Josstay: Nikah Muda
Runaway
Tags! self blaming, anxiety attack, philopobia, nightmare. Tolong diskip jika merasa tidak nyaman karena dijelaskan cukup detail.
Joss melemparkan ponselnya dengan kuat, ia meremat rambutnya dengan frustasi. Pesan-pesan yang dikirimkan oleh suaminya membuatnya tertekan dan dihantui perasaan bersalah.
Belum lagi teman-temannya terus menerus menekannya, Joss merasakan beban dipundaknya bertambah berkali-kali lipat. Dia tidak akan kabur, demi Tuhan. Memangnya dia bocah remaja? Dia hanya ingin menenangkan dirinya sendiri, berpikir lebih luas, namun saat ini ruang geraknya sangat terbatas, dan Joss merasa sangat frustasi.
Joss memutuskan untuk berbaring di tempat tidurnya, dia sudah mengunci pintu kamarnya, mencegah teman-temannya datang dan merecokinya dengan segudang kata motivasi yang jujur saja tidak ia butuhkan saat ini.
Joss mengambil kembali ponselnya, membaca ulang seluruh pesan yang dikirimkan oleh suami kecilnya, little Te, begitu dia memanggilnya. Joss tersenyum sendiri saat mengingat pertama kali ia memberikan panggilan tersebut, dan mata Tawan bersinar layaknya bintang.
“Katanya it's okay if i need time to think tapi setiap jam ngirim pesan tuh maunya apa.” Kekeh Joss pelan saat pesan dari Tawan kembali masuk di ponselnya.
Joss membuka twitternya dan tersenyum kecil saat melihat cuitan Tawan yang memenuhi timelinenya, lelaki itu berinteraksi dengan siapapun, dia adalah definisi dari matahari yang sesungguhnya, dia hangat, dia cerah, dan dia ceria.
Joss sempat merasa takut pada kehangatan yang diberikan Tawan, dua terasa sangat tulus, siapapun dengan mudah jatuh cinta dengan lelaki itu, termasuk Joss. Maka dari itu dia sekuat tenaga menutup pintu hatinya agar tidak lebih jatuh pada lelaki itu.
Benar. Joss mencintainya.
Untuk apa dia melakukan segala hal untuk Tawan jika ia tidak mencintainya. Tapi Joss takut, takut cintanya akan menyakiti Tawan pada akhirnya, makanya ia memasang tembok agar tidak ada yang menyadari bahwa ia mencintai suaminya sendiri.
Joss juga merasa tersiksa, ia merasa takut pada perasaannya sendiri. Semakin lama, semakin besar perasaan yang dimilikinya dan semakin takut juga dirinya.
Bagaimana jika nanti ketika ia menunjukkan perasaannya, Tawan malah merasa muak dan tersakiti. Bagaimana jika nanti perasaannya malah memperburuk rumah tangganya. Semua pikiran itu berputar di kepala Joss setiap hari, Joss rasanya akan gila.
Dia akan gila dalam artian sebenarnya jika tersakiti sekali lagi, dia tidak ingin tersakiti dan tidak ingin menyakiti siapapun. Tapi semua orang seakan-akan menyuruhnya untuk mengambil jalan yang selama ini selalu ia hindari. Tidakkah mereka melihat bahwa Joss sedang menyelamatkan Tawan dari patah hati?
Joss tidak ingin mengecewakan siapapun, terutama keluarganya. Jika boleh jujur, sebenarnya Joss sempat sangat merasa tertekan dan stress saat orang tuanya memintanya menikah. Bagaimana mungkin ia menikah? Joss bahkan merasa pesimis dia bisa menjalin hubungan dengan orang lain.
Joss harus menekan ketakutannya dan bertemu dengan Tawan yang secerah matahari dengan senyuman dibibirnya, Joss bahkan harus menelan pil untuk meredakan rasa cemasnya. Tidak ada yang mengetahuinya, tidak satupun termasuk teman-temannya.
Perasaan takut yang Joss miliki berkembang semakin besar bersamaan dengan perasaan suka yang mulai ada. Joss menyadarinya, dia tidak bisa mengontrolnya karena dua perasaan itu berkembang dengan cepat tanpa ia sadari dan ia memutuskan untuk menutup salah satunya, dan ia memilih untuk menghentikan perasaan sukanya.
