Epilog: You've Got Mail Chapter 2
“Micha gua balik duluan ya” Ucap Tawan setelah seluruh pekerjaannya untuk hari ini selesai.
“Loh gak jadi bareng sama gue sama Evan?” Tanya Michael kebingungan.
“Tay udah selesai?” Sebuah suara menginterupsi percakapan antara Michael dan Tawan.
Tawan hanya melirik Michael dengan mata yang menunjukkan liat kan udah dijemput.
Michael mengangguk paham dan berbisik kecil, “good luck datenya”
Tawan hanya terkekeh dan melambaikan tangannya pada Michael. Dia mendekati Thanat yang sudah berada di depan ruangan mereka. Lelaki itu hari ini memakai kemeja berwarna hitam dengan jas yang sudah disampirkan dipergelangan tangannya.
“Udah ayo, mau kemana jadinya?” Tanya Tawan, tangan lelaki itu menarik jas yang disampirkan sembarang oleh Thanat dan melipatnya dengan rapi.
“Kebiasaan deh mas, ini jasnya dilipet yang rapi kalau udah selesai dipake. Kan bisa dipake buat besok?” Gerutu Tawan.
Thanat tersenyum kecil dan mengacak rambut lelaki yang lebih muda, “Kan ada lo yang bakal rapiin jas gua.”
“Berantakan anjir rambut gua.” Omel Tawan, “Ini jadinya mau kemana eh mas?” Lanjutnya.
“Ruth's Chris Steak House” Jawab Thanat tanpa melihat Tawan, lelaki itu sibuk menyapa para pekerja yang melewatinya dan Tawan. Thanat memang dikenal sebagai atasan yang suka bergaul dengan bawahannya maka tidak asing melihat dirinya disapa oleh semua pekerja dengan santai.
“Wih steak, akhirnya bisa makan steak.” Ledek Tawan dengan kekehan kecil.
Thanat kembali mengusak rambut Tawan dengan gemas, “Kayak gak pernah makan steak aja woy, gaji lo berapa digit udah.”
“Gak usah ngomongin gaji deh, gua tau mas gaji lo kalau dirupiahin nolnya udah gak terhingga. Apalah gua nolnya masih dikit.” Keluh Tawan.
“Sembarangan, mana ada nolnya tak terhingga. Ngaco.” Thanat tertawa dengan keras. Tawan memang sangat menggemaskan apalagi kalau sudah membahas tentang jabatan dan gaji, lelaki itu selalu meledeknya sebagai milyarder asal yogyakarta.
“Bawa mobil yang mana mas?” Tanta Tawan penasaran.
“Kayak gua punya banyak mobil aja, bawa yang biasa si toto.”
Tawan memutar bola matanya masalahnya tuh mobil “biasanya” Thanat itu luar biasa.
“Iya dah deputy director mah beda ya Ferarri roma seharga $225,000 mah biasa ya mas, bukan apa-apa.” Sindir Tawan.
“Nanti juga uangnya buat lo semua Tay” Jawab Thanat pelan.
“Hah apa mas? Maaf tadi gak kedengeran?” Tanya Tawan penasaran karena tadi saat Thanat membalas ucapannya dia sedang tidak fokus mendengarkan lelaki itu karena membalas pesan dari Michael yang nitip cemilan saat pulang nanti.
“Gapapa, ayo masuk laper nih gua.” Ajak Thanat.
“Mas buka jendelanya ya.” Pinta Tawan.
Thanat mengangguk dan membuka jendela mobilnya. Tawan tersenyum lebar dan mengacungkan jempolnya pada Thanat.
“Gila udah lama banget gak keliling Atlanta dengan tujuan buat jalan-jalan.” Keluh Tawan.
“Bener, akhir-akhir ini banyak banget kasus kesehatan di US makanya CDC lagi sibuk-sibuknya. Mau cuti tiga hari aja di acceptnya susah banget.” Thanat ikut mengeluh.
Tawan tertawa, dia ingat betul saat Thanat marah-marah karena permintaan cutinya selama tiga hari saat dia ingin menghabiskan waktu bersama teman-temannya di LA ditolak karena kantor yang sedang sibuk.
