun hujan.

“Wah gila makin bagus aja.” Puji Tawan.

Lelaki yang lebih tua itu berjalan mendekati rak buku dengan wajah yang sumringah, rak buku itu lebih banyak berisi buku-buku cerita fiksi dan sejarah dunia.

Tawan tersenyum semakin lebar membayangkan jika saja dulu saat dia masih berkuliah disini, rooftopnya sudah seperti saat ini, pasti tempat ini menjadi tempat kesukaan Tawan.

“Kangen?” Tanya Joss tiba-tiba.

Tawan mengangguk tanpa berpikir lebih jauh, lelaki itu sibuk membuka buku-buku yabg tersusun rapih di rak.

Joss sendiri memutuskan untuk medekati dinding pembatas rooftop dan memandangi kampusnya 6 tahun yang lalu. Matanya melirik Tawan yang masih asik dengan buku-bukunya, lelaki itu tidak bisa menyembunyikan senyumannya.

Joss memilih untuk duduk dan bersandar memperhatikan senyuman Tawan yang sejak semalam jarang sekali dilihatnya. Lelaki yang lebih tua itu lebih banyak diam jika bersamanya.

Joss menghela nafasnya dengan lelah, memutuskan untuk memejamkan matanya sejenak. Rasanya beberapa hari ini terlalu berat untuknya. Kehadiran Tawan saat ini membuatnya sedikit lebih tenang, sampai kapanpun kehadiran lelaki itu memang selalu berarti untuknya.

“Ngantuk?” Suara Tawan mengagetkan Joss.

Joss membuka matanya sedikit melirik Tawan yang saat ini sudah berada disampingnya dengan posisi yang sama. Joss tersenyum kecil dan menggeleng. Lelaki itu kembali memejamkan matanya.

“Bintangnya gak ada disini.” Ucap Tawan lagi.

Tawan memperhatikan Joss yang masih setia memejamkan matanya, namun Tawan tau bahwa Joss sudah pasti selalu mendengarkannya.

“Waktu gua di Kenya, setiap malem gua bisa liat bintang banyak. Bintangnya indah banget. 2 tahun disana bisa liat bintang terus, pas balik ke Atlanta kaget soalnya bintangnya ngumpet kayak disini.” Cerita Tawan.

“Disana juga hampir setiap hari, kita ngadain baca cerita bersama. Jadi ada yang dongeng ke mereka cerita anak-anak gitu. Mereka dengerinnya antusias banget, pada banyak nanya-nanya. Walaupun masih butuh bantuan translator tapi rasanya tetep seneng.”

“Kita juga jelasin tentang pekerjaan pekerjaan di dunia, terus banyak yang mau jadi dokter katanya mau sembuhin orang lain. Rasanya tuh terharu banget, walaupun keadaan mereka serba sulit, tapi cita-cita mereka setinggi langit.”

“Kayak lu ya?” Joss menanggapi dengan tiba-tiba.

“Hah?” Sahut Tawan tidak mengerti.

Joss membuka matanya dan menatap Tawan dengan pandangan hangatnya, “Iya kayak lu. Cita-citanya mulia dan setinggi langit.” Jelas Joss.

Tawan terkekeh kecil dan memilih memandangi langit daripada membalas tatapan hangat yang Joss berikan untuknya.

“Gimana hidup lo selama 6 tahun ini?” Tanya Tawan.

“Baik.”

“Syukurlah. Gua selama ini selalu khawatir sama lo. Apalagi pas dapet kabar dari Jumpol kalau lo pindah kampus. Gua merasa bersalah banget karena secara gak langsung gua udah jadi penghambat hidup lo.” Lirih Tawan.

Joss terkekeh kecil, “Bukan salah lu. Seperti yang gua bilang, ujungnya gua bakal megang perusahaan bokap gua. Jadi saat itu gua mikir, lebih cepat gua belajar bisnis. Lebih baik.” Sahut Joss dengan santai.