Namun rasanya sangat sulit, presensi Tawan dalam hidupnya sudah terlalu banyak. Joss bahkan sempat berpikir bagaimana ia hidup jika tanpa Tawan? namun sisi lainnya juga mengatakan bahwa ia harus melepaskan Tawan sebelum lelaki itu tersakiti.
Semua pikirannya membuatnya kebingungan dan ketakutan. Saat itu, sebelum pernikahannya. Joss sempat kabur ke Bandung dengan dalih pekerjaan. Padahal sesungguhnya ia hanya butuh tempat untuk berpikir dan melawan ketakutannya.
Philopobia.
Begitulah keadaannya beberapa tahun lalu. Trauma percintaan di masa lalu menjadi penyebab utamanya. Ia menjalani terapi bertahun-tahun dan dokter baru menyatakan bahwa ia lebih baik tepat dua bulan sebelum orang tuanya menyatakan bahwa ia akan dijodohkan.
Saat itu Joss hanya terdiam dalam kebingungan, namun ia dapat mengendalikannya dengan baik. Ia dapat tersenyum dan mengiyakan permintaan orang tuanya. Karena dulu, hanya mendengar suara atau didekati orang lain dalam hubungan romansa saja Joss sudah merasakan keringat dingin, mual, cemas, dan ketakutan yang luar biasanya, kerap kali ia juga sering bersikap offensive pada siapapun yang mendekatinya.
Kenangan tentang masa lalu kembali beputar di kepalanya. Ditambah lagi memori tentabg Tawan beberapa waktu lalu membuat kepalanya merasakan sakit seketika. Joss merasa nafasnya yang mulai memburu, perasaan takut itu kembali melingkupinya. Joss memejamkan matanya, berusaha menghilangkan wajah Tawan yang menangis sambil memanggil namanya berulang kali.
I love you kak J
I'm sorry for loving you
Suara itu kembali beputar seperti kaset rusak di kepalanya. Joss mengerang kesakitan, ia merasa mual. Gelisah. Cemas. Pikirannya mulai memakan dirinya sendiri. Joss menutup bibirnya dengan telapak tangannya, berharap rasa mual yang ia rasakan berkurang.
“I'm sorry little Te, I'm sorry.” Bisik Joss pelan. Joss semakin merasakan beban dipundaknya, ia merasa tertekan. Semuanya terlalu berlebihan untuknya. Joss merasa ia tidak bisa menahan perasaan cemas dan takut ini sendirian.
Joss mengeratkan pegangannya pada ponselnya, ia teringat ucapan Luke tentang menghitung satu sampai 10 jika mulai merasa ketakutan dan cemas yang berlebih, dan melanjutkannya hingga 100 jika hitungan sebelumnya belum berhasil “Satu... Dua... Tiga..” Joss mulai menghitung dan mengatur pernafasannya.
“Empat.... Lima... Enam...”
Belum selesai ia menghitung, suara ketukan pintu yang keras membuyarkan konsentrasinya, membuat rasa cemasnya semakin banyak, Joss mengerang frustasi. Ia butuh sendirian saat ini, ia butuh tempat yang hanya ada dirinya sendiri.
“Joss? Oi?” Suara Kayavine terdengar dari luar. Joss mengambil bantal dan menutup wajahnya dengan kesal, perasaan cemas melingkupinya dengan lebih erat. Ada seseorang diluar sana, ia pasti akan memaksa Joss untuk melakukan sesuatu atau mungkin memberikan Joss saran atau apapun itu.
Joss kembali mencoba mengontrol pikirannya, rasa cemasnya saat ini sudah sangat berlebihan. Joss melepaskan bantal yang menutup wajahnya dan memeluk dirinya sendiri, Joss kembali menghitung dari awal dengan suara yang bergetar pelan. Ia menepuk pelan pergelangan tangannya sesuai dengan hitungannya.
Joss berusaha menekan perasaan takutnya, mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia baik-baik saja. Tidak ada yang perlu ditakuti. Semuanya akan baik-baik saja.
Saat hitungan mencapai angka dua puluh suara lain terdengar, Joss mengenali suara itu, itu suara Bright, teman baiknya. Joss berusaha mengabaikan mereka dan fokus kepada dirinya sendiri.
“Mana Jossnya?” Bright bertanya pada Kayavine.
“Tidur kali ya? Gak nyaut dipanggil.” Jawab Kayavine, lelaki itu kembali mengetuk pintu kamar Joss dan memanggil lelaki itu.
