Epilog: You've Got Mail Chapter 3
Joss Wayar Point Of View
Singapore, 2026.
Joss Wayar kembali menghisap rokoknya setelah membaca pesan dari kakak tingkatnya terdahulu, matanya menatap datar gawai ditangannya. Tubuhnya besarnya ia senderkan dengan perlahan.
“Udah 6 tahun ya?” Bisik Joss pada dirinya sendiri.
Lelaki itu menghembuskan asap rokoknya dengan perlahan, menikmati sensasi asap itu melewati paru-parunya. Berkas-berkas bertumpuk dimejanya, belum ada satupun yang ia sentuh.
6 tahun ini dia menjalani hidupnya dengan penuh tekanan, memang sesuatu yang dipaksakan memerlukan banyak pengorbanan bukan?
Banyak hal yang berubah dari lelaki itu, dimulai dari dirinya yang sekarang menjadi perokok aktif, dan juga beberapa tattoo yang tercetak jelas ditubuh indahnya.
Joss juga menjadi lelaki yang tidak sekonyol dulu, 6 tahun benar-benar merubah lelaki ini menjadi sosok pribadi yang baru.
Joss bahkan lupa bagaimana rasanya menikmati waktunya dikala senggang, karena setiap kali dia memiliki waktu kosong, ayahnya akan menyeretnya untuk mengikuti pelatihan, seminar, atau acara apapun itu yang berkaitan dengan bisnis. Joss rasanya muak, namun inilah jalan hidupnya saat ini.
Ponselnya berbunyi dengan nyaring, namun dia membiarkannya. Matanya menatap pemandangan kota Singapore dari condominiumnya.
Sudah 6 bulan dia berada disini, pekerjaannya di Indonesia dia handle dari jauh, karena ayahnya masih aktif bekerja jadi Joss memutuskan untuk tinggal di Singapore, menjauhi ayahnya dan juga mengisolasi dirinya sendiri.
Harus darimana dia memulai kisahnya? Seminggu setelah dirinya putus? Atau saat kelulusan kekasihnya?
Dikepalanya banyak berputar memori tentang Tawan, bagaimana ia tetap memantau Tawan saat lelaki itu menyelesaikan skripsinya.
Joss selalu ada disekitar Tawan, namun lelaki itu memilih untuk menyembunyikan dirinya. Saat kelulusanpun sebenarnya Joss datang, namun dia tidak muncul kehadapan lelaki itu.
Alasannya sangat sederhana, dia melihat Tawan sudah mulai bisa berjalan selangkah demi selangkah maka dia membiarkan lelaki itu untuk melanjutkan jalannya, karena jika dia muncul, Tawan akan berhenti melangkah dan kembali mengejarnya.
Dan hal terpentingnya adalah dia melanjutkan studinya di harvard, dia berada di satu benua dengan Tawan namun Joss memilih untuk tidak mengambil kesempatan apapun, 4 tahun dia fokuskan untuk kuliah sambil membantu ayahnya diperusahaan.
Awal semester nilainya benar-benar hancur, dia tidak bisa memahami apa yang dipelajarinya, perpindahan dari kesehatan menuju bisnis benar-benar membuatnya kewalahan.
Dia bahkan harus mengejar nilai tambahan. Belum lagi ia harus mendengar ayahnya yang terus menyuruhnya untuk mendapat nilai sempurna. Banyak suara dikepalanya yang menyuruhnya untuk berhenti.
Berulang kali dia terjatuh, berulang kali juga dia mendapati dirinya berada di rumah sakit karena masalah pencernaan akibat makan tidak teratur ataupun karena terlalu banyak mengkonsumsi alkohol.
Untuk mencapai pada titik ini, Joss Wayar sudah mengorbankan banyak hal. Bahkan mengorbankan dirinya sendiri. Mungkin jika saat itu dia memilih untuk dia menyerah, orang lain akan mewajarkannya.
Karena keadaannya memang seburuk itu, namun dia tetap berjalan maju. Tidak perduli hari sebelumnya dia terjatuh, Joss tetap akan kembali berjalan maju. Hal itu bukan tanpa alasan.