Setelah kejadian penolakan tersebut Thanat benar-benar menyelesaikan pekerjaannya secepat kilat, bahkan dikantor wajah tampan Thanat yang biasa dipenuhi senyuman hanya berekspresi datar membuat siapapun segan untuk menyapanya, tak terkecuali Tawan.
“Tahun ini gak bisa pulang gak sih mas? Kayaknya gak bisa deh. Apa gua bawa mama papa sama yang lain kesini ya?” Ujar Tawan.
Tawan sih ingin sekali membawa mama papanya untuk berlibur kesini, karena terakhir mereka kesini tiga tahun yang lalu, setelah itu mereka menolak karena katanya terlalu buang-buang uang membawa mereka semua ke US padahal Tawan tidak pernah mempermasalahkan tentang uang, toh selama ini dia juga memang menyimpan uangnya buat orang tua, kakak, dan adiknya.
“Bisa, mas udah request cuti akhir tahun nanti selama 2 minggu.” Jawab Thanat.
“Loh serius? Gua juga?” Tanya Tawan dengan mata berbinar.
“Iya anak kecil.” Kekeh Thanat mengusak rambut Tawan dengan gemas.
“Mas sorry banget ya gua udah dewasa udah mau 27 tahun, dasar om-om.” Keluh Tawan.
“Om-om dari mana? Gua baru 34 tahun Tay.” Protes Thanat.
“35 tahun.” Koreksi Tawan
“Terserah.” Pasrah Thanat.
Tawan hanya tertawa dan kembali melanjutkan agenda meledeki Thanat karena lelaki itu selalu memiliki celah untuk Tawan jadikan bahan ledekkan. Lelaki berusia 35 tahun itu juga tidak pernah marah atau tersinggung, Tawan pernah bertanya langsung karena dia takut candaannya terlalu berlebihan.
Namun Thanat hanya tertawa dan menyetil dahinya dengan keras saat itu, katanya dia sudah lama tidak diledeki oleh orang lain jadi dia menikmati semua celotehan dan ledekkan yang Tawan berikan padanya.
“Kalau lagi jalan gini selalu inget Jakarta yang setiap harinya gak pernah gak macet, mau dinner jam 7 sampenya malah jam 8 malem. Jalanan Jakarta gak ada rasa kasihannya sama gua dulu.” Cerita Tawan.
“Pas masih kuliah ya?” Tanya Thanat.
Tawan mengangguk dengan semangat, “Iya pas jaman kuliah di Monokrom mas.”
“Ayo ceritain masa kuliah dong Tay, mau denger.” Pinta Thanat dengan senyumannya, lelaki itu melirik sekilas Tawan yang masih sibuk memperhatikan jalanan yang mereka lewati.
Senyum Tawan luntur mendengar permintaan Thanat, entah kenapa saat membahas masa kuliah semua kenangannya dengan Joss selalu teringat paling pertama. Padahal mereka menghabiskan waktu bersama hanya satu bulan, tapi rasanya seperti menghabiskan waktu bersama selama bertahun-tahun.
“Dulu gua gak bisa nyetir mobil, sampe sekarang sih. Dulu pas sebelum ambil peminatan gua selalu nebeng sama temen-temen gua mas, yang sering gua ceritain itu si off dan lainnya. Kayak hampir setiap hari mereka samper gua di rumah, soalnya kan kelasnya selalu sama kalau di monokrom gak pernah ganti.”
Thanat mengangguk mengerti, awalnya dia heran kok ada anak Jakarta yang gak bisa menyetir kendaraan ternyata emang Tawan sendiri yang malas untuk belajar bawa kendaraan.
“Terus pas peminatan tuh karena gua cuma ada barengan sama Gun jadi kebanyakan gua naik gojek sih mas. Mau naik gocar saat itu tapi takutnya pas sampe dosennya udah selesai ngajar” Canda Tawan.
“Terus pas akhir-akhir semester gua punya yang nganter jemput terus-terusan.” Senyum Tawan meluntur saat membicarakannya.
“Pacar?” Tanya Thanat penasaran.
Tawan menoleh ke arah Thanat dan memberikan anggukan dan senyuman kecil.
“Kirain anak kecil ini belum pernah pacaran” Ledek Thanat mengusak rambut Tawan dengan kekehan yang jelas.