Bright mengerutkan dahinya, apa Joss tertidur karena kelelahan? Atau lelaki itu sengaja mengabaikan mereka? Bright tidak mengambil pusing, ia menepuk pundak Kayavine dan berucap pelan, “Yaudah biarin aja, tidur mungkin.”
Bright dan Kayavine berjalan meninggalkan kamar Joss, dan Joss menyadari hal tersebut. Lelaki itu merasa sedikit lebih lega, hitungannya berhenti di angka tiga puluh lima dan Joss sudah merasakan nafasnya lebih teratur dan kabut yang menutupi pikirannya sudah sedikit demi sedikit menghilang.
Joss memilih untuk memejamkan matanya, ia butuh istirahat. Seminggu belakangan ini terlalu melelahkan untuknya, ia butuh beristirahat tanpa bermimpi buruk atau terbangun secara tiba-tiba karena rasa takut yang tiba-tiba datang menyerangnya. Joss butuh istirahat, ia harap malam ini ia dapat tertidur dengan pulas sehingga ia bisa mulai berpikir tentang apa yang harus ia lakukan selanjutnya.
Joss terbangun dalam kebingungan, seingatnya kemarin ia sedang berada di Labuan Bajo, namun kenapa saat ini ia terbangun di apartment-nya di Jakarta?
Joss mengusap wajahnya dengan sedikit kasar, memastikan bahwa ini bukanlah sebuah mimpi. Joss tidak merasakan hal aneh lainnya selain ia yang terbangun di kamarnya. Joss menghela nafasnya dan bangkit untuk bersiap-siap bekerja.
Namun belum sempat Joss melangkah memasuki kamar mandi, dia mendengar suara tangisan seseorang, isak kecil namun menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Joss tidak takut akan hantu, lagipula mana ada hantu di Apartment mewah seperti ini?
Dengan penasaran Joss mendekati suara tersebut yang berasal dari luar kamarnya, dirinya yakin ia mengenal suara ini karena rasanya sangat familiar. Joss pernah mendengar suara ini, menangis dengan cara yang sama, namun ia tidak bisa mengingatnya saat ini.
Joss melangkah dengan hati-hati, jantungnya berdetak dengan keras, suara tangisan semakin terdengar lebih kencang, menyayat hatinya lebih banyak lagi. Joss merasakan kesakitan yang sama dengan seseorang yang menangis saat ini.
Joss membuka pintu kamarnya dengan tangan yang bergetar pelan, lelaki itu memejamkan matanya saat pintu terbuka sedikit demi sedikit. Suara tangisan semakin jelas.
Kak J.
Kak J.
Suara itu memanggil seseorang bernama J, siapa J disini? Apakah dirinya? Apa seseorang yang menangis saat ini memanggil namanya?
Joss membuka matanya, dan menemukan lelaki yang sangat dikenalnya berdiri dihadapannya dan menangis dengan pilu, memanggil namanya berulang kali.
Semua memori berputar dengan cepat di otaknya, Joss berdiri dengan kaku saat menyadari bahwa penyebab lelaki ini menangis adalah dirinya. Lelaki ini menangis karena dirinya.
Kak J. I'm sorry for loving you with all my heart and still searching for reasons to love you more and more. I'm sorry I can't keep my promise to not loving you. I'm sorry for loving you too much.
Kak J, I'm sorry for crying, I'm sorry. I'm sorry kak J. I try. I try to not loving you but it's hard. I can do anything but I can't pretend that I don't love you. Kak J, I'm sorry for falling in love with you.
Suara lelaki itu menyiksanya, belum lagi tatapan matanya yang penuh akan kesedihan. Joss merasa tercekik, ia seakan akan melakukan kejahatan yang tidak dapat diampuni. Joss jatuh terduduk, tangannya meremat rambutnya dengan frustasi. Joss meminta lelaki itu untuk berhenti menangis, namun ia tidak juga berhenti.
“I'm sorry..... I'm sorry. Please don't cry. Please.” Joss berucap dengan keras, namun suara tangisan itu seakan memenuhi satu ruangan dan menghantuinya.
“I'm sorry. Please don't cry. Don't cry.....” Joss kembali berbisik keras, tenaganya sudah habis. Joss memutuskan untuk mendongkak dan melihat lelaki yang menangis karenanya.