“Kenapa lo selalu anggap enteng semuanya? Kalau lo punya beban gapapa dibagi ke orang lain, Joss.” Suara Tawan berubah serius.

“Gua baik-baik aja? I'm here and still alive. That's enough.”

Tawan kembali menatap Joss dengan pandangan yang sukar diartikan, Tawan mencari kebohongan dari mata lelaki yang lebih muda, namun yang terlihat hanyalah pandangan penuh kasih sayang yang ditunjukkan untuknya.

Sekali lagi, Tawan merasa dunianya hancur karena dia tidak bisa membalas pandanagan lelaki itu dengan cara yang sama.

“Can I ask you more questions?” Tanya Tawan.

“Sure.”

Tawan menghela nafasnya dengan berat, “Kenapa lo tattooan?”

Joss melihat tattoo dilengannya dengan senyuman kecil, “My tattoos remind me of who I am when I start feel my identity getting blurred in thick of life. They root me when I start lose myself. They are about memorializing something so important it needs to be engraved on my skin.”

“Start lose myself?” Gumam Tawan.

“Gak ada maksudnya kok, cuma sebagai reminder aja.” Joss menenangkan Tawan yang menampilkan ekspresi sedihnya.

“Ada arti dari setiap tattoonya?”

Joss mengangguk dan mulai menjelaskan.

“Patience means, I should be patience while waiting for something good that might be happen in the future. The eagle head tattoo symbolizes focus and vision. The quotes on my left chest means nothing. I just randomly choose that one.” Joss menjelaskan tiga tattoonya dan memutuskan untuk berbohong pada arti tattoo ketiga.

Kill me softly

Tattoo di dada sebelah kirinya tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut kan?

“And skull with sword, flower, and wings represent the future and the past: remember, you will die. But how people will remember you depends on how you live your life today, that's all the meaning of the tattoos on front of my body.”

“The last one....” Gumam Tawan.

“Cool, isn't it?” Tanya Joss dengan kekehannya.

“Hm. Keren.” Tawan memutuskan untuk melipat lututnya dan menumpukan kepalanya diatas lutut sambil melihat Joss.

“And on the back?” Tanya Tawan lagi.

“The wings on my back represent a free individual who ready to fly at any time, and also for me the wings represent that you already fly on the sky and I need to fly as soon as possible too, to catch you, to fly with you and face the world together, and a compass tattoo to guide me way back home when I'm lost while searching for you.”

“And the lions represent no worries for the rest of your days.” Lanjut Joss dengan senyuman kecil yang terbit di wajah tampannya.

“Ah and the last tattoo” Ucap Joss menunjuk tattoo di dekat telinga kanannya, “An arrow with a compass on it represents the fact that, no matter how far away you are, your target will still be hit. This can be directed towards a phase of life where, even in the times of losing your path or way in life, you were still able to accomplish your goal or overcome a fear or unexpected situation.”

Tawan kehilangan kata-katanya, bahkan setelah 6 tahun berlalu, rasanya selalu Joss yang selalu memberikan dirinya cinta yang banyak.

Tawan bahkan belum sempat menunjukkan perasaannya untuk lelaki itu, dan sekarang perasaan yang dimilikinya perlahan menghilang. Lelaki itu terlalu banyak mengorbankan dirinya sendiri untuk orang lain.

“Why'd you do that?” Lirih Tawan.

“Because I love you.” Balas Joss tanpa berpikir panjang.

“Don't love me...” Tawan bergumam lirih.

“Hm?” Joss bertanya karena tidak mendengarkan jawaban Tawan terlalu jelas.

“Thank you for loving me.” Jawab Tawan.

Joss hanya tersenyum kecil, kembali memperhatikan langit kota Jakarta di malam hari. 6 tahun lalu dia melakukan ini bersama Tawan, di tempat yang sama, pada jam yang sama.

