You've Got Mail: Epilog Chapter 4

Tawan menyeret kopernya keluar dari kamar, matanya menangkap pemandangan Michael dan Evan yang sedang menonton kartun bersama. Senyum kecilnya terbit menyaksikan pemandangan manis itu.

“Micha nanti lo seminggu tidur di sini apa di apart Evan?” Tanya Tawan menginterupsi kedua sejoli tersebut.

“Kayaknya diapart Evan deh. Lebih deket juga soalnya ke kantor.” Jawab Michael melirik Tawan yang sudah rapi dengan kopernya.

“Ini beneran gamau gue yang nganter?” Lanjut Michael.

Tawan berjalan mendekati kedua sejoli tersebut dan mendudukan dirinya di tengah-tengah mereka sambil memerkan senyuman jahilnya.

“Gak usah, gua dianterin sama deputy director lo berdua.” Jawab Tawan dengan intonasi mengejek.

Tawan merasakan pukulan pelan dari bahu kanan dan kirinya, dia melirik Evan yang memasang wajah meledek dan Michael yang sudah tertawa dengan keras.

“Anjrit gak nyangka beneran jadi lu sama deputy director paling ganteng se-CDC.” Kekeh Michael.

“Beneran Tay? Udah fix banget ini lo sama Thanat?” Gantian Evan yang bertanya.

Tawan terkekeh kecil, “Doain aja deh ya dia juga mau ke rumah pas pulang ke Indonesia nanti.” Jawab Tawan wajah yang memerah.

“SUMPAH LO BISA BISANYA LANGSUNG KE ARAH SANA?” Teriak Michael tidak mempercayai pendengarannya.

Tawan menyenderkan tubuhnya pada sofa dibelakangnya, dikanan kirinya Evan dan Michael menghadap ke arahnya dengan wajah penasaran.

“Ya gatau, diajakinnya ke arah serius.” Jawab Tawan dengan yang fokus ke arah televisi.

“Wajar sih, Thanat udah waktunya buat nikah juga bagi gua. Udah 35 kan.” Celetuk Evan memberikan pendapatnya.

“Ya bener tapi dia pede banget kali ya bakal diterima. Kaget gue, dia gak pake pendekatan-pendekatan dulu apa.” Celetuk Michael.

“Kayaknya yang, itu dia udah pendekatan dari lama deh tapi Tay gak sadar jadi dia mulai ambil langkah soalnya udah lama juga kalau dia emang pendekatan dari dulu.” Ucap Evan menanggapi pernyataan Michael.

“Ini kenapa lo berdua yang berspekulasi didepan gua? I'm hereeee helloooo?” Protes Tawan.

Michael terkekeh dan menyandarkan kepalanya di bahu Tawan dengan nyaman. Dia sangat menyayangi temannya ini, dari awal dia bekerja di CDC, Tawan sudah banyak membantunya.

“But I'm glad, artinya lo udah bisa ngelepasin masa lalu lo kan? To be honest gue sempet khawatir pas tau kalau lo masih condong ke masa lalu, lo gak pernah cerita tentang orang itu dan gue pikir selama ini lo emang orang yang gak perduli cinta-cintaan terus pas tau lo punya cinta belum selesai gue ngerasa gagal jadi temen.” Jujur Michael.

Tawan melirik Michael dengan penuh kasih sayang, rasanya sangat terharu karena dia memiliki orang-orang baik disekitarnya.

“Hehehe maaf ya Micha lo baru tau setelah 3 tahun temenan sama gua. Gua agak kurang nyaman aja bicarain Joss selama ini.” Tawan mengelus rambut Michael.

“Namanya Joss?” Tanya Michael dan Evan bersamaan.

Tawan menangguk, “Joss Wayar Sangngern.” Jelasnya.

“Buset namanya cakep.” Celetuk Evan.

“Iyakan? Orangnya juga ganteng, kepribadiannya juga bagus, dan kata-kata yang dia ucapin juga sama bagusnya.” Jawab Tawan dengan senyumnya.

Michael dan Evan melirik satu sama lain, Evan memutuskan untuk menyenderkan kepalanya di bahu Tawan, mengikuti kekasihnya.

“Pas kapan pacaran sama si Joss ini?” Tanya Evan.

“Kuliah semester akhir.”

“Mau denger ceritanya!!” Ucap Michael dengan semangat.

Tawan terkekeh dan menceritakan dirinya dan Joss secara singkat, lelaki itu kebanyakan menceritakan tentang betapa baiknya Joss dan apa yang lekaki itu lakukan untuknya. Seperti sebuah template diotaknya, dia hanya akan menceritakan hal bahagia tentang Joss.

“Gila sih pantes aja lo susah move on Te.” Respon Michael setelah mendengar cerita Tawan. Tawan sendiri hanya mengangguk membenarkan.

“Ada instagramnya gak? LIAT SIH GUE PENASARANNN.” Lanjut Hangyul dengan wajah super penasarannya.

Tawan terdiam sebentar, akun Joss Tawan hide dan dia tidak pernah membuka profil lelaki itu lagi. Namun dia juga penasaran, apa saja yang sudah Joss lalui selama ini.

“Ada..” Jawab Tawan dengan suara kecil.

Tawan mengambil ponselnya dan membuka aplikasi instagram. Tangannya terasa lemas, setelah 6 tahun berlalu dia baru memiliki keberanian untuk melihat akun Joss. Dia harus menunggu 6 tahun untuk melihat apa yang lelaki itu sudah lalui. Apakah lelaki itu melalui hari-harinya dengan baik?

Tawan mengetik username instagram yang sudah dihafalnya diluar kepala.

“Josswayar” Rapal Tawan dalam hati.