Alasan yang membuat Joss tetap berada diakal sehatnya adalah kenangan tentang dirinya dan Tawan, bagaimana lelaki itu tersenyum, suara tawanya yang candu, wajah merajuknya, bahkan wajah sedihnya masih diingatnya sampai saat ini.
Joss mungkin kehilangan dirinya dalam proses menuju kedewasaan, tapi satu hal yang bisa ia pastikan, bahwa hatinya tetap sama. Tetap pada lelaki kecilnya yang saat ini sedang terbang bebas di angkasa.
**********
Joss menunggu kopernya, saat ini dia sudah kembali ke Indonesia, untuk mengurus beberapa hal sebelum kembali ke Singapore. Kali ini dia dijemput oleh Luke, ayahnya menawarkan supir namun Joss menolaknya.
“Thank you” ucap Joss setelah petugas bandara mengambilkan koper untuknya. Dia berjalan dengan kacamata hitam yang terpasang di wajah tampannya. Tubuhnya yang tinggi serta wajahnya yang rupawan membuatnya menjadi pusat perhatian di bandara. Namun Joss mengabaikan hal tersebut.
Matanya melirik sekeliling, mencari keberadaan sahabatnya yang katanya sudah sampai sejak 10 menit yang lalu.
Tepukan dipundaknya membuatnya terkejut, dia menoleh dan mendapati Luke tersenyum dengan lebar padanya.
“Sialan.” Joss mendengus kecil dan tersenyum.
“Apa kabar bos besar? Sombong banget lu gak pernah balik.” Ucap Luke dengan semangat.
“Sibuk.” Balas Joss dengan singkat.
Luke hanya tertawa mendengar jawaban pendek Joss, dirinya sudah biasa. Lelaki itu menemani Joss dari SMA hingga saat ini Joss menjadi CMO di perusahaan ayahnya. Dia juga melewati perubahan kepribadian Joss. Awalnya memang terasa aneh, namun dia sekarang sudah biasa saja.
“Starbucks dulu gak? Suntuk banget itu muka.” Ajak Luke.
“Oke.” Terima Joss tanpa pikir panjang.
Dua lelaki itu berjalan bersamaan, percakapan mereka lebih banyak diisi dengan cerita Luke, Joss hanya mendengarkan dan sesekali menanggapi cerita sahabatnya itu.
“Gimana?” Tanya Luke tiba-tiba.
Joss menaikkan alisnya tidak mengerti, “Gimana apa?”
“Bang Tay?”
Joss berhenti sebentar dan melirik Luke dengan wajah terkejutnya. Kenapa tiba-tiba Luke menanyakan Tawan?
“Maksud?”
“Bentar pesen dulu.” Ucap Luke.
Luke dan Joss menyebutkan pesanan mereka, Luke juga memesan beberapa makanan manis untuk Joss, karena menurut lelaki itu Joss butuh tambahan gula agar dia sedikit lebih semangat menjalani harinya.
“Gua aja yang bayar, traktir temen gua yang akhirnya pulang setelah jadi bang toyib.” Sela Luke saat melihat Joss mengeluarkan kartunya.
Luke mengambil beberapa lembar uang dan mengucapkan terima kasih. Mereka berdua memilih untuk duduk di pojok, karena selain terasa lebih privasi Luke juga tidak ingin menjadi pusat perhatian.
Karena sejak tadi dirinya berjalan bersama Joss, mata-mata memandang mereka berdua dengan kekaguman, lebih tepatnya menatap temannya yang bahkan tidak melirik pada orang-orang disekitarnya.
“Jadi gimana?” Tanya Luke setelah menyesap kopinya.
“Gimana maksudnya apaan.” Tanya Joss lagi.
“Ya perkembangannya? Lo kan udah sukses nih, udah 6 tahun juga. Lo ada planning apa buat kesayangan lo itu?”
“Gak ada.” Jawab Joss dengan singkat.
Luke hampir menyemburkan kopinya setelah mendengar jawaban tidak terduga dari Joss.
“Maksud lo gak ada??” Tanya Luke lagi, memastikan dia tidak salah mendengar.
