You've Got Mail: Chapter 8

Tawan merapikan barangnya dengan terburu, sesekali meringis karena bokongnya yang terasa sangat nyeri. Kakinya juga seakan mati rasa. Gun memberitahukan sekitar 10 menit lagi mereka akan sampai di rumah Joss.

Ponsel Tawan terus berbunyi notifikasi pesan masuk, Tawan merasa bingung dan stress. Semuanya begitu tiba-tiba. Dia tidak mempersiapkan dirinya.

Beruntung kamar Joss berada di lantai bawah, Tawan tidak perlu berusah payah untuk turun dari tangga dengan keadaan tubuh yang seperti ini.

Tawan mengambil ponselnya, dan melihat nama Joss Wayar di notification bar.

“Anjing.” Bisiknya frustasi.

Tawan memakai tasnya dan mulai berjalan keluar dengan perlahan.

“Siapa?” Sebuah suara mengagetkan Tawan yang berjalan dengan ringisan kesakitan yang jelas.

“Adeknya Joss ya?” Sapa Tawan dengan gugup.

“Oh, pacarnya bang Joss? Kenalin gua Warot. Adeknya bang Joss. Lu mau kemana bang?”

“Tay Tawan. Mau balik nih tiba-tiba ada urusan keluarga.” Ucap Tawan berbohong.

“Oh bang Jossnya udah dateng?”

“Lagi di kampus. Gua dijemput temen.”

“Oh oke oke, gua naik dulu ya bang. Take care.” Ucap Warot mengakhiri percakapan.

Lelaki dengan tinggi hampir setara Joss itu tidak menanyakan lebih lanjut kepada Tawan, tidak juga menyinggung kenapa Tawan berjalan seperti pinguin. Tawan mengangguk dan mengucapkan terima kasih dengan berbisik.

Ponsel tawan kembali berbunyi, kali ini nama Gun Atthaphan lah yang muncul di layarnya.

“Halo?” Sapa Tawan dengan suara lelahnya.

“Te dimana?”

“Di dalem rumah, masuk dong Gun please. Gua di ruang tamu nih.”

“Oke bentar gua sama papii masuk dulu.”

Panggilan telfon terputus. Tawan rasanya sangat lelah. Badan dan pikirannya sangat lelah.

“Te?” Panggil Gun saat melihat temannya hanya berdiri di tengah-tengah ruang tamu dengan tas yang menggantung di punggungnya.

Jumpol langsung mendekati Tawan, “You okay?”

“No.”

“Sakit apanya?” Tanya Jumpol to the point.

“Pantat gua sakit anjing gabisa jalan.” Bisik Tawan dengan memelas.

“Anjing.” Umpat Gun dan Jumpol setelah memahami hal yang terjadi.

“Lu bilang lu ngga ngewe monyetttt.” Omel Jumpol.

“Malu lah geblek.” Protes Tawan.

Gun hanya bisa merotasi bola matanya dan menarik tas Tawan dengan bar-bar. “Papii, bopong si Te. Aku duluan ke mobil.”

Jumpol merangkul Tawan dengan hati-hati.

“Udah boleh nanya belum?” Ucap Jumpol tiba-tiba.

Tawan terdiam dan menggelengkan kepalanya dengan lesu. Jumpol mengangguk dan tidak bertanya lebih lanjut.

Apapun yang Tawan lakukan, Jumpol pikir lelaki itu sudah tau konsekuensinya.

Tawan itu memiliki sisi yang tidak bisa diprediksi siapapun, bahkan teman-temannya pernah kehilangan komunikasi dengan Tawan saat lelaki itu terkejut bahwa mata kuliah yang dia pikir dia sangat menguasainya malah mendapat nilai B.

Menghilang untuk sementara waktu pada masalah memanglah coping mechanism Tawan, maka Jumpol tidak heran. Yang Jumpol ingin tau, kenapa dia harus menghilang dari Joss kalau yang didapat adalah berita bahagia?

Mimpi Tawan tinggal selangkah lagi, sejak awal Jumpol sudah yakin bahwa lelaki itu cepat atau lambat akan menerima surat penerimaan untuk volunteer dari organisasi kesehatan yang Tawan banggakan.

Jumpol membukakan pintu penumpang dan membiarkan Tawan untuk masuk.

Jumpol menutup gerbang dan masuk ke kursi pengemudi. Mereka berkendara dengan keadaan yang hening. Baik Jumpol ataupun Gun tidak bertanya lebih lanjut, mereka membiarkan Tawan berpikir.

Tawan menekuk kakinya dan meletakkan kepalanya di atas tempurung lututnya. Matanya menatap jalan yang dilewatinya, ponselnya tidak berhenti bergetar. Tawan mengabaikannya.

Berita diterimanya dia sebagai salah satu volunteer kesehatan di CDC harusnya menjadi berita paling membahagiakan dihidupnya. Karena demi Tuhan, ini adalah cita-cita yang selalu Tawan impikan. Dia meningkatkan kemampuannya dalam berbahasa inggris, kemampuannya dalam teori dan praktik public health agar dia bisa menjadi volunteer dan juga bekerja di CDC.

