Code: 1467372748

The Reality


Tawan memasuki mobil yang sudah menunggunya selama 5 menit, di dalam mobil ada teman-temannya yang menyapanya dengan senyuman lebar dan suara yang berisik.

“Good morning juga guys.” Jawab Tawan seadanya.

Tawan memakai seatbelt dan menerima uluran starbucks dari Namtan, “Keren tau aja gue lagi mau kopi.” Ledek Tawan.

“Lo tadi ngechat gue ya minta beliin starbucks dulu. Nyusahin.” Omel Namtan pada Tawan.

Tawan sendiri hanya terkekeh dan menyesap caramel macchiatonya, matanya menatap jalanan Jakarta yang selalu macet saat pagi hari. Harusnya mereka khawatir karena pasti akan telat saat masuk kelas, namun penanggung jawab mata kuliah pagi ini mengabarkan kalau dosen mereka akan telat 30 menit dari jadwal yang telah ditentukan.

“Kenapa muka lo pahit banget?” Kali ini Gun yang bertanya karena melihat wajah Tawan yang tidak seceria biasanya.

“Masih mikirin mimpi lo?” Tanya Arm saat Tawan tidak juga memberikan jawaban.

Tawan hanya mengangguk kecil sebagai jawaban. Lelaki itu belum membuka suaranya sejak Gun bertanya.

Namtan menghela nafasnya lelah, “Lo gak mau ke professional gitu? Kalau emang menurut lo udah mengganggu coba deh.” Saran perempuan itu.

“Terus keluhan gue apa? Gue bilang kalau gue selama 3 bulan mimpiin cowok cakep terus gue pacaran sama dia di mimpi itu?” Tanya Tawan dengan sarkas.

“Ya coba aja gapapa, siapa tau mereka ada jawabannya? Dunia itu penuh misteri Te. Ada hal yang bisa dijelasin pake science dan ada hal yang memang terjadi gitu aja tanpa penjelasan yang jelas.” Kali ini Arm yang menjawab.

“Gue bukan risih sama mimpi gue, udah 3 bulan gue mimpi udah mulai terbiasa walaupun masih kaget-kaget dikit.” Ucap Tawan pelan.

“Terus?” Tanya Gun.

“Gue takut..” Bisik Tawan pelan.

“What if I fell in love with him?” Lanjut Tawan dengan suara pelan.

Arm memberhentikan mobilnya dengan tiba-tiba, untung saja mereka terjebak macet. Kalau tidak Arm yakin mobil dibelakangnya akan menabraknya dengan cukup keras.

“Gila lu?” Tanya Arm dengan wajah terkejutnya.

Namtan memijit dahinya yang tiba-tiba terasa berdenyut, begitupun Gun yang menatap Tawan tanpa berbicara sepatah katapun, terlalu terkejut akan entah itu disebut pertanyaan ataupun pernyataan Tawan.

“Kok lo bisa mikir gitu....” Tanya Namtan hati-hati.

Tawan melemaskan bahunya, dia bersender pada pintu dengan tenaga yang tersisa sangat sedikit.

“I don't know? I'm just afraid. Mimpi gue selalu ngasih hal-hal baik tentang cowok itu, disitu gue ngeliat bahwa diri gue bahagia banget, gue disayang banget. Bahkan kayaknya si cowok itu bisa ngasih segalanya buat gue, bahkan tangan dia masih kerasa hangatnya sampe sekarang.” Cerita Tawan pada teman-temannya.

“Kalau boleh jujur, sebenernya gue merasa iri sama Tawan yang ada di mimpi gue karena dia bisa ketemu cowok kayak Joss. Dia punya Joss disisinya, dia punya Joss yang jadi tempat bersandar, dia punya Joss buat berkeluh kesah.” Lanjut Tawan.

Teman-temannya lebih dari mengerti apa yang Tawan rasakan, lelaki itu kehilangan sosok ayah dalam keluarganya sejak kecil. Ibunya tulang punggung keluarga, Tawan tidak pernah kekurangan materi atau apapun namun Tawan kekurangan kasih sayang dari figur seorang ayah.

“Beneran sosok Joss gaada di dunia ini? Lo udah nyari kan?” Tanya Gun dengan intonasi suara yang lebih halus.

“Gak ada, gue udah cari ditwitter tapi gak ketemu. Apa dia namanya bukan Joss ya?” Gumam Tawan.

Namtan membasahi bibirnya sekilas dan bertanya pada Tawan, “Apa yang bikin lo ngerasa kalau lo bisa jatuh cinta sama sosok Joss ini?”

Tawan berbalik dan menatap Namtan dengan mata indahnya, “He had those kind of eyes that shone with the light of everything will be alright.”

Namtan lagi-lagi mengela nafasnya dengan pasrah, temannya ini benar-benar hampir jatuh cinta pada sosok imajinasi yang diciptakan oleh alam bawah sadarnya sendiri.

“Oke-oke, but please Tawan. Can you stop that feeling? sebelum lo semakin jatuh. He's not real. He's just your imagination. I don't want you to get hurt with your expectations okay?” Ucap Namtan tegas namun hati-hati.

“Inget Tawan, Joss gak nyata. Lo boleh bahagia punya dia, tapi selalu inget kalau Joss hanya bagian dari bunga tidur lo. Jangan jatuh cinta.” Namtan menegaskan ucapannya sekali lagi agar Tawan paham dan mulai merefleksi tindakannya.

“We are all here for you, if you're sad, you have us. You can share your thoughts with us.” Sambung Gun pada Tawan saat melihat temannya yang menunjukkan wajah sedih.

Tawan kembali duduk dengan tegap dan menatap jalanan di depannya, Tawan menggigit bibirnya pelan memikirkan ucapan Namtan. Namtan selalu benar, perempuan itu selalu tau apa yang terbaik untuknya. Tawan berkali-kali diselamatkan oleh Namtan dari jahatnya ekspetasi yang dibuat dirinya sendiri.

Tawan menoleh ke arah Namtan dengan senyum kecil yang terbit diwajah lucunya, “I'll try. Thank you, Namtan.”