Josstay: Nikah Muda

Scene four – I couldn't be more in love

contain warning: mention mental health consultation, detailed description of diabetes mellitus wound. using medical language.


SABTU


Hari ini adalah hari sabtu. Hari libur yang begitu cerah dan indah untuk sebagian orang, namun tidak terlalu cerah untuk Tawan.

Lelaki dengan tinggi 177 cm itu hari ini mengambil double shift dari shift malam dan lanjut shift pagi menggantikan Jumpol yang harus absen karena ada acara keluarga yang penting.

Tawan merenggangkan tubuhnya yang terasa amat pegal, semalam IGD rumah sakit tempatnya magang begitu ramai. Tawan bahkan tidak memiliki waktu untuk tidur lebih dari 2 jam karena ada pasien yang harus diobservasi setiap satu jam sekali.

“Tawan, makan dulu gih gapapa ditinggal aja dulu. Kamu mandi terus makan. Double shift kan jadi?” ucap seorang perawat senior yang berjaga bersama Tawan malam ini.

“Boleh kak? Kalau gitu saya izin mandi sama sarapan dulu ya kak.” ucap Tawan dengan wajah berbinar.

Perawat perempuan senior itu terkekeh dan menganggukkan kepalanya, “Sana. Jangan lebih dari 30 menit ya.”

Tawan mengacungkan ibu jarinya tanda mengerti. Lelaki manis itu lalu menuju ruang khusus perawat beristirahat untuk mengambil ponsel dan membersihkan diri.

Tepat saat Tawan masuk ke ruangan, ponselnya berdering dengan keras. Tawan dengan segera mengambil dan mengangkat telfon tanpa melihat nama yang penelfon yang tertera di layarnya.

“Halo kak J?” sapa Tawan semangat seakan sudah hafal bagwa suaminya lah yang menelfonnya. Tawan menjepit ponselnya dengan pipi dan pundaknya, sementara tangannya mengambil seragam perawat cadangan yang ia miliki beserta peralatan mandi yang ia bawa khusus untuk hari ini.

“Halo, kamu lagi istirahat gak sekarang? Aku mau nganterin sarapan buat kamu.”

Tawan menahan senyumannya mendengar perkataan sang suami. Sejak Tawan sering melakukan praktek di banyak rumah sakit selama satu semester penuh, Joss menjadi lebih perhatian daripada biasanya.

Joss selalu mengantarkannya pergi praktek di rumah sakit dan menjemputnya ketika shiftnya sudah selesai. Lelaki itu juga sering membawakan ia dan teman-temannya makan baik itu makan pagi, makan siang, maupun makan malam.

Pernah saat itu Tawan mendapatkan tempat praktek di daerah Bogor lebih tepatnya di RSMM Bogor dan diwajibkan untuk tinggal di asrama bersama teman-temannya yang lain, lalu Joss juga memutuskan untuk tinggal di hotel yang dekat dengan RSMM Bogor selama Tawan praktek disana agar tetap berdekatan dengan sang suami. Ia juga beberapa kali meminta Tawan untuk tidur di hotel bersamanya, dan Tawan mengiyakannya.

Saat itu teman-teman Joss bahkan harus menoyor kepala Joss karena sikapnya yang begitu menyebalkan, ia juga harus bekerja secara online dan datang ke kantor jika benar-benar ada hal yang penting saja. Jika mengingat hal tersebut, Tawan masih merasakan pipinya memerah dan tidak menyangka bahwa hal tersebut benar terjadi pada hubungan mereka yang sebelumnya terasa sangat mustahil.

Joss juga sudah menjalani konsultasinya selama 4 bulan dan begitu banyak hal yang saat ini bisa ia explore tanpa harus merasakan takut maupun cemas. Suaminya itu juga sudah tidak mengalami mimpi buruk, tidak merasakan cemas ketika harus membahas masa lalunya, dan banyak hal positif lainnya yang membuat baik Tawan maupun teman-temannya merasa sangat bahagia.

“Little Te? Kok diem? Ini lagi ada pasien kah makanya gak jawab lagi atau gimana?” Suara Joss menyadarkan Tawan dari pikirannya.

“Engga kok kak J, ini lagi dapet istirahat sebentar. Mau aku pake mandi. Kak J mau kesini?” jawab Tawan dengan terburu.

“Iya ini lagi di jalan. Aku nanti mau mampir beliin breakfast meal mekdi atau kamu mau yang lain?”