Layar ponselnya menunjukkan profil instagram Joss yang tidak pernah dilihatnya selama ini.

“Whoa followersnya banyak.” Komentar Evan saat melihat akun instagram Joss. Sementara Michael mengangguk membenarkan perkataan sang kekasih.

Tawan menampilkan wajah terkejut saat melihat feeds instagram lelaki itu, bukan hanya Tawan namun Michael dan Evan juga menampilkan wajah terkejut yang sama.

“Tattooan?” Tanya Michael dan Tawan bersamaan. Kedua sahabat itu saling melirik satu sama lain dengan wajah yang sama-sama terkejut.

“Anjir berani banget buat tattoonya keren banget yang tattoo sayap.” Komentar Evan menunjuk salah satu foto yang dipost oleh Joss.

“Dulu tattooan gak Te?” Tanya Michael penasaran.

“Engga, makanya gua juga kaget.” Jawab Tawan masih dalam kebingungan yang jelas.

Diotaknya muncul banyak pertanyaan, sejak kapan? sejak kapan lelaki itu memiliki tattoo? apa maksud dari semua tattoonya? Hal seperti apa yang dilewati oleh lelaki itu sampai dia membuat tattoo begitu banyaknya?

“Tapi jujur Te, ini tattoo sayapnya kenapa cocoo banget ya? Tapi ada kesan sedihnya sayapnya, bukan sayap yang indah gitu tapi cocok ngerti gak?” Komentar Michael.

Tawan juga memperhatikan foto punggung Joss dengan seksama. Hatinya entah mengapa terasa tercubit. Sayapnya, itu artinya apa? Singa, kompas dan huruf kanji itu apa?

Jujur, Tawan sangat penasaran. Rasanya ia ingin bertanya pada lelaki itu langsung. Tawan ingin melihat tattoo itu secara langsung, dengan mata kepalanya sendiri.

“Lo putus sama yang modelan begini ya gue kalau jadi lo juga gagal move onnya pasti lama banget.” Celetuk Michaelagi.

Tawan hanya tersenyum kecil, Joss memang salah satu mahasiswa tertampan di Monokrom dulu. Dia juga memiliki badan yang bagus sejak dulu, jadi Tawan tidak terlalu kaget melihat Joss yang sekarang. Tidak jauh berbeda tapi ada beberapa hal yang membuat Tawan merasa asing dengan Joss.

“Eh tapi sekarang dia lagi dimana deh? Lo gak pernah meet up lagi sama dia Te?” Tanya Michael penasaran.

“Gak sih, gua juga gak tau dia dimana kayaknya di Indonesia deh? Udah 6 tahun gak pernah ketemu. Kalau pulang ya gua full family time sama nyamperin temen-temen gua.” Jawab Tawan.

“The difference between your boyfriend and your ex boyfriend gede juga ya. Kayak Thanat tuh udah yang dewasa banget kalau Joss ini keliatan tipe yang konyol kekanakan ya.” Evan kembali memberikan pendapat.

“Konyol sih bener, tapi kalau kekanakan sih enggak. Dulu dia terus yang ngertiin gua sih emang udah baik aja dari sana-nya. Kalau Joss lebih kayak pacar yang bisa dijadiin sahabat, partner crime, bro, terus seneng explore dunia baru, kalau mas Thanat lebih ke kakak kali ya? Karena pemikirannya udah dewasa banget jauh dari gua.” Jelas Tawan.

“Terus kal-” Ucapan Michael terputus dengan terdengarnya suara bel yang berbunyi di penjuru ruangan.

Tawan menepuk paha Michael dan Evan sebagai tanda untuk memindahkan kepala mereka yang masih asik menyender dipundaknya. Dengan tidak rela Michael mengikuti kode dari Tawan.

“Deputy director ya?” Tanya Evan setelah dia menyamankan posisi bersandarnya.

“Iya” Teriak Tawan, lelaki itu berjalan menuju pintu apartmentnya.

“Tadaaaa” Ucap Thanat dengan semangat.

Tawan dikagetkan dengan tumbler starbucks yang dibawa oleh Thanat. Tumbler itu persis didepan hidungnya.

“Mas kaget tau gak sih?” Omel Tawan. Namun lelaki itu tetap mengambil tumblr yang diberikan oleh Thanat.

“Mas tadi mampir ke starbucks dulu?” Tanya Tawan.

Tawan berjalan menuju dapurnya dengan Thanat yang masih setia mengikuti lelaki yang lebih muda itu.

“Kemarin malem kebetulan ada tumbler yang elsa itu, baru keluar. Lo pasti belum punya juga kan.” Jawab Thanat dengan santai.

Thanat melihat sekeliling dan menemukan dua orang karyawannya sedang asik menonton kartun sambil memakan makanan ringan.

“Seru amat.” Celetuk Thanat mengagetkan kedua sejoli tersebut.

“Thanat. Dateng juga lo.” Sapa Evan.

Thanat hanya terkekeh dan duduk disebelah Evan, tangannya mengambil makanan ringan yang berada dipangkuan Evan dan memakannya.

“Mas Thanat ini mau langsung ke bandara aja atau mas mau disini dulu?” Tanya Tawan.

“Micha, mas Thanat beli tumbler starbucks yang baru tuh ada dibelakang kalau mau pake, pake aja ya. Dia beli dua.” Lanjut Tawan.

Michael mengangguk dan mengucapkan terima kasih pada atasannya itu, Thanat memang kerap kali membelikan barang kembar untuk Tawan dan Michael.

Saat Michael bertanya alasan Thanat membelikannya barang, Thanat hanya menjawab kalau dia selalu ingat dengan Michael ketika sedang membelikan Tawan barang dan akhirnya dia membeli dua barang yang sama, yang membedakan terkadang hanya warna atau motifnya.