6 tahun lalu dia merelakan Tawan ditempat ini, jika saat ini dia kembali harus merelakan lelaki itu, maka Joss akan membiarkannya.

“How about you? 6 tahun ini ada yang menyenangkan gak?” Giliran Joss yang bertanya.

“Banyak. Banyak banget. Sampe rasanya selain bersyukur gua gatau lagi mau ngapain.” Jawab Tawan.

“Kalau tentang volunteering yang gua jalanin tadi udah sekilas ya, kayak gitu lah garis besarnya. Disana banyak pengalaman yang didapet yang mungkin gak bakal keulang nanti. Kalau masalah kerjaan, kerjaan gua baik-baik aja. Gua bahagia kerja disana.”

“I'm a chief of division of health informatics and surveillance systems. Dulu pas pertama kerja gua masuk divisi TB eliminations selama 2 tahun, terus pindah jadi staff di divisi zoonotic infectious disease selama 6 bulan, dan terakhir ngajuin diri jadi staff bagian surveillance systems selama 1 tahun dan baru 6 bulan belakangan ini jadi chief division.”

“Punya temen pas 1 tahun kerja di divisi TB, namanya Michael dia lebih muda 1 tahun dari gua. Terus kita mutusin buat tinggal 1 apartment berdua biar mengurangi pengeluaran, terus Michael punya pacar sejak dia SMA namanya Evan. Sering nginep juga, mereka berdua baik banget.”

“Terus apalagi ya yang harus gua ceritain?” Gumam Tawan.

Joss menahan dirinya untuk mengusak rambut Tawan, “Your love story?” Tanya Joss dengan jahil.

Pipi Tawan sontak memerah, bayangan Thanat menari dipikirannya. Sudah seminggu tidak bertemu lelaki dengan wajah menenangkan itu. Tanpa sadar Tawan tersenyum dengan indahnya.

Joss memalingkan wajahnya dari wajah berseri yang diberikan oleh Tawan, bibirnya menerbitkan senyuman kecil. Tawan terlihat bahagia, dan dia tidak bisa meminta lebih daripada ini. Kebahagiaan Tawan adalah hal terpenting untuknya.

“Tell me about him.”

Rasanya dunia Tawan seakan jatuh untuk sekian kalinya, Tawan melihat Joss dengan pandangan bersalahnya. Dia tidak sadar bahwa tadi dirinya tersenyum ketika memikirkan tentang Thanat. Tawan mencoba membaca raut wajah lelaki itu, namun Joss terlalu pintar untuk menyembunyikan perasaannya.

Joss yang menyadari pikiran Tawan saat ini memutuskan untuk mengusak rambut lelaki itu dengan gemas, kekehannya terdengar dengan renyah. Tawan tidak pernah berubah. Lelaki itu selalu mudah untuk dibaca jika sedang bersamanya.

“Rules number one, always tell someone how you feel, because opportunities are lost in the blink of an eye but regret can last for a lifetime. Just tell me, it's fine.” Ucap Joss menenangkan.

“No. I'm sorry.” Lirih Tawan.

Joss menangkup wajah Tawan dengan tangannya yang hangat, matanya menatap Tawan dengan tatapan teduhnya, “Why you said sorry? You did nothing wrong, Little Tawan. It's completely okay to fall in love again. If he loves you unconditionally and gives you all the happiness which you were deprived of before, then it's okay to fall in love again.”

“Little Tawan, hey. Did you remember one of my insta story six years ago? After we broke up?” Tanya Joss.

Tawan menggeleng kecil, Bagaimana dia bisa mengingat insta story 6 tahun yang lalu.

“Make a list. Write down the most important things. I will give you the first. You.” Ucap Joss dengan suara menenangkannya.

Tawan menggelengkan kepalanya lagi tidak setuju dengan pernyataan Joss, “No. Please make yourself a priority once in a while. It's not selfish. It's necessary.”

Joss tersenyum kecil, “I will, but tell me about him first.”