“Ya gak ada.”
Luke mengusap tengkuknya dengan bingung, Joss ini selain kehilangan semangat hidupnya, dia juga kehilangan otaknya?
“Gak ada plan sama sekali? Nyamperin ke Amerika? Nyamperin ke CDC atau chat dia lagi atau email atau apa kek gitu?”
Joss mengangguk mengiyakan dengan pasti. Lelaki itu meminum americanonya dengan tenang, menatap Luke yang memasang wajah terkejut. Memang dia tidak memiliki rencana apapun pada Tawan.
“Kenapa?” Luke bertanya lagi karena masih merasa heran.
“First of all, gua gak pernah bilang kalau gua bakal samperin dia ke Amerika. Kalaupun gua sama dia ketemu, mungkin bukan di Amerika. Kemungkinan gua sama dia ketemu juga kecil banget jadi yaudah.” Jawaban terpanjang Joss setelah semua percakapan yang mereka berdua lakukan.
“Yaudah? Lo pasrah maksudnya? Giving up?!” Tanya Luke semakin tidak mempercayai apa yang dia dengar.
“Gua gak pernah bilang gua nyerah...”
Jawaban polos Joss membuat kepala Luke semakin pusing.
“Oke, let's say you won't give up. Tapi ini udah 6 tahun, berapa lama lagi lo berdua harus main tunggu-tungguan? Kalau gak ada yang ngambil langkah duluan, lo berdua gak bakalan ketemu.” Jelas Luke.
“Awalnya gua bilang kalau waktunya udah tepat bakalan ketemu, tapi kayaknya susah jadi gua mutusin buat bikin waktu gua sendiri.” Balas Joss dengan acuh.
“Maksudnya?????” Tanya Luke semakin tidak mengerti.
“Ya gitu, tunggu aja dah.” Putus Joss.
Luke memijat kepalanya dan menatap Joss dengan pandangan tidak mengertinya, semakin lama lelaki itu semakin tidak bisa ditebak. Salah satu perubahan Joss yang paling dibencinya adalah, hilangnya pancaran jenaka disorot mata Joss.
Luke ingat sekali dulu dia bisa membaca apa yang Joss pikirkan dari sorot mata lelaki itu, namun saat ini sorot mata penuh ekspresi itu hilang digantikan dengan sorot mata penuh kekosongan.
“Have you ever thought of giving up?” Tanya Luke tiba-tiba.
Selama 6 tahun belakangan ini, Joss jarang sekali mengeluh atau bercerita kepadanya secara vokal. Luke kerap kali bertanya namun Joss hanya menjawab bahwa semuanya baik-baik saja.
Joss Wayar tersenyum kecil, “Most of time.” Pikirnya.
“Of course I have thought of giving up, especially in the past 6 years. Many incidents beyond ones control sometimes overwhelm and then I want that it should just end there. There are things beyond my control sometimes that drag me down so much that the suffocation and despair swallows me up.”
“There was a time when I wanted to go back to the time before I knew bang Tay, there was a time when I wanted to go back to being a high school kid who had determined his dreams from the start, kayak semua rasa penyesalan tuh dateng tiba-tiba dan gua gak bisa kontrolnya.” Jawab Joss dengan santai.
“Pokoknya rasanya anjing banget dah.” Lanjut Joss dengan kekehan.
Luke menatap Joss dengan tatapan rasa bersalah, dia tidak tau bahwa temannya mengalami banyak hal sulit. Kesibukannya setelah Joss pindah kampus membuat intensitas chat mereka berkurang.
“Joss, I'm sorry-”
“For what?” Sela Joss tanpa memberikan Luke waktu untuk menyelesaikan ucapannya.
“For not be able to comforting you when you need it the most.” Jawab Luke.
Joss terkekeh kecil dan menepuk pundak temannya dengan keras, “Yaelah, santai aja kali? I'm fine. Buktinya gua bertahan sampe saat ini kan?”
“Lagian berapa banyakpun gua denial, gua bakal tetep jadi CEO nanti wkwk bokap gua bakal pensiun, sebanyak apapun gua gak suka sama dia, dia tetep bokap gua.” Lanjutnya.