Banyak sekali baju ataupun sepatu Tawan yang kembaran dengan Michael, begitu pula tumblr, cangkir, bahkan sendok dan garpu.

“Yaudah langsung aja yuk?” Ajak Thanat. Lelaki yang lebih tua itu mengambil koper Tawan dan membawanya keluar.

Tawan sendiri membiarkan Thanat berbuat sesuka hatinya, sementara dia berpamitan dengan Michael dan Evan.

“Micha inget makannya jangan telat, terus jangan kebanyakan beli minuman soda. Susunya diminum kalau mau tidur oke? Evan juga jangan lupa stock banyak susu buat Michael.” Pesan Tawan pada kedua orang tersebut.

Michael bangkit dan memeluk Tawan dengan erat, “Have a safe flight and take care!!! Hope u find ur happiness in Singapore.” Ucap Michael mengeratkan pelukannya pada Tawan.

Evan yang tidak mau ketinggalan ikut memeluk Tawan dalam pelukannya. Mereka bertiga berpelukan dengan erat, seakan tidak ada hari esok.

“Nanti gua beliin oleh-oleh oke? Sampai ketemu seminggu lagi Michael, Evan.” Pamit Tawan.

Tawan sekali lagi memeluk mereka berdua dan berjalan keluar menyusul Thanat yang sudah berada di depan. Lelaki itu melambaikan tangannya dan menutup pintu dengan semangat.

Thanat menyambutnya dengan senyuman kecil, seakan ikut merasakan kebahagiaan Tawan yang akan meninggalkan Atlanta untuk seminggu ini.

“Seneng banget?” Ledek Thanat.

“Seneng lah mas, gua akhirnya bisa keluar dari US walaupun cuma seminggu.” Kekeh Tawan.

Thanat terkekeh dan mengusak rambut Tawan dengan gemas, lelaki itu memberikan jemarinya pada Tawan.

“Mau pegangan tangan gak?” Tanya Thanat.

Wajah Tawan memerah karena malu dan kaget. Thanat selalu melakukan hal manis secara tiba-tiba.

“Apaan sih mas, cringe.” Protes Tawan, namun lelaki itu tetap menyambut uluran tangan Thanat.

Senyum Thanat melebar saat merasakan tangan hangat Tawan yang menggenggam erat tangannya. Rasanya aneh sekali, dia sudah berkepala tiga namun dia merasa dirinya kembali seperti anak SMA yang baru pertama kali pacaran.

“Ada yang bakalan kangen kayaknya.” Ucap Thanat tiba-tiba.

Tawan memiringkan kepalanya, “Siapa?” Jawabnya dengan polos.

“Lee Thanat.”

Tawan menggelengkan kepalanya mendengar jawaban aneh Thanat. Benar-benar definisi pdkt orang tua. Perbedaan umur diantara keduanya sangat terasa jika Thanat sedang menjalankan aksinya.

Perjalanan mereka menuju bandara diisi dengan obrolan seputar kasus kasus kesehatan yang saat ini sedang banyak terjadi. Tawan memang sangat senang berbicara dengan Thanat, karena pengalaman lelaki itu lebih banyak darinya dan Tawan bisa belajar banyak hal baru.

“Tapi mas, kenapa ya kita CDC setiap tahunnya pasti selalu kirim relawan ke Afrika, dan masalah yang dihadapi tuh masih sama yaitu gizi buruk. Padahal udah banyak program yang berlangsung.” Keluh Tawan.

“Ya balik lagi ke pemerintahnya sih Tay, kita kan lagi-lagi cuma relawan disana. Semuanya balik lagi ke kebijakan pemerintah disana, bidang kesehatan mereka juga cukup jalan tapi emang sulit buat reach out orang-orang disana. Tau kan rasanya gimana pas kemarin jadi petugas lapangan?” Thanat bertanya kembali.

“Iya susah banget, apalagi buat masuk ke masyarakat. Kita bener-bener harus berbaur dibudaya mereka, terus juga pas lagi penyuluhan kita harus kasih contoh berdasarkan lingkungan disekitar mereka dan paling susah perbedaan bahasa sih mas. Kemarin kalau gak pake penerjemah, udah nangis kali ya gua.,” Jawab Tawan.

“Udah gitu disana kita gak fokus ke kesehatan juga, karena pendidikan mereka disana gak memadai kita juga ambil tugas jadi pengajar anak-anak. Tapi seneng mas, karena dua tahun disana udah banyak anak-anak yang bisa baca dan nulis.”

“Terus waktu itu kan setiàp orang megang satu balita kurang gizi, dan balita yang gua pegang, pas gua cabut berat badannya udah mencukupi buat balita seusia dia. Gila gua seneng banget sampe nangis waktu itu.” Lanjut Tawan.

“Seru ya? Bukan meromantisasi kemiskinan, tapi disana bikin paham makna dari kalimat “bahagia itu sederhana” karena disana emang bahagia sesederhana itu. Contohnya kita bagi satu permen ke anak-anak disana, tapi senyuman mereka udah selebar itu. Coba anak-anak di kota besar, pasti mereka bakal marah dan minta lebih.” Ucap Thanat.

“Terus disana kita juga bisa paham arti kekeluargaan yang sesungguhnya, meskipun mereka serba kekurangan, mereka tetep bantu satu sama lain. Indah banget. Somehow disana bisa jadi tempat yang tepat buat ngilangin penat sama hiruk piruk dunia.”

“Iya bener, itu juga alasan gua secara sukarela ikut jadi relawan. Mereka indah, mereka baik. Kalau disuruh balik lagi 2 tahun disana, gua akan bilang iya tanpa pikir panjang.” Sahut Tawan dengan senyum kecilnya mengingat kebaikan orang-orang disana.