“Sembarangan!!! Pernah lah masa gak pernah, tapi masih kalah sih sama mas Thanat yang suka disamperin orang nangis minta balikan.” Jawab Tawan memainkan intonasi bicaranya sebagai upaya meledek lelaki yang lebih tua.
Thanat tertawa keras mengingat awal-awal dia dekat dengan Tawan saat itu ada lelaki yang menjadi mantan kekasihnya mendatanginya dengan menangis meminta maaf dan ingin balikan dengannya. Saat itu Thanat sangat kaget begitu juga dengan Tawan.
Namun setelah kejadian itu Tawan menjadikannya sebagai bahan untuk meledeknya karena memang sangat lucu. Bayangkan mereka berdua sedang makan di burger king lalu ada lelaki yang mendatangi sambil menangis.
Saat itu Thanat dan Tawan menjadi pusat perhatian. Bahkan Thanat harus meninggalkan Tawan sendirian karena mantannya tidak berhenti menangis.
“Udah dong jangan diinget lagi, lucu banget emang itu. Si Richard juga kalau diingetin sekarang malu deh kayaknya.” Ujar Thanat disela tawanya.
Tawan mencoba menghentikan tawanya, dia mengambil nafas perlahan dengan wajah yang memerah karena terlalu banyak tertawa.
“Tapi asli mas itu pengalaman pertama gua, soalnya mantan gua gak ada yang begitu. Pisahnya miris mulu.” Curcol Tawan.
Thanat tersenyum kecil dan mengusap pundak Tawan dengan tangan kanannya, “Ayo lanjutin ceritanya.” Ujar Thanat.
“Oh tadi sampe mana? Anter menganter ya?” Tanya Tawan yang dibalas anggukkan Thanat.
“Iyaaa dulu tuh gua sampe ditemenin pas ambil data skripsi tau mas. Dulu kan skripsi gua tentang psk, terus pas gua datengin salah satu rumah psk dia ikut bantuin ambil data. Nemenin sampe selesai juga mas.” Cerita Tawan.
Thanat mendengarkannya dengan seksama, dari intonasi yang Tawan gunakan sudah menggambarkan betapa dulu Tawan sangat menyayangi mantan pacarnya.
“Waktu itu bahkan dia bantuin gua ngerjain bab 2 sama bab 3 tau mas. Jadi gua yang parafrase dia yang ngetik sama masukin daftar pustaka. Gila dulu bucin banget ya dia, gua juga sih.” Kekeh Tawan, matanya menatap jalanan dengan tatapan hangatnya.
“Terus putus kenapa? Kalau boleh gua tau. Kalau gak mau cerita gak papa sih.” Ucap Thanat dengan hati-hati.
Tawan kembali menatap Thanat dengan senyuman kecil yang terpasang diwajah tampannya, “Karena sama-sama mengejar mimpi.”
Thanat terdiam mendengar ucapan Tawan, “Susah ya?” Tanya Thanat dengan suara menenangkannya.
Gantian kali ini Tawan yang terdiam, sudah lama rasanya tidak ada yang berbicara dengan intonasi menenangkannya. Seperti dipeluk oleh sebuah suara, merangkulnya untuk menumpahkan seluruh beban yang dipangkunya selama ini.
“I don't even remember what it's like to not feel broken.” Bisik Tawan.
“He was the first one to show me what it's like to open up and be dependent to someone else, he showed me that it is better to feel, and good to grow memories with people. He said not every person is going to hurt me and leave me behind.”
“And now those memories are going to be something I hold on to for the rest of my life because saying goodbye to him was one of the hardest things I have ever done.” Tawan mengalihkan pandangannya dari Thanat yang saat ini menatapnya.
“I'm sorry you went through that. But now I can say that all is well, Tawan. Things don't happen for no reason, they happen to teach you something.” Ucap Thanat dengan yakin.
“When you feel you want to give up just remind yourself of the dream you want to pursue, of humans you have yet to meet, of place you have yet to see. No matter what, just continue to remind yourself that you are going to make it, that you are going to heal, that above all else- you are going to survive.” Bisik Thanat.