Tawan mengerutkan dahinya, ia ingin mekdi tapi ia juga ingin bubur ayam, “Mau mekdi tapi mau bubur juga kak J?”

Suara Joss terkekeh terdengar dengan jelas di telinga Tawan, oh Tawan sangat merindukan lelaki itu padahal ia hanya belum bertemu selama 11 jam sejak semalam.

“Yaudah nanti aku beliin bubur ayam juga. Ini menu mekdinya yang biasa kan?” Joss bertanya untuk memastikan pesanan Tawan.

Tawan tanpa sadar mengangguk walaupun ia tahu Joss tidak bisa melihatnya, “Iya kak J. 1 Chicken muffin with egg, 2 hash brown, 2 apple pie, sama hot cappuccino.” jelas Tawan.

“Noted. Kamu jaga sama berapa perawat atau dokter? Aku beliin makanan juga ya?”

Tawan menghitung dalam hati perawat senior dan perawat dari kampus lain yang berjaga bersamanya semalam serta dokter yang berjaga, “Ada 8 orang kak J. Beliin aja, kalau mau beliin bubur nanti minta isiannya dipisah ya kak J soalnya gatau mereka suka dan gak suka apa aja.”

“Oke. Udah sampe mekdi nih, aku tutup ya telfonnya? Kamu mandi dulu.”

“Oke.” telfon dimatikan begitu Tawan mengucapkan persetujuan. Tawan tersenyum dan menyimpan ponselnya sebelum masuk ke bilik kamar mandi untuk membersihkan dirinya.

Belum sampai 10 menit Tawan di kamar mandi pintunya sudah diketuk disertai panggilan dari temannya, Khaotung untuk cepat menyelesaikan mandinya karena ada pasien kecelakaan dan akan tiba 10 menit lagi di IGD mereka.

Tawan yang mendengarnya segera bergegas menyelesaikan mandinya. Ia tidak lupa memakai perawatan wajah paginya dan skincare agar kulitnya tetap sehat walaupun jadwal tidur dan pekerjaan yang tidak menentu.

Tawan membuka pintu kamar mandi dan disambut Khaotung yang berdiri di depan, “Gimana? Kecelakaan gimana?” tanya Tawan dengan wajah panik.

“Tadi diperempatan deh, ada pengemudi mabuk ya terus gitu. Belum tau sih keadaannya, yang nerima telfon tadi kak Goji.” jawab Khao.

“Oh oke. Ini lo mau ke kamar mandi?” tanya Tawan saat Khao masih terdiam di depan kamar mandi.

Khao menampilkan cengirannya, “Mau buang air sebentar. Lo ke depan aja dulu. Tadi ada pasien baru masuk. First lagi nganter pasien ke ranap.”

Tawan mengangguk dan bergegas menyimpan barang bawaannya. Ia mengganti mode dering diponselnya menjadi mode getar.

“Tawan sini!” Namanya langsung dipanggil begitu ia memunculkan diri di IGD.

“Iya kak Jen?” jawab Tawan setelah lelaki itu berdiri di hadapan salah satu senior perawatnya.

“Tawan itu ada pasien baru masuk, ulkus diabetikum. Kamu ikut dokter Neo, observasi pasiennya terus lapor ke dokter Neo dulu pemeriksaan fisik pasien, lalu setelah semuanya selesai segera lapor ke saya pemeriksaan fisik, penunjang, keluhannya secara lengkap, .” perintah Jennie.

Tawan mengerjap kebingungan namun tidak membantahnya, “Siap kak. Tadi saya denger denger dari Khao bakal ada pasien kecelakaan?” tanya Tawan penasaran.

Jennie mengangguk, “Iya ada, tapi kamu ke pasien ulkus dulu aja oke? Tapi kamu udah ada materi manajemen luka kan?”

Tawan mengangguk, “Udah kak manajemen luka. Udah pernah ngelakuin juga waktu praktek semester lalu.”

“Oke kalau gitu. Sana ke pasiennya.” perintah Jennie.

Tawan bergegas mempersiapkan peralatan yang ia butuhkan. Tawan mengambil lembar observasi, masker, handscoon, termometer, dan sphygmomanometer.

Tawan membuka bilik pasien dengan senyuman yang terbit di wajah tampannya, Selamat pagi Ibu, perkenalkan saya ners Tawan, saya disini akan melakukan pemeriksaan fisik pada ibu seperti pemeriksaan suhu, tekanan darah, dan denyut nadi ya bu.”