“Ayo nanti balik kesana? Gak usah dibawah naungan CDC kita kesana aja 2 minggu, buat bagi-bagi rezeki ke mereka.” Ajak Thanat.

Tawan menatap Thanat dengan binaran mata yang jelas akan kebahagiaan.

“Beneran? Beneran? Ayooo!!! Nanti gua ajak temen-temen gua buat donasi.” Ucap Tawan semangat.

Thanat mengarahkan tangannya ke rambut Tawan dan mengusapnya pelan, “Iya ayo. Tahun besok ya? Kan tahun ini cutinya pulang ke kampung halaman.”

“Oke nanti gua tagih ya.” Ucap Tawan dengan penuh dedikasi.

Thanat terkekeh dan kembali memusatkan perhatiannya ke jalan, tanpa sadar mereka sudah sampai di Hartsfield–Jackson Atlanta International Airport. Ketika koran-koran itu membicarakan bawha Hartsfield-Jakson menjadi bandara tersibuk di dunia, memang benar adanya.

Banyak sekali orang yang berlalu, ada yang menjemput dengan wajah bahagia dan aja pula yang melepas dengan wajah sedihnya. Namun Thanat berbeda dari yang lainnya, dia mengantar Tawan dengan wajah bahagia, siapa pula yang tidak bahagia jika orang yang dicintai menampilkan senyuman yang tidak pernah luntur dari wajah manisnya.

“Mas gak usah dianter sampe dalem, sampe sini aja.” Ucap Tawan.

“Kenapa?” Tanya Thanat penasaran.

“Gapapa sih, lagian kan cuma seminggu perginya. Kalau sampe dalem aneh tau ga si rasanya. Biasanya kalau tugas ke luar US juga gak dianter sampe dalem.” Jawab Tawan.

Thanat tertawa geli mendengar alasan Tawan, tapi benar juga sih semenjak pengakuannya kemarin pada Tawan rasanya Thanat ingin selalu bersama lelaki itu.

“Yaudah berarti mas gak usah parkir ya? sampe sini aja kan?” Tanya Thanat.

Tawan mengangguk dan keluar dari mobil untuk mengambil kopernya di bagasi. Thanat ikut keluar untuk membantu Tawan menurunkan koper.

“Oh iya tadi mau komentar lupa, tapi enteng banget kopernya?” Tanya Thanat.

“Gak bawa baju banyak, nanti kalau kurang beli aja disana.” Jawab Tawan dengan wajah sombongnya.

“Lah udah bisa flexing” Thanat tertawa semakin geli.

Tawan sudah memegang erat kopernya, dia menatap Thanat dan tersenyum dengan lebar, “Sooo, dadah mas?” Ucap Tawan dengan semangat.

Thanat mendekatkan dirinya ke arah Tawan dan memeluk lelaki itu dengan erat, “Hati-hati disana Tay.” Pesan Thanat.

Tawan melepaskan pegangannya pada koper dan menepuk pelan punggung Thanat dan terkekeh kecil, “Iyaaa mas.”

Thanat melepaskan pelukannya pada Tawan dengan senyuman yang masih terpasang diwajah tampannya, “Yaudah, dadah Tay?”

“Dadah masssssssssss.” Balas Tawan dengan memanjangkan panggilannya pada Thanat.

Lelaki yang lebih muda itu berjalan meninggalkan Thanat dengan wajah yang masih terpaku pada wajah Thanat. Sekali lagi Tawan melambaikan tangannya dengan semangat yang dibalas lambaian tangan tidak kalah semangatnya.

Tawan menatap bandara yang penuh dengan orang-orang, di dalam hatinya dia merasa bahwa dia akan sering mengunjungi bandara. Entah untuk apa, tapi Tawan yakin perjalannya kali ini akan membuat dirinya bahagia.


Setelah kurang lebih 23 jam berada di udara, Tawan akhirnya sampai di Changi dengan keadaan yang lemas dan lesu. Sudah lama dia tidak berada selama itu di pesawat dan sekarang rasanya dia mengalami jetlag.

Beruntungnya konferensinya berlangsung dari selasa hingga kamis. Jadi dia memiliki waktu untuk tidur hari ini. Tawan menyeret kopernya dengan malas, Jumpol baru akan sampai disini nanti malam. Saat ini dia dijemput oleh Daniel, one of conference Organizing team.

“Mr. Tawan Vihokratana?” Sebuah suara memanggil namanya.

Tawan menoleh dan tersenyum kecil melihat lelaki yang kira-kira berusia 28 tahun menyapanya dengan menggenggam sebuah kertas berisi nama beserta fotonya.

“Hello..” Sapa Tawan.

“Hi Mr. tawan, my name is Daniel Tong. I'm responsible for helping you. I hope your trip here will be a pleasant one. How was your flight?” Sapa Daniel dengan berbasa basi.

“Oh I see, thank you Mr. Daniel for asking me. It was great. Anyway, my name is Tawan Vihokratana. Representative of CDC US.” Ucap Tawan membalas perkenalan diri dari Daniel.

Mereka berdua berjabat tangan dan Daniel membantu membawakan koper Tawan. Mereka berdua berjalan tanpa banyak mengobrol, selain karena Tawan tidak tahu bagaimana membuka percakapan jadi Tawan memutuskan untuk diam dan mengikuti lelaki itu.

“Is this your first time in Singapore?” Tanya Daniel melirik Tawan yang sedang memperhatikan jalanan.

“No, this isn't my first time. I can't count how many times I've been here before but my first time in here when I was a college student, I'm one of the representative from Indonesia to join Youth Model Asean Conference.” Jelas Tawan.