Lelaki itu mengelus pucuk kepala Tawan sekali, memberikan seluruh kasih sayangnya untuk lelaki yang lebih muda. Thanat kembali fokus pada jalanan didepannya, membiarkan Tawan tenggelam dalam semua pikirannya. Lelaki itu mungkin memang butuh waktu untuk sendirian.
Mobil Thanat dengan sempurna terparkir di depan restaurant yang mereka tuju. Waktu menunjukkan pukul 6.30 PM. Baik Tawan maupun Thanat sudah merasakan lapar karena pekerjaan mereka hari ini cukup banyak.
“Ayo masuk?” Ajak Thanat.
Tawan mengangguk dan berjalan beriringan dengan Thanat masuk ke dalam restaurant.
Ruth's Chris Steak House memang cukup terkenal karena rasa steaknya yang diatas rata-rata. Tawan pernah sekali kesini saat itu dan menurut Tawan memang juara rasa steaknya.
Mereka disambut dengan pelayan lelaki dengan wajah yang Tawan akui rupawan, Tawan membiarkan Thanat yang berbincang dengan sang pelayan sementara dirinya memperhatikan keadaan sekitar. Restaurantnya cukup ramai tapi tidak sampai membuat sesak.
“Waiting list?” Tanya Tawan saat Thanat belum juga selesai berbincang.
“Engga, lagi minta spot bagus yang deket jendela kebetulan orangnya baru selesai jadi lagi diberesin dulu gapapa kan?” Tanya Thanat.
“Iya gapapa.” Jawab Tawan.
Pelayan tersebut mempersilahkan Thanat dan Tawan untuk mengikutinya. Tawan yang tiba-tiba merasa gugup menarik ujung kemeja Thanat, namun lelaki yang lebih tua itu tidak menyadarinya.
“Silahkan duduk, sir.” Ujar pelayan tersebut. Thanat tersenyum dan mulai duduk begitu juga dengan Tawan.
“Biasa makan di burger king jadi kagok deh.” Keluh Tawan.
Thanat hanya tertawa mendengar keluhan Tawan, dirinya sudah biasa karena memang biasanya jika ada rapat dengan deputy lainnya mereka akan memilih tempat di luar kantor, mencari suasana baru juga.
Pelayan kembali datang menyerahkan buku menu, Tawan dan Thanat fokus membaca menu yang tertera dihadapan mereka.
“Appetizersnya stuffed mushrooms, Tay?” Thanat membuka suara pertama kali menyebutkan pesanannya.
“Veal osso buco ravioli.”
“For main course I want T-bone with mashed potato and cremini mushrooms.” Ujar Thanat lagi.
“For me, new york strip with mashed potato and grilled asparagus. For dessert i would like to have haagen-dazs ice cream with chocolate flavor.” Ucap Tawan.
“Ah dessert...” Ungkap Thanat berbisik, “For dessert I want chocolate sin cake and give us red wine. Thank you.” Lanjut Thanat.
Pelayannya mengucapkan terima kasih dan meninggalkan mereka berdua. Tawan sibuk memandangi jalanan kota Atlanta yang terlihat dari jendela yang berada disampingnya. Memilih spot disini memang pilihan terbaik. Rasanya bebannya menghilang sedikit.
Jujur saja ucapan Thanat tadi sedikit banyak mempengaruhinya. Selama ini teman-temannya memang menyemangatinya namun mereka jarang sekali mengungkit tentang Joss, mungkin mereka memang menghindarinya karena takut dirinya sedih.
Namun apa yang Thanat tadi ucapkan langsung pada intinya membuatnya menyadari bahwa dia berhasil survive selama ini, membuatnya kembali mempertanyakan apakah semuanya akan selalu baik-baik saja bahkan ketika dia tidak akan kembali bersama lelaki itu?
“Mikirin apa sih? Alisnya sampe nukik gitu.” Tanya Thanat tiba-tiba.
Tawan terkejut karena jari-jari lelaki itu berada alisnya, memainkan alisnya dengan serius.
“Jangan mikir berat-berat, nanti makin laper repot.” Ucap Thanat santai. Lelaki itu menarik jarinya dari wajah Tawan dan terkekeh kecil karena melihat ekspresi Tawan yang terkejut.
“Bikin kaget aja.” Protes Tawan.