“Silahkan ners.”

Tawan tersenyum dan mulai memakai handscoon yang sudah ia siapkan, “Permisi ya bu saya angkat tangannya.” Izin Tawan saat ia memasangkan termometer pada ketiak sebelah kiri sang pasien.

Tawan juga memasang cuff di lengan pasien tepatnya 2,5 cm diatas siku. Tawan tidak lupa tersenyum dan meminta izin untuk mulai melakukan pengukuran tekanan darah. Ia bertanya-tanya perihal riwayat penyakit pasien dan riwayat kesehatan keluarga. Setelah mendapatkan hasil dari seluruh pemeriksaan, Tawan mendatangi dokter Neo dan melaporkan hasil pemeriksaannya. Dokter Neo mengajak Tawan untuk ke arah bilik untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Tawan mencatat seluruh hal yang Dokter Neo katakan dengan detail karena Ners Jennie suka melakukan ujian tiba-tiba dengan pertanyaan yang sulit sehingga Tawan dan teman-temannya terkadang harus belajar lagi dan lagi karena salah menjawab.

Tawan dan Dokter Neo melakukan tindakan pembersihan luka ulkus diabetikum. Tawan juga diizinkan untuk melakukan perawatan luka yang tentu saja Tawan lakukan dengan senang.

“Sudah selesai ya bu, saya izin permisi terlebih dahulu.” pamit Tawan dengan ramah.

Pasien tersebut berterima kasih yang dibalas Tawan dengan ucapan sama-sama. Tawan kembali menulis beberapa tindakan dan mencari keberadaan perawat seniornya- Jennie.

“Kak, udah aku catet semuanya disini ya kak.” ucap Tawan menyerahkan rekam medis pasien.

“Nanti dokter poli penyakit dalam dateng jam 9 nanti bawa rekam medisnya terus kasih ke dokternya ya. Udah lengkap kan?” tanya Jennie sambil melihat hasil catatan Tawan pada rekam medis pasien.

“Udah kak.” ucap Tawan dengan senyumannya.

Jennie melihat keadaan sekitar dan UGD masih cukup terkendali, “Nah. Coba laporin secara detail pasien tadi gimana.” ucap Jennie.

Tawan menghela nafasnya, mencoba mengurangi rasa gugupnya. Ia berdeham sekali sebelum menyampaikan laporan pasien yang baru ditanganinya tadi.

“Pasien wanita berusia 54 tahun datang dengan keluhan luka pada kaki kanan yang sulit sembuh dan semakin memberat lukanya sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. 3 tahun belakangan, pasien sering merasa kesemutan dan kebas yang hilang timbul pada kaki dan tangan, pasien juga sering terbangun di malam hari untuk buang air kecil dan sering merasa lemas badan.” Tawan memulai laporannya dari data yang ia dapatkan dari keluarga pasien.

“Pasien berobat ke puskesmas dan hasil lab dikatakan gula darahnya tinggi dan diagnosa dokternya adalah kencing manis. Pasien mendapat obat metformin dari puskesmas diminum 2x sehari namun dikonsumsi hanya dalam satu bulan karena keluhannya berkurang dan tidak melanjutkan kontrol gula darah.” jelas Tawan.

“Metformin biasanya dikasih berapa mg?” sela Jennie.

“500mg kak” jawab Tawan dengan cepat.

“Oke lanjut.”

Tawan menghembuskan nafasnya dengan lega dan kembali melanjutkan laporannya.

“Dua bulan belakangan, keluhan kesemutan dan kebas muncul kembali namun karena masih bisa melakukan aktivitas ia tidak memeriksakan diri ke puskesmas. Satu bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien mengalami luka di kaki karena menginjak serpihan bambu. Luka tersebut hanya dicuci dengan air dan tidak dibalut perban. Awalnya hanya seukuran biji jagung, namun lama kelamaan kaki pasien membengkak dan lukanya semakin besar. Pasien ke puskesmas dan lukanya sudah dibersihkan.”

“Satu minggu sebelum ke rumah sakit, lukanya tidak kunjung membaik. Luka mengeluarkan nanah yang bau, tidak ada pendarahan aktif, dan tampak otot disekitar. Pasien mengalami nafsu makan menurun, demam hingga menggigil, lemas, mual. BAK tidak berwarna merah, tidak ada pendarahan pervaginam. Riwayat keluarga tidak ada yang memiliki keluhan serupa, tidak memiliki riwayat merokok namun pasien sering mengkonsumsi makanan manis.” jelas Tawan.