“Oh are you from Indonesia?” Tanya Daniel dengan tertarik.

“Yes. I'm from Indonesia but I've been working in US for 6 years.” Jawab Tawan dengan senyuman lelahnya.

“I have friend from Indonesia, he's currently living in here and continue his master, but now he's already graduated.” Cerita Daniel.

“Ah I see, Indonesia indeed one of the most populous country in the world. because wherever I go, I've met Indonesians” kekeh Tawan.

“Yes, you're right.” Kekeh Daniel.

Walaupun Tawan lelah namun Daniel yang berbicara dengan intonasi yang ramah dan membuatnya nyamanpun akhirnya mengobrol dengan asik selama perjalanan menuju hotel yang sudah disediakan untuknya.


Tawan membukakan pintu kamarnya yang berbunyi sedari tadi. Tawan tidak mendengarnya karena lelaki itu sibuk berbincang dengan Thanat di telfon.

“Jumpol?” Panggil Tawan tidak percaya.

“Anjir ya lu Tay, lama banget bukanya.” Protes Jumpol. Lelaki itu tanpa permisi masuk ke dalam kamar Tawan membawa kopernya.

Tawan yang masih kagetpun mengikuti Jumpol dengan kebingungan, “Kok lo ke hotel gua? Katanya mau nginep di condo temen lo yang tinggal disini.” Tanya Tawan.

“Orangnya gak bales chat gua, daripada gua kayak orang goblok nungguin balesan dia di bandara, mending gua langsung ke hotel lu aja.” Jawab Jumpol saat tubuhnya sudah dia rebahkan di tempat tidur.

“Ngapa lo capek amat?” Tanya Tawan penasaran setelah melihat Jumpol yang terlihat sangat jompo.

“Gua sabtu tuh PP Jakarta-Sulawesi. Terus baru sehari di rumah, gua balik lagi ke Jakarta terus kesini.” Cerita Jumpol.

“Lah lu ke Jakarta? Ngapain? Tumben amat. Gak sama Gun?”

Jumpol menegakkan tubuhnya, matanya melihat Tawan yang saat ini sedang fokus dengan ponselnya. Dia lupa, biasanya kalau dia ke Jakarta dia akan memberitahu Tawan karena Jumpol pasti selalu mengunjungi orang tua Tawan.

“Iya kemarin gua ada rapat buat seminar tentang K3 yang diadain sama Monokrom. Harusnya Gunsmile yang dateng, tapi orangnya gabisa jadi gua dah yang wakilin.” Jawab Jumpol berbohong.

“Oh gituuu, pantes biasanya lo mampir ke rumah. Yaudah tidur dah, keliatannya capek banget lo.” Jawab Tawan tidak begitu perduli.

“Oke, lo gak tidur?”

“Nanti, masih telfonan sama mas Thanat.” Jawab Tawan.

Jumpol menatap Tawan dengan pandangan yang sukar untuk dijelaskan. Entah bagaimana dia menjelaskan ke Joss Wayar bahwa kelihatannya hubungan antara Joss dengan Atasannya ini sudah melaju dengan pesat.

“Kenapa?” Tanya Tawan saat merasakan tatapan Jumpol padanya.

“Hubungan lu udah jauh sama Thanat itu?” Tanya Jumpol memberanikan diri.

Tawan memutuskan untuk menonaktifkan suaranya sementara waktu, lagian Thanat sedang rapat disana.

“Jauh dalam artian?” Tanya Tawan balik.

“Udah serius gitu mau sama dia?”

Tawan memasang wajah berpikir, “Gak tau sih? Kalau gua lagi difase jalanin aja yang ada. Akhirnya gimana ya urusan belakangan.” Jawab Tawan dengan yakin.

“Berarti, lu udah nyerah?” Tanya Jumpol.

Tawan mengalihkan pandangannya dari ponsel dan menatap Jumpol.

“Bisa gak ya, gak ngobrolin ini dulu? Sejujurnya gua juga lagi bingung, dan capek.” Jawab Tawan dengan serius.

Jumpol mengangkat tangannya tanda dia tidak akan bertanya lagi, Jumpol memutuskan untuk tidur saja. Urusan Tawan akhirnya bersama siapa biarlah semesta yang menentukan.

Jumpol hanya bisa membantu Joss sebisa yang dia bisa, bagaimana Tawan nanti itu diluar kuasanya.

Namun yang Jumpol tau, untuk saat ini dia mendukung Tawan dengan Joss, karena dia dan Gunsmile lah yang menemani Joss sejak awal berpisah dengan Tawan. Mereka berdualah yang memberikan informasi kepada Joss tentang Tawan. Jadi Jumpol tahu bagaimana perjuangan Joss untuk temannya.

Tidak menutup kemungkinan juga bahwa Thanat melakukan perjuangan yang sama. Jumpol belum pernah bertemu dan mengobrol langsung dengan Thanat, jadi akan terasa tidak adil jika Jumpol menjudge dari satu sisi saja. Jadi untuk saat ini, Jumpol akan diam dan mengikuti alur yang ada.


Ini adalah hari terakhir berlangsungnya konferensi. Arm sudah datang semalam, akhirnya mereka berdua memutuskan untuk menyewa kamar hotel yang lebih besar dengan 2 bed yang terpisah.

Tiga hari ini Tawan benar-benar merasa lelah karena terus-terusan belajar dan juga menerima informasi kesehatan dari berbagai negara. Saat dia menerima informasi dari Indonesia, Tawan meringis kecil.

Kasus TB Paru di Indonesia masih tinggi. Bahkan Malaria juga belum di eliminasi dari Indonesia, khususnya Indonesia bagian Timur. Selain itu di Indonesia terjadi double burden, dimana kasus gizi kurang tinggi dan obesitas juga tinggi.