“Hahaha iya maaf lagian serius banget sampe alisnya menukik nukik gitu.” Balas Thanat.
“Cuma mikir dikit tadi yang mas omongin.” Jujur Tawan. Lelaki itu memang selalu vokal pada Thanat karena memang Thanat merupakan seorang pendengar yang baik.
Selain itu Tawan belajar banyak dari masa lalu, ketika dia banyak menyimpan semuanya sendirian dan akhirnya malah memiliki dampak buruk untuk dirinya, jadi sebisa mungkin dia akan vokal pada apapun yang dipikirannya.
“Apa yang dipikirin, hm?” Tanya Thanat dengan lembut. Lelaki yang lebih tua itu menatap Tawan dengan pandangan teduhnya.
“Am I really gonna be okay?” Tanya Tawan menatap Thanat tepat dimata.
“You're gonna be okay Tawan. Even if you're not. It's still okay.” Jawab Thanat dengan pasti.
“Was it hard?” Tanya Tawan.
“Apa?” Tanya Thanat tidak paham.
“Letting go and move on?” Tanya Tawan.
Thanat tersenyum kecil, dia sudah mengiranya sejak Tawan menceritakan tentang lelaki terakhir yang menjadi mantan kekasihnya. Cara penyampaian Tawan yang begitu penuh akan pemujaan membuatnya menyadari bahwa lelaki ini masih terjebak dalam masa lalu yang membelenggunya.
“Not as hard as holding on to something that wasn't real.”
Something that wasn't real Tawan mengulangnya dalam hati. Apakah janji yang dibuatnya dengan Joss merupakan suatu hal yang tidak nyata?
He promise me that we will meet again but it's already six years and there's no sign for us to meet.
Bagaimana jika selama ini hanya dirinya yang menunggu lelaki itu? Bagaimana jika selama ini dia menunggu sendirian?
“At some point, you just have to let go and move on. It might be the hardest thing in the world to do, but you have to summon all of the strength you possibly can to finally let go.” Lanjut Thanat.
“He promised me we will meet again in better circumtances.” Lirih Tawan.
Thanat mengelus rambut lelaki dihadapannya dengan penuh kasih sayang, “Listen anak kecil, not everything is supposed to become something beautiful and long-lasting.”
“Sometimes people come into your life to show you what is right and what is wrong, to show you who you can be, to teach you to love yourself, to make you feel better for a little while, or to just be someone to walk with at night and spill your life too.”
“Not everyone is going to stay forever, and we still have to keep going on and thank them for what they've given us.” Tandas Thanat.
“Jadi gua harus move on ya mas?” Tanya Tawan.
“Gua gak bilang gitu, tapi coba tanya lagi sama diri lo sendiri Tay. Mau sampe kapan nunggu? Kalau gua gak salah hitung udah hampir 5 tahunan kan? itu terserah lo mau gimana kedepannya Tay, just remember that you are the only one in charge of your life.” Ujar Thanat.
Sebelum Tawan sempat menjawab, pelayan datang mengantarkan pesanan mereka.
“Later, we will talk about it later ya?” Ucap Thanat.
Thanat berterima kasih pada pelayan dihadapannya, lelaki ity kembali duduk dan menatap Tawan yang terpaku pada makanan di depannya.
“Selamat makan.” Ucap Thanat.
“Selamat makan...”
Thanat makan dengan hening, sesekali memerhatikan Tawan yang makan dengan cukup lahap. Lelaki yang lebih muda itu sangat menggemaskan. Matanya masih memperlihatkan banyak kebingungan namun mulutnya tidak berhenti mengunyah makanan dihadapannya.
Thanat memotong steaknya dan menyerahkan garpunya di depan mulut Tawan, Tawan melirik Thanat dengan penuh tanda tanya.
“Cobain t-bonenya, enak banget.” Ujar Thanat sambil menyodorkan garpunya.
Tawan yang masih kebingungan hanya mengikuti perintah Thanat untuk membuka mulutnya dan menerima suapan steak milik Thanat. Tawan menguyahnya dengan perlahan dan matanya sontak membulat terkejut.
“Enak bangetttttt!!” Tawan berucap dengan semangat.
“Iyakan enak? Enakan mana sama punya lo?” Tanya Thanat.