“Pas lukanya dibersihkan di puskesmas, obat yang diberikan apa?.” tanya Jennie.

Tawan mengerjap, “Pasien tadi mengatakan ia lupa merk obat yang dikonsumsi.”

Jennie mengangguk paham,“Pemeriksaan fisik?”

Tawan mengangguk dan kembali menjabarkan laporannya, “Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 84x/menit, pernafasan 20x/menit, suhu 37,9 C, IMT 21,4 (normoweight). Status generalis didapatkan kepala, leher, thoraks, abdomen dalam batas normal.”

“Status lokalis regiopedis dextra, terdapat luka berbentuk ulkus pada regio plantar pedis yang meluas hingga dorsum pedis dextra. Luka berukuran 8 cm x 5 cm x 0,5 cm. Pada luka terdapat edema (+), hiperemis (+), pus (+), darah (–), jaringan nekrotik (–), bau (+), terlihat jaringan otot disekitar luka. Nyeri tekan (+), CRT sulit dinilai, pulsasi a. dorsalis pedis (+) lemah, dan sensorik sekitar luka mulai menurun akibat sakit.”

“Pada pemeriksaan penunjang hemoglobin 13,1 gr/dl, leukosit 21.040/uL, gula darah sewaktu 268 mg/dl, gula darah 2 jam PP 314 mg/dl..

“Leukosit normal gak?” sela Jennie.

“Tidak kak, jumlah normalnya 3200-10.000/uL.”

“Kalau gula darah?”

“Tidak normal juga kak, melebihi batas. Gula darah sewaktu normalnya <200 mg/dl dan gula darah 2 jam PP normalnya <200 mg/dl).”

“Diagnosa?”

“Berdasarkan keluhan pasien dan pemeriksaan fisik, diagnosa kerjanya adalah ulkus kaki diabetic wagne rill dengan Diabetes Melitus tipe 2.”

“Tatalaksana umum sama khususnya apa tuh kalau diagnosa kerjanya ulkus kaki diabetic wagne rill dengan DM tipe 2?” tanya Jennie lagi.

Tawan merasakan kepalanya berdenyut namun sedikit lagi sesi laporan ini selesai jadi dia harus melanjutkannya, “Untuk penatalaksanaan umum yaitu mengedukasi pasien dan keluarga mengenai perjalanan penyakit DM dan komplikasinya serta cara menjaga higienitas luka pada kaki, selain itu keluarga dan pasien juga diedukasi mengenai pengontrolan makan, serta gula darah secara rutin.”

*“Untuk penatalaksaan khusus, “pemberian IVFD NaCl 0,9% gtt xx/menit, Insulin long acting (Levemir) 1x8 U (0-0-0-8), Insulin short acting (Novorapid) 3x8 U (8-8-8-0), Ceftriaxon 1 gram/12 jam, Metronidazol 500mg/8jam.” jelas Tawan tanpa ragu-ragu.

Jennie merasa puas dengan laporan Tawan, “Oke good job.”

“Thank you kak.” ucap Tawan dengan semangat. Jennie hanya tersenyum dan menepuk bahu Tawan dengan bangga. Ia kembali membantu menangani pasien begitu juga dengan Tawan. Karena terlalu fokus dengan laporan dan pasien yang ia tangani, Tawan tidak merasakan ponselnya bergetar sejak tadi dengan Called ID Kak J.

***

Pasien-pasien darurat di IGD sudah ditangani seluruhnya. Tawan mengambil handsanitizer dan menggunakannya pada tangannya.

“Kamu tadi udah makan?” Perawat seniornya tiba-tiba bertanya pada Tawan dengan wajah yang entah? Terlihat seperti menahan senyuman.

“Belum kak, tadi gak jadi soalnya mandi hehehe.” kekeh Tawan dengan polos.

Jennie mendengus pelan, “Tuh ada tamu bawa makanan sekarung apa ya.” Jennie menunjuk pintu samping IGD yang terhubung dengan ruang tunggu sedang terbuka dan terlihat seseorang yang sudah dihafalnya diluar kepala.

“Kak J...” bisik Tawan dengan terkejut. Dia benar-benar lupa bahwa ia tadi memesan makanan untuk dirinya dan untuk teman-teman sejawatnya.