“Kenapa sih lo tetep ketawa anjing gua udah berkaca kaca mau nangis. Apalagi si Mild, Kay, sama Mike pas lo baru cabut kerjaannya overthinking mulu. Mikirin lo dapet temen apa engga, ini itu. Gua sama bright udah capek banget ngurusinnya.” Keluh Luke.
Joss semakin tertawa, kisah teman-temannya saat dia pindah selalu menjadi bagian terbaik selama 6 tahun belakangan ini, karena mereka benar-benar seperti pemain opera sabun.
Beruntungnya bagi Joss karena mereka selalu berinteraksi di grup, bahkan sampai sekarang. Jadi ketika Joss sedang lelah, dia suka membaca obrolan mereka yang kebanyakan berisi kebodohan tanpa henti yang dilakukan Mike.
“Thank you.” Ucap Joss dengan senyumnya.
Luke terdiam, “Anjing gua pengen peluk lo nanti dikira homo.”
“Lah kan emang homo?” Jawab Joss dengan kekehan.
Luke melempar Joss dengan roti dan mereka tertawa bersama. Memang banyak hal yang mereka lewati tanpa kehadiran satu sama lain tapi pertemanan mereka tidak berubah sedikitpun.
Joss bersyukur, setidaknya dia masih memiliki teman yang mendukungnya dan selalu ada untuknya sampai saat ini. Karena jika bukan karena mereka, Joss yakin bahwa dirinya sudah menyerah sejak awal.
Joss dan ayahnya duduk dengan tenang di kursi penumpang, lelaki itu tidak berniat membuka pembicaraan dengan ayahnya saat ini.
6 tahun meninggalkan Jakarta membuat Joss menyadari betapa indahnya kota ini sekarang, biasanya sabtu pagi akan ada sedikit kemacetan namun sekarang jalanan Jakarta tidak ada hambatan sama sekali. Infrastrukturnya sangat bagus, mereka berhasil merubah Jakarta menjadi lebih baik.
“Mas, benar ini kompleknya?” Tanya Bayu, selaku supir sang ayah.
“Bener pak, nanti pas udah masuk komplek dipertigaan belok kiri ya pak.” Jawab Joss.
Joss membuka kaca mobilnya dan mengeluarkan tangannya. Matanya dengan teduh menatap jalanan yang biasa ia lalui dulu.
“Pak itu rumahnya yang ada dua mobil di depan ya.” Ucap Joss setelah melihat rumah yang menjadi tujuannya saat ini.
“Dad, udah sampai.” Ucap Joss.
Ayahnya hanya mengangguk sambil memperhatikan rumah-rumah disekitarnya. Perumahan ini bukanlah perumahaan elite seperti tempatnya tinggal, namun kawasannya begitu sejuk dan terasa nyaman. Berbeda dengan tempatnya yang mengedepankan keindakan arsitektur rumah dan kemewahan barang-barang.
Joss keluar dari mobil dan merapikan jasnya. Dia disambut oleh Jumpol dan Gunsmile dan kedua temannya Luke dan Mild yang tersenyum dengan lebar.
“Waduh siapa nih udah gede aja.” Ledek Gunsmile.
Joss terkekeh dan memeluk singkat kedua kakak tingkatnya itu.
“Apa kabar bang? Makin tua aja keliatannya.” Sapa Joss.
“Sialan juga.” Umpat Jumpol.
Luke menepuk pundak Joss, sementara Mild mengomeli Joss karena jasnya terlihat berantakan.
“Siapa sih yang kasih jas ini? Gak bener nih setrikanya.”
“Apa kabar bu...” Sapa Joss.
Mild menatap Joss dengan senyuman manisnya, “Gak usah nanya-nanya kabar gue ya lo dateng-dateng bikin satu kecamatan jantungan semua. Dadakan. Untung gue sama luke bisa.” Omel perempuan itu.
“Joss, udah?” Sebuah suara menginterupsi percakapan mereka. Jumpol dan yang lain sangsung menyalami ayah dari temannya tersebut.