Namun kenapa saat ini rasanya malah menyesakkan? Tawan seperti kehilangan sesuatu namun dia tidak tahu apa itu.

Tawan menghela nafasnya lagi dan mengambil ponsel yang berada di saku hoodie Joss yang ia sengaja pakai.

Notification bar-nya penuh dengan pesan dari Joss Wayar. Rasanya menyesakkan. Tawan ingin menghilang seperti biasanya. Dia tidak ingin menjelaskan apa-apa pada lelaki itu.

Tawan memantapkan hatinya, dia akan memblock Joss untuk sementara waktu. Dia harus mempersiapkan dirinya. Dia harus, mempersiapkan dirinya untuk meninggalkan lelaki itu.

“Tay?” Panggil Gun.

“Hm” Tawan hanya berdeham untuk membalas panggilan temannya.

Gun terdiam kembali, niatnya untuk bertanya hilang karena mendengar balasan Tawan. Memang pilihan terbaik adalah membiarkannya berdiam diri hingga Tawan bercerita dengan sendirinya.

Gun yakin Tawan sedang berperang dengan pikirannya saat ini, dikepala lelaki itu pasti banyak kemungkinan-kemungkinan tidak masuk akal. Tawan dan overthinking adalah kombinasi yang menyebalkan, dan yang paling menyebalkannya lagi adalah Tawan akan selalu mengikuti hasil dari overthinkingnya dibandingkan kenyataan yang ada.

“Tay...” Panggil Gun sekali lagi. Tawan tidak membalas tapi lelaki itu sudah pasti mendengarkan apa yang Gun katakan.

“Your overthinking isn't telling the truth.”

Tawan tersenyum kecil, Gun memang selalu menyadarkannya dengan ucapan yang cukup tajam.

“I know.”

*“Ya kalau tau berhenti overthinking, nambah beban hidup lo aja.”* Ketus Gun.

Jumpol meringis mendengar perkataan kekasihnya, lelaki itu melirik Tawan sekilas, berjaga-jaga kalau ada pertengkaran di dalam mobilnya.

“Wkwk sialan juga lo.” Kekeh Tawan.

“Harusnya gua bahagia gak sih Gun nerima kabar ini? Ini udah gua tunggu-tunggu sejak lama.” Lanjut Tawan.

Gun yang mendengar perkataan Tawan langsung menoleh ke arah kursi penumpang untuk melihat temannya itu. Gun dengan cepat melepas seatbelt yang terpasang ditubuhnya.

“Heh Gunnnnn mau ngapain?” Teriak Jumpol dengan panik namun Gun mengabaikannya. Lelaki kecil itu pindah ke kursi belakang untuk duduk bersama dengan Tawan. Jumpol hanya menghela nafasnya melihat kelakuan ajaib dari kekasihnya.

“Emangnya lo gak bahagia Te?” Tanya Gun dengan posisi yang sama persis dengan Tawan. Melipat kakinya dan menopang kepalanya di tempurung lututnya.

“Suddenly I forgot how to respond a happy news.”

“Say congratulations to yourself, me time, and treat yourself? You should tell everyone too.”

“Harusnya gitu kan?” Bisik Tawan.

“But all I wanted to do was cry in his arms and tell him I didn't want to go anywhere.” Lirih Tawan.

Gun terdiam mendengar bisikan Tawan. He's falling deeply in love with Joss Wayar.

“Then, why don't you do that?”

“Karena gua tau, dia bakal lepasin gua buat ngeraih mimpi gua dan gua bisa lepasin impian gua buat dia kalau dia ngelakuin itu.”

“Ya itu sih lo aja goblok.” Jawab Gun tanpa bepikir panjang. Jumpol kembali menegang mendengar jawaban sembrono kekasihnya. Lelaki itu melirik sekilas, takut benar-benar kejadian bertengkat diantara dua sekawan itu.

“Inget Te, lo udah nunggu momen ini sejak lama. On the day you received an email saying congratulations for being accepted to volunteer. Kalau lo kasih tau si Joss terus dia ngelepasin lo, bukannya itu bagus? berarti dia dukung lo dan lo bisa pergi dengan tenang kan?.” Lanjut Gun.

“Jadi, gua yang ninggalin dia ya?” Tanya Tawan lagi.

Gun melayangkan tangannya ke rambut Tawan dan mengelusnya dengan sayang, “Ya gak harus ninggalin juga Te. Bisa LDR kan? Tapi omongin dulu ya sama Joss. All you need is talk with him.”

“I blocked him.”

Usapan Gun dikepala Tawan berhenti dengan tiba-tiba, “You WHAT?”

Tawan menatap Gun dengan wajah polosnya, “I blocked his contact.”

Gun dan Jumpol dengan kompak menghela nafasnya dengan frustasi, “Lo bikin masalah tau gak Te?” Omel Gun pada temannya.