“Nah, kenal kan? Samperin dulu gih. Tadi banyak banget yang liatin karena bawa makanan banyak kayak abang gofood.” kekeh Jennie lagi.

Tawan meringis malu, “Sebentar ya kak.”

Jennie menepuk pundak Tawan dengan pelan, “Santai elah. Dikit lagi operan juga nih. Lagi nunggu yang shift selanjutnya dateng. Makan aja dulu gapapa. Ada Khao juga kan yang bantuin disini.”

“Oke aku izin bentar ya kak.” Tawan berlari kecil menuju Joss yang saat ini menampilkan senyuman lebarnya.

“Kak J!!!” panggil Tawan dengan semangat.

Joss ingin sekali melebarkan tangannya dan membawa Tawan menuju pelukan hangatnya, namun ini di rumah sakit. Tempatnya orang sakit, tidak etis rasanya jika mereka berpelukan penuh kebahagiaan sedangkan orang lain mungkin saja memiliki hari yang buruk karena keluarganya yang sakit atau sebagainya.

“Hey...” sapa Joss dengan senyuman sehangat mataharinya.

“Gimana jaga malemnya? Aman? Capek gak?” tanya Joss setelah mereka berdua duduk di kursi tunggu dekat dengan tempat administrasi.

“Capek! Tapi seru, seneng juga bisa banyak bantu orang lain. Pokoknya banyakan serunya daripada capeknya.” cerita Tawan dengan semangat.

“Oh iya?” sahut Joss dengan intonasi ingin tahunya. Dia selalu melakukan itu jika Tawan baru pulang dari manapun, khususnya jika baru pulang dari rumah sakit. Dia selalu berusaha menyampaikan pada Tawan bahwa ia akan selalu mendengarkan apapun yang Tawan ucapkan.

Hal ini sudah menjadi kebiasaan mereka, mereka bahkan bisa hanya duduk berjam-jam berdua di ruang televisi ataupun sofa di kamar mereka tanpa memegang ponsel ataupun menghidupkan televisi. Meteka berdua hanya bercerita, khususnya Tawan. Lelaki itu akan menceritakan segalanya, dan Joss akan mendengarkannya dan sesekali menanggapi jika Tawan mencari pembelaan atas ceritanya.

“Iya.. Tapi ceritanya di apartment aja ya nanti? Soalnya aku gabisa lama-lama. Takut tiba-tiba IGD, harus ikut operan juga.” sahut Tawan dengan wajah sedihnya.

Joss terkekeh kecil, dia mengusap rambut Tawan dengan lembut, “Gak apa-apa nanti cerita semuanya yang lengkap di apart ya? kita kan masih punya banyak waktu..”

“Oke! Nanti kak J dengerin ya! Pulangya beli chatime sama shihlin, boleh?” tanya Tawan antusias seakan dia tidak berjaga semalaman.

Joss mengangguk, “Iya boleh.”

“Oke. Sekarang aku mau makan karena laper....” ucap Tawan dengan mata yang berbinar melihat paper bag berlogo McD ditangan sang suami.

Joss terkekeh, “Makan disini? Ngga di ruang perawat aja?”

Wajah berseri Tawan langsung hilang begitu saja saat ia menyadari bahwa ia harus makan di ruang perawat karena tidak sopan seorang perawat makan di ruang tunggu seperti ini.

“Oh iya... Bener juga. Gak boleh makan disini.” sahut Tawan dengan lesu.

Joss tidak bisa menahan Tawanya, lelaki kecilnya sangat menggemaskan. Bagaimana bisa ekspresinya berubah dengan waktu kurang dari 10 detik, dari ekspresi berbinar menuju ekspresi kecewa yang begitu mendalam. Belum lagi bibirnya yang maju beberapa senti karena plan yang ia buat tidak sesuai dengan harapan.

“Yaudah sana makan dulu di ruang perawat.” ucap Joss setelah tawanya mereda.

“Nanti kak J gimana?” rajuk Tawan.

Joss menaikkan alisnya, “Gimana apanya?”

Tawan kembali mencebikkan bibirnya, “Kalau aku makan di dalem, kak J gimana? Kan baru aja dateng?”

Joss tersenyum dengan lebar, ia bertaruh bahwa ia benar-benar terlihat sangat aneh sekarang, “Ya pulang? Kan udah ketemu Tawannya... Udah nganter makanan juga?” sahut Joss.