“Udah.” Jawab Joss.
“Yaudah ayo.” Ajak sang ayah.
Joss mengambil nafasnya dengan perlahan, mencoba mengurangi degub jantungnya yang tiba-tiba menggila.
“Gua udah chat adeknya.” Ujar Jumpol memberi tahu.
Joss mengangguk dan mengucapkan terima kasih tanpa suara. Ayahnya berdiri disebelah kirinya sedangkan teman-temannya berdiri dibelakangnya.
Orang yang tadi dibicarakan keluar dengan pakaian yang cukup rapi juga, Joss tersenyum kecil.
“Bang..” Panggil orang itu.
“Oi Sasin, kabar baik?” Tanya Joss setelah lelaki itu membuka gerbang rumahnya dengan lebar.
“Baik bang, lo apa kabar?” Lelaki yang dipanggil Sasin itu bertanya balik.
“Baik.”
Sasin menyapa semua orang dan menyalami ayah Joss. Mereka dipersilahkan masuk karena ayah dan bundanya sudah menunggu sejak tadi.
Joss tersenyum kala melihat perempuan paruh baya yang dulu selalu ditemuinya saat bertamu ke rumah ini.
“Tante, apa kabar?” Tanya Joss dengan lembut.
Perempuan yang dipanggil tante tersenyum lebar dan memeluk Joss dengan tiba-tiba.
“Kabar baik sayang, Joss apa kabar? Makin ganteng aja tante sampe pangling.” Jawab perempuan paruh baya tersebut.
Joss terkekeh dan mengatakan bahwa kabarnya baik-baik saja. Joss menyalami lelaki paruh baya dengan sama hangatnya. Jumpol dan yang lainnya juga melakukan hal yang sama.
“Ayo silahkan duduk, maaf banget rumahnya kecil.” Ajak sang tuan rumah.
“Tidak apa-apa pak, rumahnya nyaman sekali.” Jawab ayah Joss setelah memperhatikan design dari rumah yang di datanginya. Banyak foto kebersamaan dengan anak-anaknya, pemilihan warna netral juga mendukung kenyamanan rumah ini.
Seorang wanita dengan anak kecil yang mengikutinya datang membawa minuman, “Silahkan diminum.”
“Kak mukkkkk” Panggil Gunsmile.
Wanita yang dipanggil Muk tertawa dan menepuk pundak Gunsmile yang masih berdiri disertai senyuman konyolnya.
“Jadi mohon maaf pak sebelumnya, maksud dari kedatangannya untuk apa ya?” Tanya lelaki paruh baya itu.
Joss menegakkan badannya, matanya melirik Jumpol yang berdiri berdiri disampingnya. Lelaki itu mengacungkan ibu jarinya memberi semangat.
“Mohon maaf sebelumnya karena kedatangan kami tiba-tiba. Saya disini datang sebagai orang tua dari Joss Wayar bermaksud untuk menyampaikan niat baik anak saya untuk melamar anak bapak yang bernama Tawan Vihokratana.” Ucap ayah Joss.
Raut terkejut ditunjukkan oleh wanita yang menjadi ibu dari lelaki yang dilamar saat ini. Sedangkan sang ayah hanya tersenyum kecil, sudah mengerti bahwa mereka datang untuk melamar karena mantan kekasih dari anaknya datang bersama sang ayah dan juga teman-temannya yang dikenalnya juga sebagai teman Tawan.
“Jadi Joss mau melamar anak om ya?” Tanya ayah Tawan dengan senyuman diwajah keriputnya.
“Iya om, mohon maaf sekali kalau saya datangnya tiba-tiba karena saya juga baru pulang ke Jakarta.” Ujar Joss dengan yakin.
“Kenapa? Kalau om tidak salah, kalian sudah mengakhiri hubungan 6 tahun lalu?” Tanya ayah Tawan.
Semua orang menatap ayah Tawan dengan pandangan terkejut, begitupula sang bunda, perempuan itu menyenggol sang suami dengan pelan. Memberikan kode bahwa perkataannya mungkin menyakitkan bagi mantan kekasih sang anak.