“Gua panik tau gak? Dia ngechat terus. I feel triggered.” Tawan membela dirinya sendiri.

“You're messed up.” Keluh Gun pada kecerobohan Tawan. Sudah pasti adik tingkatnya kebingungan, tidak memiliki kesalahan apapun tapi tiba-tiba di block.

Tawan semakin menenggelamkan dirinya sendiri, rasanya dia ingin menghilang dari semua orang, bahkan teman-temannya sendiri. Namun, keadaannya sekarang belum memungkinkan dirinya untuk pergi sendirian.

Tawan juga ingin sekali memberitahu Joss tentang kabar bahagia yang diterimanya, jika saja saat itu Tawan tidak berjanji pada sang kekasih maka tidak akan serumit ini.

Tawan pernah berjanji untuk tidak meninggalkan Joss, jika dia memberitahukan kabar ini pada Joss, lelaki itu pasti akan tersakiti bukan?

Apalagi Tawan tidak hanya pergi selama setahun atau dua tahun, karena Tawan memiliki planning jangka panjang, dan Joss Wayar tidak termasuk ke dalam planningnya untuk saat ini.

Namun Tawan akui, dia terlena. Dia terlena oleh kasih sayang yang diberikan Joss untuknya. Dia terlena hingga dia lupa bahwa cepat atau lambat dia harus menyelesaikan studinya dan pergi untuk mengejar mimpinya.

Disisi lain, Tawan juga tidak ingin meninggalkan lelaki itu. Tidak setelah semua yang Joss Wayar lakukan untuknya. Tidak setelah dia jatuh cinta pada lelaki itu.

Ya, Tawan jatuh cinta. Dia jatuh cinta sedalam Joss jatuh untuknya, sebesar yang Joss berikan untuknya. Sangat mudah untuk jatuh cinta pada lelaki itu.

Bukannya Tawan takut Joss akan melarangnya pergi, tidak. Tawan tidak pernah takut akan hal itu. Ketakutan terbesar Tawan adalah Joss akan melepaskannya untuk mengejar impiannya.

Dan Tawan belum siap, untuk dilepaskan oleh lelaki itu. Seberapa banyakpun Tawan berpikir, pada akhirnya Joss akan tetap mengalah dan membiarkannya pergi.


Suara detak jam dinding yang terpasang di tembok bagian kanan kamar terdengar kencang mengganggu heningnya malam, memecah konsentrasi mereka setelah Tawan menceritakan segala hal yang menganggu pikirannya.

Ini semua tentang Tawan, manusia, dan CDC.

Arm, Singto, Gun, Gunsmile, dan Jumpol paling tau bahwa Tawan pernah menceritakan tentang impiannya, untuk melihat dunia dan melakukan segala hal yang dapat meningkatkan derajat kesehatan manusia dan mensejahterakan manusia.

Pada awalnya mereka berpikir bahwa impian Tawan hanyalah sementara, setelah mereka mendapat mata kuliah tentang stunting dan kemiskinan di negara-negara diluar Indonesia. Namun, temannya itu ternyata memang serius untuk mengejar mimpinya.

Tawan mengejar score sempurna TOEFL, memperbanyak kegiatan berorganisasi di bidang sosial dan kemanusiaan, lelaki itu juga kerap ikut volunteer saat terjadinya bencana. Tawan melakukan itu semua agar mimpinya semakin dekat dengannya.

Hingga akhirnya awal semester 8 kemarin, Tawan benar-benar berada dipijakan pertama mimpinya. Dia mendaftar menjadi relawan kesehatan untuk dikirim ke daerah terpencil, dibawah naungan salah satu organisasi kesehatan terbesar di dunia yaitu Centers for Disease Control and Prevention.

Tawan mendaftar setelah memantapkan dirinya, meminta restu dari orang tua, meminta bantuan dari fakultas bahkan universitas, dengan khusus dibantu oleh dosen yang memiliki banyak relasi agar Tawan mendapat rekomendasi dari orang yang berpengaruh. Hasilnya Tawan mendapat rekomendasi di dari Kementrian Kesehatan dan juga PAEI (Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia).

Semua itu Tawan lakukan dengan suka cita, mereka menemani Tawan dari awal hingga saat ini Tawan benar-benar diterima untuk menjadi relawan kesehatan di tempat impiannya.

Tawan sudah sampai sejauh ini, hingga selangkah lagi menggapai mimpinya. Tinggal selangkah lagi Tawan bisa mencoret salah satu catatan kecil yang dia buat yang berisi hal-hal yang dia ingin lakukan di masa depan.

Namun lihatlah saat ini, lelaki itu sedang bergelung dibawah selimut dan memikirkan haruskah dia bahagia atau haruskah dirinya bersedih?

Singto sendiri menyayangkan pikiran Tawan yang dengan ikhlas bisa melepaskan mimpinya demi bersama dengan Joss Wayar. Seharusnya tidak seperti itu kan? Bagaimanapun banyak orang yang sudah menaruh harapan tinggi pada Tawan.