“No, it's my turn to ask you. Kenapa baru muncul sekarang setelah 6 tahun menghilang?” Tawan mencoba membuat Joss melupakan tentang Thanat.

“Karena gua baru menyelesaikan kuliah gua. Kalau gua muncul di hadapan lu masih sebagai seorang mahasiswa, apa bedanya sama yang sebelumnya? Gua mau muncul didepan lu sebagai seorang lelaki yang udah jadi pinjakan yang kokoh.” Jelas Joss.

“Gua kuliah bachelor dulu di Harvard University, Business Administration. 4 tahun. Selama 4 tahun gua nyoba fokus sama kuliah, supaya gua gak samperin lu. Padahal saat itu kita satu benua. Kesempatannya banyak kan? Tapi gua mikir lagi. Gua masih berstatus mahasiswa, kalau gua balik pun rasa-rasanya kurang pantas.”

“Jadi gua mutusin buat fokus kuliah sampe lulus. Setelah lulus gua lanjutin magister gua di INSEAD Singapore. Tadinya mau di France tapi ayah gua minta di Singapore aja karena gua sekalian kerja perusahaan. Gua diperusahaan juga kerja jadi karyawan biasa. Uang gua masih sedikit. Gua belum bisa samperin lu karena gua masih gitu-gitu aja. Beda sama lo yang udah hebat.”

“Gua kuliah sambil kerja, hampir setiap minggu pasti gua selalu bolak balik Indonesia. Sampe akhirnya beberapa bulan lalu gua diangkat jadi CMO sama ayah gua. Keuangan gua udah stabil, uang hasil kerja keras gua sendiri. Sampe akhirnya gua baru punya kesempatan buat ketemu lu kemarin, tanpa pikir panjang gua gunain kesempatan gua, and here I am.” Joss tersenyum setelah menyelesaikan ceritanya.

“Lo di US 4 tahun?” Tawan bertanya sekali lagi untuk memastikan dan dibalas Joss dengan anggukan yakin.

“Wow.” Tawan kehilangan kata-katanya. 4 tahun merupakan waktu yang lama, dan Joss Wayar tidak sekalipun mendatanginya dalam waktu 4 tahun itu.

Katakan Tawan egois, namun meskipun Joss datang dengan status mahasiswanya, Tawan tidak perduli. Dia akan tetap menerima Joss. Kalau Joss tidak bisa menjadi pijakannya, biarkan Tawan yang menjadi pijakan lelaki itu. Namun sepertinya Joss memilih untuk tidak menemuinya.

“4 tahun dan lo gak ada niat untuk nemuin gua. Sementara gua di US, setiap kali ada kesempatan gua selalu mikirin lo, Joss Wayar.” Ucap Tawan penuh penekanan.

“I already tell the reason.” Bantah Joss dengan kalem.

“There's no excuse. At least, you can tell me, but you didnt even message or email me.” Ucap Tawan lagi.

“Ok. That's my fault. I'm sorry.” Joss mengalah. Tidak ingin bertengkar.

“Lo tau gak rasanya kayak gimana? Setiap hari gua selalu punya rasa bersalah ketika gua denger lo keluar dari FKM. Gua selalu ngerasa jadi penghalang buat lo. Gua ketakutan, gua takut nanti lo gak bakal balik lagi, gua selalu percaya sama kata-kata lo tentang kita bakal ketemu lagi kalau waktunya udah pas. Setahun, dua tahun, sampe 6 tahun bahkan gua masih selalu inget.”

“I try so hard to trust you. I keep your promise and waiting for you. Gua nutup hati. Gua pura-pura gak tau kalau ada yang deketin gua. Gua pegang semua janji lo. Semua kenangan 6 tahun lalu setiap hari terbayang-bayang, gua kangen sama lo, tapi gua gak bisa ngelakuin apa-apa.”

“And after a while, I got tired of waiting for you and I had to leave you behind, not because there's no love, but because there was no growth.”