“Iya om, benar hubungan saya dan Tawan memang berakhir 6 tahun lalu om. Sebelumnya tolong izinkan saya untuk menjelaskan, 6 tahun lalu sebenarnya saya tidak bermaksud untuk putus, namun saat itu kami berdua belum cukup dewasa dan belum cukup kokoh untuk membangun sebuah hubungan jarak jauh.” Jelas Joss.
“Selain itu juga saya sendiri, belum menjadi lelaki yang baik untuk Tawan. Saya tidak percaya dengan kemampuan saya dalam membangun sebuah komitmen, karena hal tersebut saya memutuskan untuk melepaskan Tawan untuk mengejar mimpinya dan saya juga akan melakukan hal yang sama sepertinya.”
“Pada saat berpisah, saya berjanji pada anak om kalau nanti saya dan Tawan diizinkan untuk kembali bertemu dan menjalin kasih, saya akan datang dengan versi terbaik dari diri saya. Untuk mempersiapkan semua hal tersebut saya membutuhkan waktu 6 tahun, untuk membangun pondasi yang kokoh untuk Tawan terbang semakin tinggi, dan untuk membangun sebuah komitmen seumur hidup.”
“Maka dari itu saya datang saat ini tanpa sepengetahuan Tawan, untuk meminta izin melamar anak om dan tante. Saya sudah menepati janji saya untuk menjadi pondasi yang kokoh. Saya sudah memiliki kepercayaan diri.”
“Saya lulus sarjana Administrasi bisnis di Harvard University dan saya juga sudah menyelesaikan gelar magister saya di Institut Européen d'Administration des Affaires (INSEAD) saat ini saya memiliki pekerjaan tetap sebagai Chief Marketing Officer di United Tractors tbk.” Jelas Joss panjang lebar.
“Dan selama 6 tahun ini, tiada hari tanpa saya untuk tidak mencintai Tawan. 6 tahun ini saya mengejar mimpi saya dengan bayangan bahwa suatu hari nanti saya akan bertemu dengannya dengan percaya diri dan menunjukkan padanya bahwa saya berhasil. Bahwa kita berdua berhasil.”
“Karena hal tersebut, saya Joss Wayar Sangngern. Meminta izin kepada om dan tante untuk menjalin komitmen serius dengan anak om dan tante. Saya ingin menjadikan anak om dan tante sebagai rumah saya untuk pulang, saya ingin membahagiakan anak om dan tante dengan cara yang paling indah.” Tegas Joss.
Lelaki itu menundukkan setengah badannya kepada orang tua Tawan, berdoa semoga maksud baiknya dapat diterima dengan baik pula.
Sebuah tangan mengusak rambut Joss dengan penuh kasih sayang, Joss mendongkak untuk melihat siapa yang mengusak rambutnya.
“Tante selalu suka cara kamu mendeskripsikan anak tante. Tante selalu bisa ngerasain sebanyak apa kamu mengagumi anak tante. Untuk 6 tahun lalu dan saat ini terima kasih ya? Terima kasih karena udah jatuh cinta sama Tawan dengan cara paling indah, dengan begitu besar dan begitu mengagumkan. Tante gak bisa balas semua yang kamu korbankan buat anak tante selain memberikan izin buat kamu. Tante percaya sama nak Joss.” Ucap Bunda Tawan dengan senyuman dan mata yang berkaca-kaca.
“You believe in me? Even I was once break your son heart?” Tanya Joss tidak percaya.
“You may break my son's heart but you break it for his future, for his dreams, and now you asked my permission to marry my son. I definitely say yes. You can marry my son. You can be my son in law.” Ujar bunda Joss.
“Thank you. Terima kasih banyak tante.” Bisik Joss penuh kelegaan.
“Bunda. Panggil tante bunda.”
“Terima kasih bunda...” Bisik Joss.
“Ekhem....” Suara ayah Tawan mambuat Joss melihat lelaki paruh baya tersebut. Lelaki itu menatap Joss dengan tajam. Joss sangat gugup.
“You should ask my son first, if he say yes then I can accept you as my son-in-law.” Senyuman lelaki paruh baya itu muncul dengan lebar.