Tawan menghembuskan nafasnya dengan kasar, padahal ia sedang rindu dengan sang suami tapi suaminya ini terlihat biasa saja. Malah menyuruhnya cepat-cepat menuju ruang perawat.

“Yaudah. Aku balik dulu.” ucap Tawan dengan sedikit jutek.

Joss terkekeh lagi, keinginan untuk memeluk Tawan dan menguyel lelaki itu dalam pelukannya semakin besar. Maka Joss hanya bisa mencubit pipi Tawan main-main, “Jelek banget ngambeknya haha. Nanti siang balik lagi kan aku? Jemput little te. Sekarang little te makan dulu biar gak sakit soalnya kan mau lanjut shift. Iyakan, sayang?”

Tawan merasakan pipinya yang menghangat, ditambah dengan cubitan Joss maka Tawan yakin bahwa pipinya sudah semerah tomat. Lebih merah dari tomat malah.

Tawan melepaskan cubitan Joss dari pipinya, “Iya udah jangan dicubit. Sakittttt.”

Joss tertawa dan melepaskan cubitannya pada Tawan, “Iya maaf ya. Yaudah gih makan dulu. Nanti siang aku jemput ya?”

Meskipun tidak begitu merasa senang namun Tawan tetap mengiyakannya, “Yaudah. Hati-hati ya kak J pulangnya.” sahut Tawan.

“Iya sayang. Nih makanannya, bubur ayam kamu ada tulisan little te-nya ya.” Joss menyerahkan paper bag berisi bubur ayam dan McD yang direquest oleh Tawan.

“Aku pulang ya. Titip cium kening buat little te. Dadah.” bisik Joss dengan jahil. Lelaki itu terkekeh melihat wajah Tawan yang memerah dengan sempurna.

“Dasar.” bisik Tawan pada dirinya sendiri sebelum masuk kembali ke IGD dan membagikan makanan pada rekan sejawatnya.

***

Tawan meletakkan tas ranselnya di sofa dengan sembarang. Lelaki itu langsung merebahkan tubuhnya di sofa tanpa menunggu waktu lama. Ia memijat kepalanya yang berdenyut. Tadi setelah operan shift banyak pasien yang berdatangan, belum lagi ia hanya berjaga sendirian karena setelah temannya Khao pulang, tidak ada perawat praktek yang shift selain Tawan.

Tawan harus mengerahkan seluruh tenaganya membantu para perawat senior dan menjadi asisten dokter. Belum lagi kalau petugas lab memberikan hasil uji agak lama sementara hasil tersebut dibutuhkan segera maka Tawan-lah yang berlari ke arah lab yang berada agak jauh dengan IGD.

Tawan merasakan sofa yang didudukinya bergerak pelan, ada beban tubuh lain yang mendudukinya.

“Capek banget ya?” tanya Joss dengan lembut. Lelaki itu melepaskan sepatu Tawan dengan hati-hati.

Tawan tidak bisa memprotesnya karena rasa lelah yang mulai menguasai seluruh ototnya, “Banget kak J...”

Joss mengeluarkan salonplas gel dari kotak obat, ia membalurkannya di betis Tawan dengan hati-hati, “Tidur aja, tapi pindah di kasur. Kamu udah mandi?”

Tawan mengangguk, “Iya tadi sebelum pulang aku mandi di RS biar pulangnya langsung tidur niatnya.”

“Yaudah tidur aja. Ceritanya nanti aja oke? Aku tinggal ya nanti sore?” tanya Joss.

Tawan menurunkan tangannya yang menutupi wajahnya, “Kak J mau kemana? Ada meeting kah?”

Joss menggeleng pelan, “Nanti konsul sama dokter Fah. Kalau kamu capek gak apa-apa aku konsul sendiri aja. Kamu tidur oke? Besok Off kan?”

Kali ini Tawan langsung merubah posisinya menjadi duduk dan menatap mata Joss dengan penuh ketidaksetujuan, “Enggak. Pokoknya aku ikut kak J?”

“Kan katanya capek?”

Tawan menggeleng, “Kan tidur dulu sebentar. Pasti nanti capeknya ilang.” Kekeuh Tawan.

Joss menghela nafasnya pasrah, Tawan tidak akan menurutinya. Dia pasti akan terus meminta dan pasti tidak akan istirahat sebelum permintaannya disetujui.