“Setelah gua bisa merelakan, semua orang seakan nyalahin gua karena gua udah milih jalan hidup gua. Everyone keep asking about you. Terus gua harus jawab apa? Gua bahkan gatau lo dimana, apa lo masih inget gua, gua bener-bener buta sama segala hal tentang lo, dan semua orang seakan nyalahin gua karena gua udah mencoba buat lupain lo.”

“Apa gua gak boleh jatuh cinta lagi?” Tawan terisak kecil menumpahkan semuanya.

“Sekarang lo dateng, seakan-akan 6 tahun ini bukan apa-apa. Lo dateng langsung nanyain apa gua punya jawaban atas email lo 6 tahun lalu. Apa lo gak merasa kalau lo keterlaluan?” Tanya Tawan diantara isakannya.

Sekarang Joss mengerti. Seharusnya sejak dulu dia sudah mengerti bahwa dia hanya jatuh cinta sendirian. Sejak awal hanya ada dirinya dan perasaanya. Sejak awal, mungkin dia memang hanya jatuh cinta sendirian.

He saw the sign but he chose to ignore them. Sekarang Joss melihatnya sendiri. The distant look in his eyes, and the lack of emotion. The lack effort he began to give, and how their conversation just seemed to end. He didn't want to accept the truth that was bluntly in front of his face.

Joss mengingatkan dirinya bahwa Tawan tidak perlu tahu apa yang sudah dilaluinya, semuanya adalah kesalahannya. Kesalahannya dalam membuat janji yang tidak bisa dipenuhinya dengan sempurna. Kesalahan dirinya yang tidak sesuai ekspetasi yang Tawan bayangkan.

“I'm sorry for the times I hurt you. I'm sorry.” Bisik Joss pelan.

“You're so dumb. So dumb. Dumb. Dumber. Dumbest.” Teriak Tawan cukup keras. Tangan kecilnya memukul lengan Joss Wayar tanpa belas kasih.

“Lo paling tolol bego paling bikin gua benci. Gua benci banget sama lo. Marah. Marah ke gua. Omelin gua. Balikin kata-kata jahat gua. Kenapa lo minta maaf?!” Tangis Tawan.

Joss tidak membalas ucapan Tawan ataupun menghentikan pukulan lelaki itu. Dia hanya membiarkan Tawan meluapkan emosinya. Membuat beban lelaki itu terangkat sepenuhnya.

“Kenapa lo gak kasih pembelaan diri lo sendiri. Kenapa lo malah minta maaf. Kenapa. Gua udah jahat sama lo Joss Wayar. Kenapa?” Lirih Tawan dengan suara tercekat.

“Because it's my loss. You've done everything you could do. You've been patient, you've waited, you've prayed, and even in the most trying of times you remained loyal and respected “us” while I wasn't around, and if you fell in love with someone else, that's fine. Because you've done more than enough for me.” Ucap Joss.

“I told you to make yourself a priority.” Isakan Tawan belum berhenti.

“You want me tell about him? Okay. I'll tell about him.” Bisik Tawan.

Joss Wayar tersenyum kecil dan mengelus pipi Tawan yang terasa dingin dengan lembut. Siap mendengarkan tentang lelaki yang membuat Tawan menampakkan rona dipipi tembamnya.

“Namanya Thanat Lowkhunsombat. Deputy Director CDC bagian Penyakit Menular. Udah kerja di CDC selama 12 tahun. Umurnya sekarang 35 tahun, dia kerja sejak umur 23 tahun. Dia ketua team gua di divisi TB elimitations, orang Yogyakarta. Sejak awal kenal, dia udah banyak bantu gua bahkan sampe gua jadi ketua divisi dia masih banyak bantu gua.”

“He was and he is a nice guy. Nothing changed since the time I knew him and now. He is very understanding, caring, and respect me a lot. At very stage of my life, he's there for me when you're not around. He motivates me, and he gave me strength. He always supported me in everything I did. He was a very wise man and I realised at early age I could learn a lot from him.”