Lelaki itu tertawa melihat wajah Joss yang sangat tegang. Tidak mungkin dia tidak menerima lamaran dari lelaki yang sangat mengagumi anaknya sejak 6 tahun lalu. Sejak 6 tahun lalupun dia memang berharap pada akhir nanti, semoga anaknya berjodoh dengan lelaki ini. Karena sebagai seorang ayah dia bisa melihat lelaki ini tulus mencintai anaknya.
“Terima kasih om....” Ucap Joss dengan suara penuh kelegaan.
“Panggil ayah juga dong.”
“Baik ayah....” Jawab Joss kaku.
Seluruh orang yang berada di ruang tamu tersebut tertawa dengan keras melihat kegugupan Joss.
Ayah Joss dan ayah Tawan mengobrol tentang bisnis dan hal-hal lain seperti ekonomi negara, politik, dan sepak bola. Mereka memiliki opini yang sejalan diberbagai hal. Membuat mereka berdua cepat untuk akrab.
Sementara Joss bermain dengan anak dari kakak perempuan Tawan, nama anaknya adalah Keishi. Anak itu menempel pada Joss dan tidak mau dilepaskan. Joss hanya tertawa dan memeluk Keishi dengan erat.
“Abis ini mau apa?” Jumpol mendatangi Joss yang masih asik bermain dengan Keishi.
“Nunggu di Singapore.” Jawab Joss tanpa melihat Jumpol.
“Okai. Jadi lu langsung balik nih ke Singapore?”
“Iya besok gua balik niatnya.”
“Kapan handle kerjaan dari sini?” Tanya Jumpol penasaran.
“Belum kepikiran.”
“Yaudah best wishes for you dah bro.” Jumpol meninggalkan Joss untuk bergabung dengan Luke, Gunsmile, dan Mild yang asik mengobrol tentang masa kuliah mereka.
Joss menggendong Keishi dan menyusuri dinding yang berisi foto-foto keluarga Vihokratana. Joss tersenyum menyadari foto yang terpanjang 6 tahun lalu banyak mengalami perubahan, semakin banyak dan semakin bervariasi.
Di foto tersebut, ada Tawan yang berfoto di depan gedung CDC. Joss tersenyum kecil dan menatap foto itu dengan penuh rasa bangga.
“Hey, we did it. See you later. Wait for me a little bit more. I hope you still love me like I love you, Tawan Vihokratana. “ Bisik Joss dengan suara lirihnya.
Jauh dilubuk hatinya Joss Wayar sangat paham, bahwa segalanya telah berubah. Perasaan lelaki itu, bukan sepenuhnya lagi miliknya.
Dan jika memang dia harus kehilangan lagi, Joss akan membiarkannya.
He loved Tawan enough to let him leave, and he will love his self enough to let Tawan go.
**********
“Jadi kenapa tiba-tiba mau pulang? Ada yang mau diomomgin?” Tanya lelaki yang Joss sebut sebagai ayah.
“Dad, aku mau lamar seseorang.” Ucap Joss tanpa basa basi.
Lelaki paruh baya itu berhenti membuka dokumen dihadapannya dan menatap lelaki yang bediri dihadapannya. Tidak menyangka bahwa hari ini akan tiba juga.
“Okay?” Jawab lelaki paruh baya itu tidak yakin.
“Just okay?”
“Mau jawab apa lagi?”
“Oke. Hari sabtu dad jam 10 nanti kita kerumah dia.” Joss melangkahkan kakinya keluar dari ruang kerja ayahnya.
“She or he?” Pertanyaan itu membuat Joss berhenti dan melirik ayahnya yang saat ini menatapnya.
“He. His name is Tawan Vihokratana. Dia kerja di CDC Amerika sekarang and he was my senior at Monokrom.” Joss menyudahi percakapan mereka dan berjalan keluar ruangan tanpa melihat ayahnya lagi.
Joss tidak sadar bahwa ayahnya tersenyum kecil.
“You gave up your dream of becoming a public health expert and suddenly agreed to my offer to study business and continue the company early, all for him, right?”
**********