You've Got Mail: Chapter 2

Joss memutuskan untuk menunggu di atas kap mobilnya. Tangannya memainkan kunci mobil sambil sesekali memerhatikan daerah komplek perumahan Tawan. Rumah Tawan adalah dengan bangunan bertingkat dua yang Joss perkirakan bangunannya seluas 240-an m2. Rumahnya terlihat hangat, mungkin itulah alasan mengapa Tawan juga terasa hangat untuknya.

Joss sendiri sudah menelfon beberapa kali namun panggilannya terus dialihkan, dia juga sudah menghubungi teman-teman Tawan namun mereka juga belum ada tanda-tanda untuk membalas chatnya.

Mungkin saja lelaki itu sedang mandi atau sedang melakukan hal yang membuatnya tidak memegang ponsel seperti tidur misalnya. Joss sendiri tidak akan banyak protes, dia tau bahwa untuk sekarang dirinya masih belum menjadi prioritas seorang Tay Tawan.

Dia tadinya ingin langsung membunyikan bel rumah Tawan, namun ia merasa tidak sopan. Karena semalam saat dia mengantarkan Tawan pulang, dirinya tidak sempat berkenalan dengan orang tua Tawan. Jadi dia memilih untuk menunggu lelaki yang lebih tua itu.

30 menit waktu yang sudah terlewat, dan Joss masih menunggu di depan rumah Tawan dengan penampilannya yang masih saja menarik untuk dilihat.

Joss memutuskan untuk menelfon lelaki itu sekali lagi.

Tutttttt

Tutttttt

“Halo?” Suara serah khas orang bangun tidur terdengar dengan jelas ditelinga Joss.

Joss mengusap wajahnya sambil terkekeh kecil, benar kan. Tay Tawan pasti ketiduran.

“Halo?” Sapa orang itu sekali lagi.

“Halo, bisa berbicara dengan pacarnya Joss Wayar?” Ucap Joss dengan suara yang dibuat berbeda.

“Hm. Siapa ini?”

Senyum Joss merekah dengan lebar, bukankah artinya Tawan baru saja membenarkan bahwa dirinya adalah kekasih Joss Wayar?

“Ini pacarnya Tay Tawan, Joss Wayar. Udah sampe di depan rumah Tay Tawan sejak 30 menit yang lalu.”

“Hm? Siapa? Joss Wayar?”

“Iya, Joss Wayar.”

“JOSS WAYAR?!!!”

Teriakan Tay terdengar disambungan telfon. Joss tertawa keras mendengarnya.

Sambungan telfon dimatikan sepihak. Joss semakin tertawa dengan keras. Jika ada yang melihatnya sudah dipastikan Joss akan dianggap sebagai salah satu ODGJ.

Suara pintu gerbang dibuka dengan terburu-buru, sosok lelaki yang ia tunggu sejak setengah jam lalu akhirnya muncul juga.

Lelaki itu terlihat panik, dilihat dengan bagaimana dia hanya memakai kaos putih, celana selutut, dan sendal jepit dengan rambut cukup acak-acakkan. Berbeda sekali dengan penampilan Joss hari ini yang terbilang cukup rapih.

“JOSS WAYAR SEJAK KAPAN LO DISINI?”

Joss mengelus tengkuknya malu, merasa ersipu sedikit. Melihat Tawan panik bukankah lelaki itu khawatir dengannya?

“30 menit lalu.”

Tay Tawan menepuk dahinya dengan lemas. Dia baru saja bangun tidur dan langsung berlarian kebawah hanya karena adik tingkatnya ini sudah menunggu dibawah sejak 30 menit lalu.

“Lo tuh ya...” Ucap Tawan dengan penekanan.

“Kalo gua gak bales yaudah pulang aja. Kenapa harus ditungguin? Panas kan? Terus kenapa gak nunggu di dalem mobil? Kenapa harus di atas kap mobil gitu?” Omel Tawan tanpa henti.

Joss mengulum bibirnya, menahan senyuman yang entah sejak kapan rasanya ingin selalu ia tunjukkan. Mungkin sejak suara lelaki ini masuk ke gendang telinganya.

“Sini dah bang” Panggil Joss disertai gesture tangan memanggil Tawan.

“Kenapa?”

Joss langsung memeluk Tawan saat lelaki itu mendekat kearahnya. Joss membenamkan wajahnya pda pundak Tawan sambil terkekeh kecil.