“Jadi, kapan lu mau kasih tau Joss Wayar?” Suara Gunsmile memecah keheningan diantara mereka.

“Ini tuh gak sesimpel itu Gunsmile.” Sahut Gun.

“Sebenernya simpel, tapi temen lu ini yang bikin ribet.” Jawab Gunsmile lagi.

“Coba deh, suruh Tawan mikir lagi. Jangan cuma karena cinta sampe kayak gini. Gua dukung dia sama Joss Wayar, iya dukung banget. Gua bahkan berterima kasih sama Joss karena dia udah bikin Tawan bahagia. Disini Joss jelas-jelas gak salah, tapi salahnya ini di temen lu ini.”

“Buat apasi sampe mikir relain mimpinya demi Joss? Yang gua yakin juga kalau Joss tau dia bakal biarin Tawan ngejar mimpinya. Apa yang ditakutin? Joss ngelepas dia? Di dunia ini ada namanya LDR. Kenapa gak di coba dulu? Tawan tuh terlalu banyak mikir. Padahal jawabannya simpel, komunikasi.”

“Dari awal gua udah ingetin dia buat cerita ke Joss tentang mimpinya. Pelan-pelan, tapi Tawan malah bilangnya belum tentu dia di terima jadi relawan. Terus sekarang udah kayak gini dia bingung sendiri.”

“Te lu udah gede, udah bisa mikir. Hidup lu bukan tentang Joss Wayar. Iya gua tau lu lagi difase jatuh cinta sedalam-dalamnya sama itu bocah. Tapi gak sampe gini Te. Lu udah bikin list impian lu sejak lama, bahkan sebelum kenal Joss dan itu cowok juga gak ada di list impian lu. Terus lu nunggu apa lagi?”

“Pokoknya gua ngomong gini bukan buat sudutin lu lah, cuma mau memberikan secercah cahaya buat lu ke depannya. Emang dasarnya hidup harus memilih kan? Gimana akhirnya itu ada ditangan lu.” Jelas Gunsmile.

Mereka semua terdiam setelah mendengar penjelasan temannya itu, biasanya Gunsmile adalah lelaki yang sangat konyol namun saat dia serius, dia bisa menjadi seperti sekarang.

“Oke... Jadi ada yang mau makan? Gua laper.” Celetuk Arm.

Tawanlah yang pertama kali tertawa mendengar celetukkan Arm, mereka semua tertawa bersama tanpa alasan yang jelas. Memang seperti inilah pertemanan mereka. Aneh. Namun nyata.

“Oke oke udah, thank you banget Gunsmile. Lo ada benernya lah dikit. Tapi biarin gua mikir dulu ya buat tiga hari. Gua beneran belum siap buat ketemu Joss.” Ucap Tawan setelah mereka semua berhenti tertawa.

“Yoi bro, take your time. Jangan lama-lama. Kasian anak orang lu gantungin.” Jawab Gunsmile dengan cengirannya.

Mereka kembali cerita mengenai impian masing-masing, tak lupa juga mereka mengulang kisah konyol mereka dari jaman maba sampai saat ini. Padahal isinya kebanyakan adalah ketololan Jumpol dan Gunsmile, namun rasanya tetap saja lucu.

Tawan tersenyum kecil, memang teman-temannya adalah penyembuh dirinya. Dikala dia lelah, ataupun sedih teman-temannya selaly ada untuknya. Dikala orang-orang tidak ada yang mempercayai bahwa dia memiliki impian setinggi angkasa, teman-temannya lah yang datang dan mendorongnya untuk tetap berpegang teguh pada mimpinya sesulit apapun itu.

Tawan baru menyadarinya, seharusnya yang Tawan sedihkan adalah dia akan kehilangan teman-temannya. Dia tidak akan bertemu mereka saat dia pergi nanti.

Tawan akan memaksimalkan waktu yang dimilikinya untuk bermain dan tertawa bersama mereka. Tawan akan menghargai setiap momen yang ada, agar dia dapat mengenang semua kenangan dengan teman-temannya dengan senyum penuh kebahagiaan dan penuh kebanggaan.


Tiga hari berlalu, tiga hari ini Tawan menghabiskan waktu liburan bersama para pejuang skripsi. Tawan melepaskan semua pikiran yag mengganggunya dan memilih untuk membahagiakan dirinya sendiri, seperti yang Joss katakan di emailnya.

Ya, Tawan membaca seluruh email yang Joss kirimkan, namun dia memilih untuk tidak membalasnya.

Hari ini Tawan dan teman-temannya menginap di rumah Jumpol setelah seharian bekeliling di mall untuk bermain dan berbelanja.

“Nanti malem pada mau makan apa?” Tanya Jumpol pada teman-temannya yang sedang sibuk tiduran dan bermain ponsel.

“Seafood ajalah tiba-tiba gua mau makan seafood kiloan.” Ujar Gunsmile dengan senyum merekah.