Tawan memijat kepalanya dengan heran, sudah 6 tahun dari dia meninggalkan Indonesia namun di negeri tercintanya masih kesulitan menekan angka kesakitan.

Padahal sudah banyak program untuk menekan angka stunting yang dijalankan, begitu juga program untuk meningkatkan gizi balita. Setelah ini sepertinya Tawan akan meminta CDC untuk menghubungi Kemenkes dan membuat sebuah kerja sama untuk program volunteer tahunan di kampung halamannya.

Tawan melonggarkan dasinya dengan lesu. Seharusnya kantornya mengirim 2 orang untuk turut serta bersamanya mengikuti konferensi ini, ia pikir konferensi ini hanya konferensi biasa.

Namun ternyata konferensi ini cukup melelahkan, banyak masukan-masukan terhadap bidang kesehatan yang di lontarkan oleh masyarakatnya, bukan hanya dari pemerintahan namun WHO dan CDC di berbagai negara ikut dievaluasi untuk lebih baik.

“Mr. Tawan, do you want me to take you to the hotel?” Tanya Daniel.

“Oh, nope. My friend will pick me up. Thank you for the offer.” Jawab Tawan dengan sopan.

“Alright, thank you for joining us. Enjoy your free time, Mr. Vihokratana.”

“Thank you, Mr. Daniel.” Jawab Tawan dengan senyuman.

Daniel meninggalkan Tawan untuk menyapa yang lain, Tawan menunggu Jumpol dan Arm yang sedang dalam perjalanan.

Suara klakson mobil mengagetkan Tawan. Dia mendengus kecil, teman-teman bodohnya. Setelah sekian tahun tetap saja sering membuatnya kesal bukan main.

“Ayooooo naik cepet gua sama Arm laper. Mampir dulu ya ke mcd.” Ucap Jumpol.

Tawan masuk ke kursi penumpang tanpa banyak protes, jasnya ia buka dan tasnya ia lempar dengan sembarang.

“Mcd mana?” Tanya Tawan setelah menerima uluran kopi dari Arm.

“Di JEM.” Jawab Arm.

“Oh okay.”

“Jum, Arm.” Panggil Tawan.

“Kenapa?”

“Kayaknya gua mau balik ke Indonesia aja deh.” Ucap Tawan tiba-tiba.

Arm yang sedang menatap ponselnya dengan cepat melirik Tawan yang masih meminum kopinya.

“Kenapa tiba-tiba?” Tanya Arm.

“Gak tiba-tiba sih, gua kayak udah pengen balik gitu aja tapi belum punya motivasi. Tadi setelah banyak dapet informasi ternyata sektor kesehatannya masih belum maksimal ya.”

“Terus gua mulai mikir, negara orang gua bantuin, jalan ke sana sini buat identifikasi penyakit oke aja. Tapi negara sendiri, gua belum ngelakuin apa-apa buat negara gua.” Cerita Tawan.

“Ya kalau lu mau balik ya balik aja, lu bisa minta pindah ke CDC Indonesia atau lu daftar di Kemenkes.” Jawab Jumpol.

“Kayaknya sih fix bakal pulang aja deh gua, tapi mungkin masih satu atau 2 tahun lagi. Kayaknya mau nunggu jabatan mas Thanat selesai.” Ucap Tawan lagi.

Kali ini bukan hanya Arm yang memasang wajah terkejut, namun juga Jumpol.

“Mas Thanat?” Tanya Jumpol memastikan.

“Iya, pasti resign-nya barengan nanti. Atau gimana lah gak paham.”

“Kenapa mesti barengan?” Kali ini Arm yang bertanya.

“Kalau nantinya gua jadi sama mas Thanat, gua kayaknya gamau ngikut dia tinggal di US. Mau gak mau dia harus ngikut gua tinggal di Indonesia.” Jelas Tawan dengan santai.

Intonasi biasa yang diberikan Tawan seakan-akan topik ini bukanlah masalah sensitif untuknya malah menambah beban untuk Jumpol.

Kepalanya dengan tiba-tiba merasa sakit, dan pening. Kalau begini terus bisa-bisa Joss akan benar-benar menyerah pada Tawan.

Mungkin banyak orang yang salah mengira persepsi tentang Joss, tentang alasannya yang tidak datang ke Tawan selama 6 tahun ini meskipun dia memiliki finansial yang bahkan lebih dari cukup.

Joss yang sekarang ini, memiliki kepercayaan diri yang rendah. Tattoo yang dibuat Joss diseluruh tubuhnya adalah sebuah tameng untuk menutupi rasa kepercayaan dirinya yang sudah hilang.

Jumpol pernah beberapa kali menemani Joss mentattoo tubuhnya, khususnya tattoo elang di dada dan kata-kata “patience” di lengan atasnya.

Sampai sekarang Jumpol tidak mengetahui alasan Joss begitu merasa insecure, makanya Jumpol dan Gunsmile selama ini bersedia membantu Joss. Karena dengan mendengar informasi Tawan yang menjalani hidupnya dengan baik, cukup membuat Joss Wayar untuk terus melanjutkan hidupnya.

“How about Joss Wayar?” Tanya Arm tanpa basa basi.

Jumpol mengutuk Arm dan keberaniannya. Setelah semalam Tawan menolaknya saat membicarakan Joss, disini Arm dengan gagah berani bertanya tanpa basa basi.

“What do you mean?” Tanya Tawan dengan wajah seriusnya.