“Yaudah, sekarang tidur dulu di kamar. Aku bawain vitamin sama air putih oke? Biar gak sakit.” ucap Joss dengan intonasi tegas.

Tawan menampilkan cengirannya tanpa ia menyetujuinya. Lelaki kecil itu berdiri di atas sofa, “Kak J.” panggil Tawan saat melihat Joss sudah berdiri.

“Apa?” sahut Joss.

Senyuman Tawan semakin lebar melihat sang suami yang memasang wajah pura-pura tidak mengetahui permintaannya, “Hehehe piggyback?” pinta Tawan dengan wajah memelasnya.

Joss mendengus pelan namun tetap tersenyum tidak kalah lebarnya, Joss memposisikan tubuhnya membelakangi Tawan, mempersilahkan sang suami untuk naik ke pungunggunya.

“Ayo.” ucap Joss.

Tawan terkekeh dan mulai menaikki punggung Joss. Ia mengalungkan tangannya dengan erat di leher Joss sementara lelaki yang menggendongnya ini menahan tubuhnya dengan memegang erat paha Tawan. Tawan tidak bisa menahan tawanya saat mulai merasakan tubuhnya tidak menyentuh sofa.

“Kak J chatime sama shihlin bawa juga ke kamar.” Tawan menunjuk makanan dan minuman yang tadi dibelinya di perjalanan pulang.

“Katanya mau langsung tidur?” tanya Joss namun tetap melangkahkan kakinya menuju meja makan.

“Makan dulu baru tidur. Perut kenyang tidurpun nyenyak.” sahut Tawan dengan semangat.

Joss mengeratkan pegangannya pada paha Tawan karena takut lelaki itu terjatuh akibat pergerakan yang terlalu banyak. Tawan berat tentu saja, namun ia tidak masalah asal Tawan bahagia, maka ia rela menggendong Tawan berkeliling apartment mereka.

“Belok kiri belok kiri” ucap Tawan mengarahkan Joss seperti seorang kenek angkutan umum.

Joss mendengus pelan tapi tetap mengikuti ucapan Tawan, lelaki yang berada di punggungnya saat ini tertawa dengan keras, suaranya seperti alunan simfoni yang membuat Joss merasa tenang.

“Stop. Berhenti. Udah sampe.” ucap Tawan lagi. Tawan menurunkan kakinya di atas tempat tidur. Lelaki itu juga membawa makanan yang dibeli Joss ditangannya.

“Terima kasih kapten, udah sampe dengan selamat.”

Joss yang tidak tahan atas tingkah lucu Tawan langsung memeluk lelaki kecil itu dengan erat hingga Tawan kehilangan kendalinya dan mereka berdua jatuh bersamaan di atas tempat tidur.

“KAK J!!!!” teriak Tawan terkejut.

“Apa..” Joss menjawab dengan suara malasnya. Bukannya membenarkan posisi mereka berdua, Joss malah mengeratkan pelukannya pada Tawan.

“Kangen...” gumam Joss pelan.

“Apa? Kak J tadi ngomong apa? Aku ngga begitu denger...” Tawan bertanya dengan penasaran.

“Engga. Kamu berat.” sahut Joss asal.

Tawan memincingkan matanya, “Kak J mohon maaf sebelumnya tapi yang ditindihin itu AKU. Jadi seharusnya aku yang bilang kalau kak J berat?!” protes Tawan.

Joss terkekeh pelan, ia berpindah posisi dari menindih Tawan menjadi berbaring disamping Tawan dengan tangan yang tidak lepas dari pinggang sang suami.

“How was your day?” tanya Joss dengan lembut.

Tawan menahan senyumannya, ia selalu suka sesi dimana mereka berdua saling berpelukan dan bertanya perihal kegiatan yang mereka lakukan setiap harinya, tentang siapa saja yang membuat mereka kesal, membuat bahagia, dan hal-hal kecil lainnya.

“So far.. Good. Aku ngga ada komplain untuk hari ini. Temen satu shiftku juga seru, ngga pemalas. Senior-seniornya juga baik. Paling yang disayangkan aja pasiennya BANYAK banget kak J, aku sampe kebingungan soalnya bener bener sebanyak itu. Gak tau ini koas dokter yang bau banget atau aku sama temenku yang bau hari ini.” jelas Tawan panjang lebar.

“Bau?”

Tawan menepuk kepalanya, lupa bahwa suaminya bukanlah dari bagian kesehatan sehingga ia mungkin tidak memahami “bau” yang dimaksud oleh Tawan.