“Boleh tuh, kangen seafood saos padang juga gua.” Sahut Arm, yang diikuti anggukan setuju dari Singto dan Gun.

“Tay gimana? Mau sama atau mau makan yang lain?” Tanya Jumpol pada Tawan yang masih memainkan ponselnya.

“Gak usah, nanti gua pulang. Mau ketemu Joss.” Jawab Tawan dengan kalem.

Ucapan Tawan mengagetkan seluruh teman-temannya, jadi udah bisa mikir nih?

“Mau dianterin ketemu Joss?” Tawar Singto.

“Gak, nanti minta dia jemput disini aja. Boleh kan Jum?” Tanya Tawan.

“Ya bebas dah.” Jawab Jumpol pasrah.

Teman-teman Tawan melirik satu sama lain, mungkin memang Tawan sudah memikirkan apa yang harus dia bicarakan dengan Joss. Mereka hanya akan mendukung Tawan apapun yang lelaki itu lakukan,


Tawan menunggu Joss di depan rumah Jumpol, teman-temannya melihatnya dari dalam rumah, karena kebetulan rumah Jumpol memiliki kaca yang besar dibagian tengah sehingga mereka bisa melihat tanpa harus keluar.

Tawan hanya menghembuskan nafasnya lelah melihat kelakuan bodoh teman-temannya, memangnya apa yang mereka harapkan. Dia tidak mungkin berbicara dengan Joss disini, tidak dengan mata-mata yang mengawasinya.

Mobil pajero Joss terlihat dari kejauhan, Jantung Tawan berdegub dengan kencang. 4 hari ini dia tidak mengobrol dengan Joss, Tawan sangat gugup. Bagaimana jika Joss sebenarnya marah namun lelaki itu berusaha menutupinya?

Ketika mobil itu berhenti di depannya, tanpa banyak membuang waktu Tawan membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya. Sebelum masuk dia menyempatkan diri untuk melambai dan memberikan wajah meledek pada teman-temannya.

“Udah? Mau langsung pulang atau gimana?” Tanya Joss setelah Tawan selesai memasang seatbeltnya.

“Langsung pulang aja.” Ucap Tawan tanpa melihat Joss. Joss hanya mengangguk dan mulai menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang.

Tawan sendiri sedang menetralkan degub jantungnya, kenapa Joss terlihat semakin tampan? Apakah ini efek samping dirinya tidak bertemu lelaki itu beberapa hari belakangan ini?

“Gimana, seneng gak liburannya?” Tanya Joss memecah keheningan.

Tawan membasahi bibirnya yang kering, dia secara tiba-tiba menyodorkan telapak tangannya pada Joss. Meminta untuk digenggam.

Joss terkekeh kecil melihat tingkah menggemaskan Tawan, lelaki itu menyatukan telapak tangan mereka berdua. Joss juga sesekali mendekatkan punggung tangan Tawan pada bibirnya untuk diberikan kecupan kasih sayang.

“Seneng gak?” Tanya Joss sekali lagi.

“Seneng..”

“Yaudah bagus kalau lu seneng, berarti gak sia-sia gua nahan kangen.” Canda Joss.

“Joss...”

“Nanti aja oke? Pas udah sampe depan rumah lu. Kalau sekarang takutnya gua gak fokus nyetir.” Potong Joss cepat.

Tawan hanya bisa mengangguk dan kembali memperhatikan lelaki itu yang sedang serius. Sesekali Tawan mengeratkan pegangan tangan mereka berdua dan tersenyum kecil.

Perjalanan mereka hanya diisi dengan keheningan, ini pertama kalinya mereka merasa hening yang membuat mereka tidak nyaman, baik Tawan dan Joss tidak ada yang memulai pembicaraan. Mereka menutup mulutnya rapat-rapat, hanya memandangi jalanan jakarta yang sama seperti biasanya, ramai.

Mobil Joss sampai dipekarangan rumah Tawan, mereka masih berada di dalam mobil dengan tangan yang masih bertaut. Tawan mengigit bibirnya dengan gugup, dia tidak akan bisa memulai percakapan ini.

“Udah sampe.” Bisik Joss.

“Bisa gak....” Tawan menjeda ucapannya untuk melihat respon Joss, lelaki itu mendengarkannya dengan seksama.

“Pas gua ngomong, lo dengerin dulu sampe abis?” Lanjutnya.

Joss Wayar mengangguk dengan yakin, lelaki itu memutar tubuhnya untuk menghadap Tawan sepenuhnya.

“Sejak kecil, gua udah dibebasin sama orang tua gua buat ngelakuin hal apapun yang gua suka. Bukan cuma gua, tapi kakak dan adek gua juga sama. Dulu pas sd gua pengen banget jadi dokter, terus gua ikut dokter kecil. Seneng, saat itu gua ngerasa mimpi gua jadi dokter udah tercapai dan akhirnya keinginan gua buat jadi dokter perlahan hilang.”