“If I'm not mistaken, lo udah nunggu dia selama 6 tahun kan? Setelah denger ucapan lo tadi, lo keliatan udah yakin sama Thanat ini, and now I'm asking you. How about Joss Wayar?” Arm menjelaskannya lebih mendetail dan bertanya ulang.

Tawan terdiam, kehilangan kata untuk menjawab.

“Lo pernah mikir gak? Kalau selama ini Joss Wayar juga masih nunggu lo? Gua gak masalah sih kalau lo emang mau serius sama Thanat ini. But at least banget nih selesaiin dulu sama Joss Wayar. Ketemu dia. Biar sama-sama ngerelain satu sama lain.”

“Mungkin lo mikirnya, kalau lo move on udah gapapa karena udah 6 tahun, but who knows coba? Seenggaknya lo bisa email dia coba mastiin apa ada harapan gak diantara kalian berdua. Kalau gak ada, lo boleh nyusun rencana hidup lo yang baru. Takutnya, lo udah nyusun hidup lo, dia masih jalan di tempat?” Ucap Arm dengan serius.

Jumpol merasa jantungnya berhenti sesaat, sebenarnya Jumpol tidak pernah menceritakan pada siapapun tentang dirinya dan Gunsmile, termasuk pada Gun. Gun hanya tau kalau Jumpol berteman baik dengan Joss, tanpa tahu bahwa selama ini dirinya membantu Joss.

“Gua kok ngerasa gak adil ya buat gua sendiri? Kenapa gua yang harus meluruskan semuanya dimana disini gua yang dikasih janji sama Joss?” Tanya Tawan kebingungan.

“Six years ago, he promised me. Then, now am I the one who needs to approach him first and asked about his promised?”

“Why not? Kenapa lo harus ngerasa gak adil kalau nantinya buat kebaikan lu berdua? Lu lupa kan kalau di suatu hubungan ada yang namanya give and take? Lu gabisa diposisi take and take terus, sesekali lu harus melakukan suatu hal duluan juga. Everything has a reason, so does Joss Wayar.” Kali ini Jumpol menanggapi ucapan Tawan.

“Kenapa pernyataan lo berdua sekarang seakan-akan gak setuju kalau gua lanjutin hidup gua ya?” Tanya Tawan lagi.

“Bagian mananya?” Tanya Jumpol lagi.

*“All sentences.”

“Kenapa lu ketrigger? Berarti semua yang gua omongin bener dong?”

“Ya-”

“Duh we will talk about it later, jangan berantem. Makan dulu gua laper.” Arm memotong pertengkaran yang mungkin akan terjadi saat ini di mobil.

Tawan keluar dari mobil pertama kali membawa jas dan tasnya, “Gua keliling duluan nanti gua susul ke Mcd.”

“Terserah.” Jawab Jumpol pendek.

Arm menghela nafasnya dengan pasrah, setelah bertahun-tahun akhirnya dia merasakan pertengkaran dua orang ini lagi.

“Gak berubah, kalau lagi marah atau sedih selalu ngilang duluan. Kirain udah dewasa.” Ucap Jumpol.

“Udahlah anjir, ayo makan aja.” Ucap Arm.

“Lu duluan ya bangke yang mulai bawa Joss Wayar ke obrolan kita, gua kan jadi nimbrung.” Marah Jumpol.

Arm hanya tertawa dan menarik Jumpol untuk mengikutinya. Mereka memutuskan untuk membiarkan Tawan menikmati waktu sendiriannya, mereka yakin Tawan akan tetap datang ke Mcd nanti.

“Yaudahlah anggap aja gua lagi nyari ribut tadi.” Kekeh Arm.

“Ye tolol.”


Tawan menenteng jas dan tasnya dengan lesu, perkataan Jumpol tadi terus berputar diotaknya. Apa benar selama ini dia hanya menerima tanpa memberikan timbal balik yang sesuai kepada Joss?

Tawan bahkan lupa arah jalan ke Mcd, sudah berapa tahun dia tidak ke JEM. Tawan merutuki kebodohannya sendiri. Dia hanya bisa berjalan tanpa arah saat ini.

Keinginan untuk membeli beberapa baju pun sudah hilang, saat ini dia hanya ingin bertemu dengan Jumpol dan Arm dan mengajak mereka pulang. Dia akan menggulung dirinya ditempat tidur sambil mendengarkan lagu dan berpikir.

Namun dia gengsi untuk meminta Arm dan Jumpol menjemputnya.

Tawan memutuskan untuk berhenti dan memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang. Banyak pasangan, dan juga banyak anak-anak yang bermain bersama teman-temannya. Dulu, dia juga sering melakukan hal yang sama dengan Jumpol dan lainnya, mereka ke Mall hanya untuk makan dan menonton film sisanya mereka akan keliling hingga bosan.

Ponselnya berbunyi, Tawan memutuskan untuk mengabaikannya. Karena mungkin saja Thanat yang menghubunginya karena saat ini pukul 8 di US. Tawan sedang ingin memfokuskan pikirannya pada Joss.

Dia sudah pernah memikirkannya, bagaimana jika memang Joss menunggunya? Namun disisi lain Tawan tidak ingin terlalu percaya diri. Ucapan Arm seakan menamparnya, secara tidak langsung dia memang masih memiliki hubungan yang belum terselesaikan dengan Joss. Terkait janji 6 tahun lalu.

Entah apa yang Tawan rasakan saat ini, semuanya campur aduk. Perihal Joss Wayar dan Thanat Lee yang ada dihidupnya saat ini membuatnya ingin pergi jauh dan menikmati waktunya seorang diri.

Tawan bahkan tidak pernah membayangkan jika memang Joss kembali datang, dia harus melakukan apa? Bagaimana dengan Thanat? Tawan sudah mengizinkan lelaki itu untuk datang ke rumahnya.