Kak J
Joss memejamkan matanya saat namanya kembali terucap, seperti sebuah bara api yang menembus langsung pada jantungnya, sakit yang dirasakannya nyata sekali.
“Little Te....” Bisik Joss tanpa sadar, “Little te, I'm sorry. I'm sorry.” Ulang Joss lagi.
Kak J, I love you.
Suara yang sama kembali berulang, ucapan kata cinta. Joss tidak bisa menahannya lagi, ia mulai berteriak, “I'm sorry. Please stop. Stop.” Joss berteriak dengan keras. Meminta siapapun untuk berhenti mengucap tiga kata sakral itu untuknya. Dia belum bisa menerimanya, dia belum bisa.
“Please. Stop. Joss mengucapkannya berulang kali. Ia memeluk dirinya sendiri di depan lelaki yang masih menangis. Suara tangisan itu masih terdengar, namun ada suara lain yang memanggil namanya dengan keras. Suara ini, dia juga mengenalnya, suara ini seakan menariknya keluar.
Semakin lama suara yang memanggilnya semakin keras, Joss sudah berhenti berucap, dia hanya mendengarkan suara yang memanggil namanya dengan keras. Hingga sebuah lubang hitam tiba-tiba menariknya masuk pada kenyataaan yang ada.
“JOSS??????????”
Joss terkesiap dan bangun dengan keringat yang sudah membasahi tubuhnya. Joss menatap sekelilingnya, nafasnya memburu dan tangannya gemetar pelan. Joss menghembuskan nafasnya lega saat ia menyadari dirinya masih berada di Labuan Bajo.
Joss menyentuh wajahnya, ia menangis dalam tidur. Mimpinya tadi terasa sangat nyata hingga Joss dapat merasakan sakitnya sampai saat ini. Joss bangkit dari posisi tidurnya, ia terduduk dengan kebingungan. Teman-temannya di luar masih memanggil namanya dengan keras disertai ketukan pintu.
“JOSS ANJING BUKA? KENAPA LU.” Suara teriakan disusul oleh gedoran pintu.
Joss ingin membukakan pintu namun tenaganya terserap sepenuhnya pada mimpi buruk yang dialaminya, belum lagi semalam Joss tidak makan malam, lelaki itu hanya bisa terduduk sambil mengusap wajahnya pelan.
“Ini kunci cadangannya.” Sebuah suara kembali terdengar.
Suara kunci terbuka membuat Joss menangkat wajahnya dan melihat ketiga temannya masuk kamarnya dengan wajah khawatir. Luke yang pertama kali mendekati Joss dan mengecek keadaan lelaki itu.
“Lu gak apa-apa?” Tanya Luke dengan intonasi yang serat akan kekhawatiran.
Bright memegang dahi Joss dan merasakan suhu tubuhnya sedikit meningkat dari biasanya, “Demam.” Gumamamnya pelan.
“Lo kenapa? teriak-teriak tadi. Bikin panik semua orang tau gak?” Ucap Kayavine dengan jengkel.
Joss sendiri hanya tersenyum kecil, “Sorry. Tadi mimpi buruk.”
“Is that bad?” Kali ini Luke yang bertanya.
“What?” Jawab Joss tenang.
“Everything?”
Joss menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur, pandangan matanya serat akan rasa lelah yang selama ini ditanggungnya sendirian, “Yes.”
Luke duduk disamping temannya, menatap Joss dan bertanya dengan hati-hati, “do you find it hard to breathe? feeling nauseous and excessively anxious?”
Bright dan Kayavine membulatkan matanya mendengar pertanyaan Luke, mereka tau jika Joss menjawab semua pertanyaan Luke dengan jawaban “Ya”, maka Joss memiliki kemungkinan kembali ke titik awal.
Joss menatap mata Luke, “Ya. I count from one to thirty five just to breathe properly.”
Bright memejamkan matanya, kepalanya mendadak berdenyut sakit, kalau seperti ini baik dirinya maupun teman-temannya tidak bisa berbuat apapun pada Joss karena jika mereka salah mengambil langkah, hal itu dapat membuat Joss lebih tertekan.
“Gua bawain makanan sama obat demam dulu.” Kayavine dengan cepat berbalik dan keluar dari kamar. Luke hampir saja mengumpat karena Kayavine menghindari pembicaraan ini, Kayavine memiliki soft spot untuk Joss, jika ia ikut dalam pembicaraan ia bisa menangis nanti.