“Pas gua smp, gua inget banget gua nonton upacara 17 agustusan di tv, saat itu pikiran gua, gua mau jadi presiden. Tapi setelah gua pikir-pikir lagi kayaknya gak mungkin, jadi gua nurunin mimpi gua. Gua pengen jadi pasukan pengibar bendera merah putih di istana negara, dan gua ikut paskibra akhirnya. 3 Tahun gua ikut paskribra, gua ikut lomba paskribra tapi gua belum bisa jadi pengibar bendera merah putih di istana negara.”

“Tapi gua gak nyerah, pas SMA ketika temen-temen cowok gua pada ikut basket, futsal, dan ekskul olahraga lainnya, gua ikut paskribra, Gua bertekad buat jadi salah satu pasukan pengibar bendera di istana negara, dan ya gua terpilih menjadi salah satu Pasukan Pengibar Bendera Pusaka Provinsi DKI Jakarta waktu tahun 2016.”

*“Saat kelas 3 SMA, Gua nonton satu film yang mengubah seluruh pola pikir dan cara pandang gua terhadap kesehatan. Judul filmnya adalah Contagion, film itu mengisahkan tentang pandemi virus baru yang berasal dari kombinasi kelelawar dan babi, virus ini menular melalui droplet, sentuhan benda, dan kontak dengan orang yang terinfeksi.”*

“Film ini tuh ngasih tau tentang pentingnya informasi dan penangan yang tepat saat terjadinya wabah, peran seorang public health, karena dimasa pandemi mereka lah yang dengan lantang berteriak tentang pencegahan penyakit, mereka juga yang memberikan edukasi kepada masyarakat awam dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, selain itu juga peran epidemiologist juga sangat penting dalam mengidentifikasi wabah, melacak dimana orang yang terinfeksi melakukan perjalanan dan kontak dengan orang lain, dan juga mengisolasi mereka yang sakit dan terpapar.'

“Disitu gua kayak bener-bener terpukau, wah gila seorang epidemiologist turun langsung ke lapangan buat mengidentifikasi wabah, dan mereka bisa aja terpapar virus saat lagi mengidentifikasi, dan orang-orang di film itu keren banget, di film itu mereka bekerja buat Epidemic Intelligence Service (EIS) di Centers for Disease and Prevention.” Tawan memberikan jeda sebelum melanjutkan ucapannya.

“Dan setelah itu, gua udah tentuin cita-cita gua, kalau gua mau jadi seorang public health. Gua belajar dengan giat buat masuk universitas dengan kesehatan masyarakat terbaik di Indonesia, yaitu Universitas Monokrom dan here I am. Di semester terakhir lagi nyusun tugas akhir. Satu langkah lagi sebelum gua bener-bener jadi Sarjana Kesehatan Masyarakat.” Lanjut Tawan dengan senyuman kebahagiaan yang tidak lepas dari wajah rupawannya.

Joss sendiri hanya melihat Tawan dengan binaran penuh kekaguman, entah bagi lelaki tinggi itu, setiap kali Tawan menceritakan hal yang membuatnya bahagia, hal itu juga terasa menyenangkan di telinganya. Seakan-akan Joss juga bisa merasakan kebahagiaan yang dirasakan oleh Tawan.

*“Pas semester dua, gua nonton lagi film judulnya Deepwater Horizon, film ini menceritakan tentang bencana di Amerika yaitu kebocoran minyak Deepwater Horizon di Teluk Meksiko. Film ini tuh nunjukkin betapa pentingnya tugas seorang K3 di suatu perusahaan, apalagi yang memiliki banyak resiko kayak pengeboran minyak. Disaat itu Gua, Jumpol, dan Guns pengen masuk K3 dan kerja di tambang atau pengeboran minyak kayak gitu, tapi akhirnya gua bisa milih kalau gua mau masuk epidemiologi.”*

“Pas udah masuk peminatan, gua makin banyak belajar hal-hal yang gak pernah gua bayangin sebelumnya, gua makin banyak nonton film tentang wabah, penyakit, dan lain-lain. Sampe tiba akhirnya waktu itu ada perwakilan dari Nusantara Sehat yang dateng buat kasih penyuluhan tentang Nusantara Sehat.”

“Mereka bilang, Nusantara Sehat bertujuan untuk menguatkan layanan kesehatan primer melalui peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan dasar di DPTK dan DBK, menjaga keberlangsungan pelayanan kesehatan, dan menggerakan pemberdayaan masyarakat. Tertarik? Ya gua tertarik banget.”

“Tapi gua bukan cuma cari tau tentang Nusantara Sehat, gua juga cari tau tentang EIS yang dari film Contagion tadi, dan ternyata EIS buka recruitment dengan syarat; receive hands on experience as they complete a 2-year public health service fellowship. Dan akhirnya gua nulis di buku catatan gua kalau gua bakal prioritasin EIS baru Nusantara Sehat.” Jelas Tawan dengan senyuman kecil yang masih terbit di wajahnya.