Tawan terlihat berpikir namun tidak kunjung memberikan jawaban atas pertanyaan Thanat, lelaki itu malah memotong steaknya dan menyerahkannya pada Thanat seperti yang Thanat lakukan padanya.
“Cobain sendiri mas, gua agak payah dalam mendeskripsikan rasa.” Kekeh Tawan.
Thanat tersenyum sangat lebar dan menerima suapan dari Tawan dengan suka cita. Siapapun yang melihat Thanat dapat memberikan kesan bahwa lelaki itu sangat memuja lelaki yang duduk didepannya.
“Enak dua-duanya lah.” Ujar Thanat setelah menelan suapan yang diberikan Tawan.
Tawan dan Thanat melirik satu sama lain dan terkekeh bersama, menertawai kekonyolan mereka saat ini.
Entah apa yang semesta lakukan pada Tawan tapi untuk saat ini Tawan merasakan hatinya menghangat, rasanya familiar. Sangat familiar, Tawan pernah merasakannya enam tahun yang lalu. Perasaan hangat yang dirasakannya secara tiba-tiba namun dapat membuat hidupnya jungkir balik dalam sekian detik.
Jujur saja, Tawan sangat merasa ketakutan saat ini. Tawan takut, bahwa dia sudah terbiasa tanpa Joss dan hatinya mulai membuka celah untuk orang baru tanpa ia bisa cegah.
Thanat dan Tawan memutuskan untuk mengelilingi Atlanta sebelum pulang. Perut mereka sudah penuh dengan makanan bercita rasa tinggi. Thanat kembali membuka jendela mobilnya, membiarkan Tawan untuk merasakan indahnya jalanan dimalam hari.
“This is one of my best night ever.” Ucap Thanat tiba-tiba.
Tawan menoleh sebentar dan tersenyum kecil, “I guess, is it because of me right?” Jawabnya dengan percaya diri.
“Bener.” Jawab Thanat tanpa banyak mengelak.
Tawan terkekeh kecil dan kembali memperhatikan jalanan malam Atlanta. Tangannya dia keluarkan sedikit untuk merasakan angin malam. Rasanya menyenjukkan.
“So, how do you feel?”
Tawan kembali memfokuskan padangannya pada Thanat, lelaki itu menyenderkan tubuhnya dengan perlahan.
“I don't know...” Jujur Tawan.
Thanat mengangguk mengerti, “Describe him.” Pinta Thanat.
“Tiba-tiba banget?” Tanya Tawan terkejut. Thanat hanya menaikkan alisnya dengan sengaja, Tawan mendengus geli.
“He had warm hugs, and he had beautiful eyes. The kind you could get lost in and I guess I did.” Kekeh Tawan. Sebenarnya banyak sekali yang ingin dia deskripsikan dari sosok Joss namun kata-kata itu tertahan diujung lidahnya.
“Want to try one?” Tanya Thanat.
“Apa?” Balas Thanat kebingungan.
“Warm hug.”
“Hah?”
Thanat dengan tiba-tiba menyalakan lampu sen kiri dan memberhentikan mobilnya secara tiba-tiba.
Lelaki itu membuka seatbelt yang melingkari tubuhnya dan membuka lengannya dengan lebar. Lengannya merengkuh Tawan dalam sebuah pelukan erat.
Tawan yang menerima pelukan secara tiba-tiba tidak bisa berkutik karena terlalu terkejut. Sebuah pelukan hangat tiba-tiba melingkupi tubuhnya.
Thanat menepuk-nepuk punggung Tawan dengan lembut, memberikan ketenangan bagi lelaki yang lebih muda. Menyalurkan seluruh kasih sayangnya pada lelaki itu, seakan mengingatkan bahwa Thanat akan selalu berada disisinya.
“How about my hug? Is it warm?” Tanya Thanat berbisik.
“It's warm.” Lirih Tawan. Tawan memeluk kembali Thanat dengan seluruh tenaga yang tersisa.
Pelukan ini rasanya sangat mirip. Seperti pelukan yang Joss berikan padanya enam tahun lalu, pelukan yang selalu dia butuhkan saat dirinya sedang terjatuh. Pelukan yang lelaki itu berikan untuk menyalurkan kasih sayang yang dimiliki.