“He always gave me the right answer. But above all he was a very easy-going guy and last week, he said he fall in love with me and he asked my permission to meet my parents in the end of year.” Bisik Tawan dengan lirih.

Matanya sudah memerah karena terlalu banyak menangis. Lelaki itu memperhatikan Joss yang masih tersenyum dengan tatapan mata hangatnya.

“I'm glad you found him.” Respon Joss tidak terduga.

Tawan menyembunyikan wajahnya dan kembali menangis terisak. Joss memalingkan wajahnya melihat Tawan yang menangis dengan begitu menyedihkan. Seperti terluka dengan sangat dalam.

Joss memejamkan matanya, berharap pilihannya kali ini tidak salah. Berharap apa yang dia lakukan merupakan pilihan terbaik untuk dirinya, untuk Tawan, dan untuk Thanat.

“Gua serius. Gua bersyukur lu ketemu sama orang baik. Gua bersyukur ada orang lain yang bisa liat betapa pantasnya lu buat dicintai. Gua bahagia bang, seenggaknya lu dikelilingin sama orang-orang baik yang sayang sama lu.”

“Little Tawan, I love you. Kalau akhirnya nanti bukan gua dan lu, gua bakal tetep bilang kalau gua sayang sama lu.”

“Gua juga berterima kasih. Gua bersyukur banget bisa kenal sama lu dihidup gua. Meskipun bukan lu dan gua pada akhirnya, seenggaknya gua pernah jadi pelukan yang bikin lu ngerasa aman, pernah bikin lu ketawa, pernah jadi orang yang paling lu sayang, dan pernah ngerasain indahnya jatuh cinta sama manusia paling keren di dunia.”

“Thank you for loving me, Little Tawan.” Bisik Joss Wayar.

Tawan tidak membalasnya, suara tangisannya semakin keras.

“Little Tawan, and now I will choose myself.”

“I loved you enough to let you leave, and now I loved myself enough to let you go.” Ucap Joss dengan yakin.

Tawan menggelengkan kepalanya, tangisannya tidak bisa berhenti. Dia mengepalkan tangannya dengan erat.

“6 tahun dan lo masih kayak gini? Kenapa lo selalu mutusin semuanya sendirian? Lo gak pernah nanya mau gua apa, lo gak pernah nanya apa gua bahagia?”

“Lo selalu begitu. Ask me. Ask me if i'm happy or not, ask me to stay. Ask me to stay with you, you dumbass.” Teriak Tawan.

Joss Wayar menggelengkan kepalanya dan mencoba memeluk Tawan dengan sisa tenaganya namun Tawan menepis lelaki itu. Menjauh. Memberikan jarak.

“Look me in the eyes, and tell me you let me go and you will be happy.” Ucap Tawan dengan berani.

“You know it little Tawan. We never made it, did we?” Ucap Joss dengan suara pelannya.

“Tell me you let me go and you will be happy.” Tawan mengulang ucapannya.

Joss Wayar menatap Tawan dengan senyuman sendunya, berbeda dengan senyuman sendu yang diberikan matanya menatap Tawan dengan yakin.

Keheningan terasa mengcekam diantara keduanya, Tawan masih menatap Joss begitupula dengan lelaki itu. Bagaimana bisa Joss mengatakannya dengan lantang jika tatapan mata Tawan seakan memintanya untuk bertahan?

“Tell me you let me go, Joss Wayar. Tell me you loved yourself enough to let me go. Tell me the words you've said 6 years ago. You will let me fly again.” Ucap Tawan lagi.

Joss terdiam sebentar, “I loved you enough to let you leave, and I love myself enough to let you go, Tawan Vihokratana.” Ucap Joss dengan tegas.

Tawan tersenyum kecil, “Joss Wayar, In your hesitation, I found my answer.” Gumamnya pelan.