“Terus gua konsul sama Mrs. Katreeya tentang EIS, kata beliau perbanyak dulu pengalaman-pengalaman berorganisasi dan volunteering, dan gua lakuin semuanya. Dari mulai organisasi internal kampus, dan eksternal kampus gua ikutin, kalau ada event kesehatan berskala nasional gua juga selalu ikut seleksi dan semuanya gua lakuin ditemenin sama temen-temen gua yang selalu mau aja ngikut hal yang gua lakuin.” Kekeh Tawan.

“Bukan cuma itu, buat memperbagus bahasa inggris gua pas liburan semester 4 kemarin gua ikut seleksi buat ikut konferensi selama 1 minggu ke Singapore Polytechnic. Gua juga ikut kelas online bahasa inggris di sela kuliah gua, capek sih tapi kalau mau mengapai mimpi yang besar itu emang perlu perjuangan kan?” Ucap Tawan yang dibalas anggukkan dari Joss.

Joss memberikan air mineral yang dibelinya di jalan tadi pada Tawan, Tawan mengambilnya dan mengucapkan terima kasih dengan pelan.

“Sampe akhirnya perlahan gua mulai kurangin aktivitas gua karena ternyata semester 5 sama semester 6 bener-bener tahun terberat gua selama kuliah, semester 5 ada Pengalaman Belajar Lapangan (PBL), organisasi, tugas, semester 6 ada Seminar Nasional, dan juga KKN, belum lagi udah harus setor judul buat skripsi. Gua hampir lupa sama mimpi gua, gua juga gak bisa ngikut kelas online bahasa inggris secara intens lagi.”

“Tapi berkat dukungan dari keluarga, temen-temen, dan juga Mrs. Katreeya yang selalu kasih gua info-info terbaru tentang relawan di afrika, tentang segala hal yang berkaitan dengan kesehatan bikin gua semangat lagi. Sampe akhirnya semester 7 kemarin gua bisa magang di Kementrian Kesehatan di bagian Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi, it was one of the best experiences in my life.” Ucap Tawan dengan senyuman yang semakin lebar.

“Dan hal paling membahagiakan dihidup gua adalah ketika awal semester 8 kemarin, gua bisa daftar jadi relawan di organisasi kesehatan impian gua, yaitu Centers for Disease and Prevention. Gua daftar dengan surat rekomendasi dari Kementrian Kesehatan, PAEI, Kampus, dan Kaprodi. Semua sertifikat organisasi, dan kegiatan volunteering yang gua lakuin juga gua attach, beserta sertifikat kelulusan gua di kelas bahasa inggris dan nilai TOEFL gua.” Senyum Tawan perlahan memudar, begitu juga dengan senyuman Joss Wayar.

“Gua daftar jadi relawan sebagai modal gua buat daftar EIS di masa mendatang, gua-” Tawan menjeda ucapannya.

“Gua selalu optimis kalau gua pasti keterima buat jadi relawan di CDC, kalaupun nantinya gak keterima, gua akan terus coba sampe gua diterima. Gua udah mempersiapkan diri gua buat tinggal bertahun-tahun di Amerika, bahkan sampe impian gua kerja di EIS tercapai, dan gua memang harus tinggal disana dan ninggalin keluarga gua disini.”

“Pilihannya berat, tapi keluarga gua membebaskan gua buat ngejar impian gua setinggi apapun impian gua, bahkan ketika gua harus jauh dari mereka, mereka tetep bilang kalau gua harus bisa kerja di EIS.”

“Bahkan gua udah mempersiapkan worst case, kalau gua gak keterima di EIS setelah gua melakukan kegiatan relawan gua akan coba daftar kuliah di Harvard School of Public Health, itu atas rekomendasi Mrs. Katreeya.”

“Semuanya udah berjalan sesuai rencana yang gua buat, sampe pada akhirnya ada email masuk dari anak semester 4 yang sebelumnya bahkan gua gak kenal dengan dekat. Gua sama dia cuma sebatas adek kakak tingkat biasa, dan di email itu dia ngelamar gua.” Kekeh Tawan, lelaki itu mengeratkan genggaman tangannya pada Joss.

“Bingung? Ya. Ngerasa aneh dan risih? Ya. Bahkan gua sempet punya niat buat mengabaikan email itu karena gua pikir, mungkin cuma taruhan atau iseng doang. Tapi gua gak bisa, gua kesel jadi gua bales nanyain maksudnya apa. Tapi itu adek tingkat malah beneran mau lamar gua katanya.” Lanjut Tawan dengan senyuman yang tidak bisa ia sembunyikan.

“Sampe akhirnya dia samperin gua dan yakinin gua buat kasih gua kesempatan, dia bahkan bilang gapapa buat jadiin dia prioritas nomor berapapun asal gua kasih dia kesempatan, kaget? iya kaget banget karena baru pertama kali ada yang serius sama gua dan gua kagok, gua bingung harus respon semua kasih sayang yang dia kasih buat gua gimana, gua juga mempertanyakan apa gua pantes dapet semua ini?”