Tawan semakin mengeratkan pelukan mereka, mencari kehangatan yang sudah tidak dia rasakan selama enam tahun ini. Tawan merindukannya. Namun saat ini Tawan bertanya-tanya, apa yang dirindukannya?
Dia merindukan eksistensi Joss, ataukah dia hanya merindukan memori lamanya?
“Wanna hear a story?” Tanya Thanat disela pelukan mereka.
“Apa...”
“I fell in love with someone. Orang ini orang hebat, mau belajar, mau coba hal baru tanpa takut, bahkan ketika orang-orang bilang dia terlalu bekerja keras dia gak pernah perduli dan malah semakin maju.” Jujur Thanat.
“Hah?”
“I fell in love with his courage, his sincerity, and his flaming self-respect and it's these things I'd believe in even if the whole world indulged in wild suspicions that he wasn't all that he should be. But of course the real reason is that I love him and that's the beginning and the end of everything.” Jelas Thanat.
“And he's with me. Right now. In my arms.”
Tawan membeku. Lengannya dengan refleks melepaskan pelukan mereka. Tawan menatap Thanat dengan tidak percaya. Benar, orang-orang itu benar bahwa Thanat memiliki perasaan untuknya.
“Kenapa?” Lirih Tawan.
“I don't know. I love you for absolutely no reason at all. I just love you and that is all. Sometimes love doesn't need to have special reason. It just exist.”
“Dari kapan mas?” Tanya Tawan lagi.
Thanat terkekeh dengan cara yang paling indah, “Aduh gak tau sejak kapan, lupa. Tiba-tiba udah banyak kupu-kupu aja diperut. Kirain mah karena kelamaan sendiri, tapi kok adanya cuma pas deket lo aja.” Lanjutnya.
Tawan masih terdiam. Matanya meninggalkan tatapan Thanat yang masih menguncinya. Dia menunduk, merasa terbebani dengan pernyataan yang baru saja Thanat berikan.
Thanat menangkup wajah Tawan dengan hati-hati, lelaki itu tersenyum kecil melihat ekspresi wajah Tawan yang penuh tekanan.
Ekspresinya seperti saat lelaki itu diberikan tugas untuk mencari faktor penyebab dari outbreak yang terjadi namun orang-orang yang diwawancarai tidak mau memberikan informasi apapun.
“Kenapa sih ekspresinya kayak dikasih tugas buat ngelakuin penelitian kohort?” Ledek Thanat.
“Susahan kohort.” Protes Tawan.
“Yaudah nanti gua request ke Karen kalau lo disuruh penelitian kohort aja.” Ucap Thanat jahil.
“Males banget?????”
“Bercandaaa.” Kekeh Thanat. Lelaki itu merapikan rambut Tawan yang berantakan. Senyumannya tidak pernah luntur dari wajah tampannya. Dia senang karena ekspresi Tawan sudah tidak sekaku tadi.
“Mas.... Soal yang tadi-”
“Kenapa sih buru-buru? Gua gak minta jawaban kok. Cuma mau kasih tau aja. Mau memperjelas maksud gua deketin lo selama ini.” Jelas Thanat.
“Lagi emang tampang gua itu tampang orang yang nyari pacar ya?” Tanya Thanat.
Tawan kebingungan sekali lagi, namun dia mau tidak mau mengangguk mengiyakan. Memangnya apa lagi kalau bukan pacar?
Thanat kembali terkekeh, “Ya engga lah. Gua ini nyari pasangan hidup tau?”
“Nanti pas pulang ke Indonesia, boleh ya gua mampir ke rumah lo? Mau silaturahmi sama orang tua lo.” Lanjut Thanat tanpa memberikan Tawan waktu itu mencerna ucapan lelaki itu.
“Until the time I meet your parents, let me love you differently. Like the shores make love to seas. Relentlessly, never ceasing. In way eyes have never seen.” Thanat berucap menatap Tawan dengan penuh pemujaan. Lelaki itu tersenyum kecil melihat wajah kebingungan Tawan.
“Tay, Let me take you to places, places you've never been. Let me unzip feelings, feeling you've never knew exist. Let me start a fire within with the sparks with my kisses. Let me break down those walls, let me burn those bridges, and let me give you a love only me can give.”