“Iya maksudnya bau bau itu khas sama koas atau dokter muda yang memiliki bakat terpendam untuk memanggil banyak pasien pada saat jaga malam. Jadi pas dia jaga tuh kayak gak tau kenapa pasien banyak banget gak berhenti gitu kak J. Makanya disebutnya bau.” jelas Tawan dengan semangat.

“Itu udah terbukti gitu bau?” tanya Joss lagi.

Tawan mengangguk, “Iya biasanya kalau jaga di satu unit kan bisa berminggu minggu ya. Setiap kali dia jaga selalu rame, nah yang bikin sadar kalau orang itu bau ya pas jaga malem gitu pasiennya selalu banyak. Gak pernah sepi. Kejadiannya berulang kali terus-terusan makanya bisa dijulukkin bau.”

“Oh jadi gitu, kalau kamu yang jaga nih bau? menurutku karena yang jaga cakep sih makanya bau?” balas Joss dengan wajah meledeknya.

Tawan memutar bola matanya mendengar ucapan sang suami, “Ngaco. Kalau didenger seniorku ditepuk itu mulut kamu kak J.”

Joss sendiri hanya tertawa mendengar Tawan yang berbicara dengan nada ketus namun mulutnya masih penuh dengan makanan. Joss ingin sekali mengigit pipi yang terlihat penuh itu namun ia takut Tawan mengamuk dan akhirnya ngambek padanya.

“Kak J sendiri gimana harinya? Aman semua kah?” tanya Tawan ketika ia sudah menelan makanannya.

“Aman. Hari ini cuma mikirin little T aja kok. Eh, sama beberapa kali on call terkait kerjaan sih, sama zoom meet juga deh. Olahraga juga? Apalagi ya kok tiba-tiba jadi blank.” jelas Joss dengan dahi yang berkerut.

Tawan mendengus pelan, “Kok kelihatannya lebih sibuk dari aku deh ini? Suami siapa ini busy and booked and busy and booked?”* Ledek Tawan pada Joss.

Joss semakin merasa gemas pada lelaki kecil ini, dia menarik pipi Tawan dan mengigitnya dengan cukup kencang hingga Tawan berteriak kaget.

“KAK J!!!” kaget Tawan.

“Kamu tuh lucu banget tau gak? Kok bisa ngeledek sekarang? Minta digigit terus ya? Sayang udah dong, aku jadinya gemas terus ini.” Protes Joss dengan rengekannya. Sangat bukan Joss tapi kenyataannya inilah dia saat ini.

Tawan yang dipanggil sayang masih merasa malu, pipinya memerah sekilas dengan jantung yang berdebar lebih keras dari biasanya.

“Uhm... Apasih kak J. Gak jelas banget. Padahal aku sering ledek kak J loh?”

Joss tertawa lebih keras mendengar ucapan Tawan. Siapa yang mengizinkan ia punya pasangan hidup selucu dan semenggemaskan Tay Tawan sih?

“Udah-udah, ayo. Capek kan? Bobo dulu nanti kan katanya mau temenin aku?” ajak Joss setelah Tawan menyelesaikan makannya.

Tawan sendiri yang memang sudah merasa kenyang dan mengantuk hanya menyetujui ajakan Joss. Lelaki kecil itu membiarkan Joss merapikan sisa makanannya. Ia hanya terduduk di kasur dengan kesadaran yang sudah hampir menghilang karena rasa kantuk disertai badannya yang lelah.

Maka saat Joss selesai merapikan segala hal dan menarik Tawan masuk kedalam pelukannya, ia hanya bergumam kecil dan memejamkan matanya. Tidur dalam posisi little spoon dan juga big spoon merupakan salah satu favoritenya.

Tawan merasakan Joss dibelakangnya dengan tangan yang memeluk erat perutnya. Tawan merasakan alam mimpi yang mengambil alih kesadarannya. Namun ia sempat mendengar ucapan dari suami manisnya,

“Sleep well, little Te. You did very well today. I'm a proud husband.”

Tawan tersenyum kecil. Ia mencintai Joss Wayar dan seterusnya akan selalu begitu.


Referensi: Muhartono and Sari, I. R. N. (2018) ‘Ulkus Kaki Diabetik Kanan dengan Diabetes Mellitus Tipe 2’, Jurnal AgromedUnila, 4(1), pp. 133–139.