“You need to count? Sejak kapan?” Luke kembali bertanya dengan pelan. Bright sendiri sudah mendudukkan dirinya di sebelah Joss. Memejamkan matanya dan berpikir jalan keluar yang dapat mereka lalui saat ini yang dapat membawa Joss dan Tawan dengan selamat.
“Hm. Satu minggu belakangan? Sebelumnya cuma sampe lima, tapi baru kali ini sampe dua puluh ke atas.” Joss menjawab dengan parau.
“Joss, gua mau tanya dan tolong jawab dengan jujur. I mean no harm okay? I will just ask. There's no wrong or right. Gua hanya memastikan.” Luke berbicara lagi, kali ini Bright menoleh ke Luke dan menampilkan ekspresi bertanya pada lelaki itu.
“Sejak kapan lu merasa cemas, ketakutan dan lain-nya? Apa selama pernikahan lu selalu ngerasain itu?” Tanya Luke dengan lugas. Bright merasakan kepalanya bertambah sakit, Luke dan mulutnya yang selalu bersuara terlebih dahulu dibandingkan otaknya.
Joss mengalihkan pandangannya, “Ya, most of time? Tapi gak separah itu. I still can handle it, tapi bukan berarti selama gua nikah gua gak bahagia, gua bahagia dan gua seneng but it keep coming back to me in middle of the night. Paling parah itu pas wedding day, i need to took a pill to calm myself.”
“A pill?” Kali ini Bright yang bertanya dengan intonasi terkejut.
“Ya. I called the doctor, and told her how I felt and I asked her to give me some pills because I was feeling so anxious that day.” Jelas Joss lebih rinci.
Kali ini Luke ikut merebahkan tubuhnya disamping Joss dan memijat pangkal hidungnya karena rasa sakit yang menyerang kepalanya, “Kenapa lu gak kasih tau kita?”
“I thought everything was going to be fine, I thought it was just that day that I felt anxious again but it turns out that as time goes by, that anxiety appears again slowly and until now it's getting bigger.”
Bright menghela nafasnya pelan, ia melirik pintu saat melihat Kayavine datang dengan nampan berisi sepiring nasi goreng dan susu serta vitamin untuk Joss, Kayavine sendiri mengerutkan dahinya saat melihat wajah teman-temannya yang terlihat keruh tidak tertolong.
“Sekarang kalau lu inget Tawan, apa yang lu rasain?” Luke kembali bertanya. Kayavine mengerang pelan, ia pikir pembicaraannya sudah selesai, namun ternyata masih berlanjut.
“I feel guilty, whenever I think of him, I always want to say sorry and please don't love me, and I want to push him away. Last night when I thought about him, I felt sick, anxious and scared.” Jelas Joss lagi.
“fuck....” Umpat Kayavine pelan.
“Joss, nanti pulang dari Labuan Bajo... Kita kontak dokter Fah lagi ya?” Ucap Luke hati-hati.
Joss menatap Luke, Bright, dan Kayavine secara bergantian, “Oke.”
Bright menghembuskan nafasnya dengan lega, menepuk pundak Joss dengan bangga, “Trust yourself. You're survived a lot, and you'll survive whatever is coming.”
“Like we always said, you anxiety is lying to you. you are loved and you are going to be okay.” Kayavine menambahkan dengan senyuman menenangkannya.
“Tapi sebelum ke dokter, lu harus ketemu sama Tawan dulu. Gimanapun dia berhak dapet penjelasan dari lu. Gak bisa lu tinggalin dia gitu aja, your therapy takes time, and you will need support, if you still forbid him to love you at least let him stay by your side.” Ucap Luke dengan tegas.
Bright dan Kayavine mengangguk membenarkan perkataan Luke, “Gak apa-apa, ntar gua temenin. Takut lo diamuk Metawin jadi gua temenin nanti. Si Metawin udah nandain lo soalnya, serem bro pacar gue.” Bright meyakinkan Joss dengan sedikit lelucon.
Joss hanya terkekeh kecil dan memberikan ibu jarinya, lelaki itu sekarang sedikit lebih baik berkat teman-temannya. Mungkin hidupnya memiliki bagian tergelap dan tersulit, namun ia tetap merasa sedikit bersyukur karena berkat hal tersebut ia bertemu dengan teman-teman yang selalu menemani dan mendukungnya tanpa henti.