“Dan ya, gua pantes. Dia bilang gua pantes buat dapet semua perhatiannya, dia bilang dia bakal jadi pijakan yang kokoh buat nopang gua ditempat paling tertinggi. Semua kasih sayang dan perhatian yang dia kasih bikin gua lupa kalau gua punya mimpi lain yang tinggal selangkah lagi gua capai.” Senyuman Tawan hilang sepenuhnya, matanya menatap sendu mata Joss yang masih menatapnya.

“Gunsmile udah ingetin gua buat cerita sama dia tentang mimpi gua, tapi gua nolak dengan bilang belum tentu gua diterima, ya gua seterlena itu sama apa yang lagi gua jalanin sekarang. Sampe akhirnya, tanggal 27 kemarin gua dapet email pernyataan kalau gua keterima buat jadi relawan di CDC. Gua keterima untuk jadi relawan kesehatan dan bakal dikirim ke negara terpencil di bawah naungan organisasi impian gua, CDC.”

Pegangan tangan mereka mengendur, bukan Tawan yang melakukannya, tapi Joss. Joss-lah yang pertama kali melepas tautan tangan mereka, namun Tawan tetap berusaha menggenggam tangan Joss dengan erat.

“Harusnya, harusnya gua bahagia kan Joss? Harusnya gua bahagia karena dengan keterimanya gua jadi relawan gua bisa lebih cepet gapai impian gua buat kerja di EIS. Harusnya gua nyebarin informasi ini dengan suka cita, tapi kok gua ngerasa kelihangan?” Tanya Tawan dengan suara lirih.

“Gua ngerasa mau nangis dan peluk lo sebanyak-banyaknya, gua ngerasa resah, apa karena gua belum kasih tau lo tentang mimpi gua? Atau karena gua takut dengan kabar ini lo malah menjauh, gua takut dan akhirnya gua mutusin buat menghilang, nenangin diri gua. Bahkan dengan bodohnya gua berpikir kalau gua siap ninggalin mimpi gua kalau lo emang gamau gua pergi. Bego ya?” Kekeh Tawan dengan miris.

“Joss, jadi pasangan gua tuh susah ya?” Tanya Tawan, namun Joss hanya diam tidak mengeluarkan suara sepatah katapun.

“Gua ngerasa hampa, waktu gua bilang gua gak akan ninggalin lo, itu kata-kata bullshit ya ternyata. Beneran gua gak pantes buat ngomong gitu sementara kenyataannya cepet atau lambat gua bakal tetep ninggalin lo buat ngejar mimpi gua.”

“Maaf ya Joss, ternyata gua masih egois. Tapi, gua boleh minta satu hal ke lo gak? Please jangan tinggalin gua, jangan lepasin gua. I don't want you to let me go. Lo bilang lo mau nemenin gua, kasih gua bahu biar gua bisa berdiri ditempat paling tinggi. Boleh gak, kalau gua minta bahu lo buat jadi topangan gua berdiri di angkasa?” Lirih Tawan, air mata sudah tergenang di mata indahnya.

“Gu-a gua sejujurnya gak tau harus gimana.” Ucap Joss setelah sekian menit lelaki itu hanya diam tanpa bersuara.

“Joss, gua mau liat dunia bareng sama lo. Gua mau terbang bebas bareng sama lo.” Lirih Tawan.

Joss membahasahi bibirnya yang kering, pikirannya berantakan. Dia tidak bisa berpikir dengan waras saat ini, semua informasi yang didapatkannya terlalu banyak dan terlalu mengejutkan untuknya. Dia butuh waktu, dia butuh waktu untuk dirinya sendiri.

“Kasih gua waktu buat mikir.” Ucap Joss tanpa melihat Tawan.

“Joss- please...” Pinta Tawan.

“3 hari, kasih gua waktu tiga hari.” Balas Joss lagi. Tawan dengan pasrah hanya mengangguk dan mengeratkan genggaman tangannya pada Joss.

“Yaudah ayo gua anter sampe gerbang.” Joss melepaskan genggaman tangan mereka dan turun dari mobil untuk membukakan pintu Tawan.

Tawan keluar dengan wajah sendunya, lelaki itu menatap Joss dengan binaran kesedihan yang jelas.

Joss mengantar Tawan hingga pintu gerbang, lelaki itu memberikan satu senyuman kecil pada Tawan. Senyuman Joss berbeda, kali ini senyuman lelaki itu sedikit dipaksakan.

“Gua pulang dulu ya? Jaga diri baik-baik.” Bisik Joss.

Joss menangkup wajah Tawan dan mencium kening lelaki itu dengan lama, disela kecupannya Joss memanjatkan doa kepada sang pencipta.

You have been a source of happiness to me, my world and I pray God almighty never take away your happiness from you. I pray that joy and success will never depart from your life.

“I love you, Tawan Vihokratana.”