Jika Thanat benar-benar datang, bagaimana dengan Joss? Dan belum lagi jika dirinya disuruh memilih.

Siapa yang harus dia pilih? Tawan belum pernah memikirkannya hingga sejauh itu. Dia benar-benar hanya menjalani hidup yang ia dapatkan sekarang.

Ponselnya kembali berbunyi. Tawan menghela nafasnya dengan pasrah dan membuka ponselnya.

Matanya memanas, tubuhnya seakan lemas. Notifikasi yang tidak pernah diterimanya selama ini kembali muncul.

You've Got Mail From Joss Wayar #31

Tangan Tawan dengan gemetar membuka passcode ponselnya. Dia berusaha menahan air matanya yang sudah berkumpul saat ini.

Kenapa dari sekian banyak hari, sekian banyak waktu yang ada, Joss Wayar harus kembali menghubunginya disaat dia sedang mempertanyakan dirinya sendiri?

Tawan membuka email itu dengan perasaan yang tidak bisa ia jabarkan dengan kata-kata. Matanya menatap foto Joss Wayar yang sama dengan foto profil instagramnya.

Hi, How are you?”

“Im not fine.” Bisik Tawan dengan suara yang menahan tangisan.

“Tawan Vihokratana, do you have the answer to my question six years ago?”

Kali ini Tawan kehilangan keseimbangan dirinya, Tawan jatuh terduduk di tengah keramaian. Matanya menatap layar ponselnya dengan penuh air mata.

Jantungnya berdetak dengan menyakitkan, rasanya Tawan tidak perduli dia sedang berada dimana. Dia hanya ingin menangisi hidupnya yang seakan-akan selalu mengajaknya bercanda.

Jawaban yang diminta oleh Joss, dia tidak memilikinya. Dia tidak bisa menjawabnya saat ini. Karena Tawan sadar, bahwa saat ini hatinya bukan hanya ada pada Joss Wayar, namun juga ada pada lelaki yang menemaninya selama 6 tahun ini, Thanat Lowkhunsombat.

Ponsel Tawan kembali berbunyi, saat ini instagramnya notifikasi dari instagramnya.

Joss Wayar tagged you in a story.

Tawan membukanya dengan tangan yang masih gemetar. Dia sudah menangis sedari tadi. Energinya sudah benar-benar terkuras, dia tidak sanggup untuk berdiri dengan tegak lagi.

“What are you doing in there, little Tawan?”

Begitulah isi story Joss Wayar yang dilihatnya. Tawan dengan mata yang buram karena air mata menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri untuk mencari Joss Wayar.

Sampai retinanya menangkap seseorang yang tidak pernsh ditemuinya selama 6 tahun ini dengan hoodie hitam dan beanie hitam berdiri tidak jauh darinya dengan senyuman yang selama ini dirindukannya.

Pertahanan Tawan semakin pecah, dia menangis dengan keras. Ponselnya ia biarkan terjatuh dan dia sibuk menutupi wajahnya yang penuh dengan air mata.

Dia tidak bisa mendefinisikan perasaannya saat ini, rasanya begitu membahagiakan juga menyakitkan untuknya. Dia tidak bisa melihat senyuman Joss yang sirat akan kebahagiaan. Dia tidak bisa.

“Little Tawan...” Panggil Joss.

Jangan. Jangan memanggilnya seperti itu. Rasanya sangat menyakitkan. Tangisan Tawan semakin keras.

“Do you need a hug?” Tanya Joss dengan suara lembutnya.

Tawan tidak bisa menjawabnya. Semuanya terlalu tiba-tiba. Tawan hanya ingin pulang.

Karena tidak juga mendapat jawaban. Joss mendekati Tawan dengan senyuman yang tidak pernah luntur dari wajah tampannya.

Lelaki itu dengan perlahan mengelus rambut Tawan dengan penuh kasih sayang.

“Why you crying so hard, hm? Like you're in pain. Did I made mistake, little Tawan?” Tanya Joss dengan lembut.

Tawan menggeleng dan menangis semakin keras.

“Don't cry. It hurts me.” Ucap Joss dengan suara lembutnya.

Joss memeluk Tawan dengan erat. Membiarkan lelaki itu menangis di lehernya. Membiarkan lelaki itu menumpahkan semua kesedihannya. Sesekali Joss menenangkan Tawan dengan kalimat penuh kata sayang.

“Don't cry. I'm sorry. I love you, Little Tawan.” Bisik Joss.

“Jangan nangis. Nunggunya lama ya? Maaf ya. I'm sorry. Really I am.”

“Maaf ya janjinya ketemu di mcd tapi malah ketemu disini. I'm sorry Little Tawan.”

“Don't cry. Please I beg you. It hurts me to see you crying like you're in pain.”

Tawan tidak menjawab apapun. Dia masih menenangkan dirinya dari tangisan. Wangi tubuh ini. Wangi yang selalu dirindukannya selama 6 tahun belakangan.

Wangi yang dulu membuatnya nyaman. Tangisan Tawan semakin keras, rasanya sangat menyakitkan.

Pelukan yang selama ini dia rindukan, rasanya masih sehangat dulu. Joss masih sehangat dulu. Joss Wayar masih sama seperti 6 tahun lalu. Menyedihkan. Sangat menyedihkan.

Dirinya sangat menyedihkan saat ini, karena rasanya semuanya telah berubah. Dia hanya tidak menyadarinya pad hari-hari yang lalu.

Karena saat ini, Tawan merasa bebannya terangkat. Salah satu bebannya sudah hilang. Perasaan yang dulu Tawan impikan, debaran yang selama ini selalu Tawan tunggu.

Hilang perlahan.

Perasaan itu, telah hilang.