“Lo jangan ngomel pake celana gemes gitu dong. Gua deg-degkan tau bang.”

Tawan merasakan wajahnya panas, dia memberontak kecil ingin melepaskan pelukan erat lelaki bertubuh besar ini.

“LEPAS GAK INI DI LUAR JOSS WAYAR.”

“Sebentar, sebentar aja. Gua capek hari ini di kampus. Tadi gak sempet kasih kabar juga ke lu karena BEM lagi ruwet menjelang PHD.”

Tawan meruntuhkan ego-nya sebentar dan memilih untuk memeluk kembali adik tingkatnya ini.

“Besok-besok kalau capek gak usah datengin gua. Pulang ke rumah, terus tidur.” Bisik Tawan tegas.

“Hm. Kan rumah gua lu.”

Tawan memukul pundak Joss dengan keras tanpa ragu.

“Ngalus lo lancar ya.”

Joss mengerang kecil dan h terkekeh kecil. Dia mengeratkan pelukannya sekali lagi.

“Dah, energi gua udah full. Siap-siap gih. Ayo kita jalan.” Ajak Joss, tangannya tidak pernah absen untuk menepuk pelan rambut sang kakak tingkat yang disayanginya.

Tawan mengerutkan dahinya, apa dia tidak salah dengar?

“Jalan?”

“Iya”

“Lo udah gila ya?! Gua mau lanjutin skripsi tauu. Lagi mana makanan gua? Katanya mau bawain chatime sama martabak.” Gerutu Tawan.

“Udahan kek gemesnya elah.”

Joss menutup wajah Tawan dengan tangan besarnya.

“APAAN SIH.” Amuk Tawan. Lelaki menepis tangan Joss yang menghalangi pandangannya.

“Udah ayo siap-siap. Ngerjain skripsinya di cafe aja sekalian gua mau nugas juga.”

“Oh bilang dong, yaudah ayok masuk dulu. Mobilnya parkir di garasi aja.” Ajak Tawan.

Tawan membuka gerbang rumahnya agar Pajero milik Joss bisa masuk.

“Ini gapapa masuk bang?” Tanya Joss sekali lagi memastikan pendengarannya.

“Gapapa, gak ada orang di rumah. Mama sama Papa kerja, kakak lagi koass di Banten, dan adek kalau hari rabu gini ada futsal.” Jawab Tawan santai.

Joss memarkirkan mobilnya di garasi rumah Tawan. Tawan sendiri menutup gerbang rumahnya dan mengajak Joss untuk masuk dan duduk di ruang tamu.

“Tunggu ya gua ambilin minuman dulu. Cola atau sprite?”

“Cola aja.”

Tawan mengambil cola dan memberikannya pada Joss.

“Gua siap-siap dulu ya? Tunggu disini. 10 menit.”

Tanpa mendengar jawaban Joss Tay sudah berlari ke arah kamarnya yang berada di lantai dua.

Joss berdiri mengamati desain interior rumah Tawan. Tidak terlalu banyak barang-barang mewah, namun rumahnya terasa begitu nyaman. Ruang tamu penuh dengan foto-foto kecil dari pemilik rumah.

Joss terkekeh kecil melihat foto anak kecil bertiga sedang berada di kolam renang. Selain itu banyak foto kebersamaan keluarga, seperti saat makan atau saat berpergian bersama. Hati Joss terasa sangat hangat, berbeda sekali dengan keadaan rumahnya saat ini.


10 menit berlalu akhirnya Tawan turun dengan barang bawaan yang cukup banyak. Joss meringis kecil melihatnya.

“Bang bawa itu semua?” Tanya Joss sambil menunjuk tas laptop dan buku-buku yang berada dipelukan Tawan.

Tawan hanya menatap Joss tidak mengerti mengangguk mengiyakan.

Joss ingin memarahi lelaki itu tapi tidak tega melihat ekspresi polosnya. Padahal hari ini niatnya sebelum ke kafe dia akan mengajak Tawan keliling dulu untuk kencan. Namun sepertinya lelaki itu sudah sangat siap untuk melanjutkan skrispsinya.

“Oh iya Joss, lo bawa laptop gak buat nugas? Kalau gak bawa pake laptop adik gua dulu.” Tanya Tawan.

“Bawa bang. Laptop selalu gua bawa di mobil.”

“Yaudah ayo.”

Tawan dan Joss berkendara dengan tenang. Tawan membuka tabnya dan mulai mengecek bab 2-ya yang sudah di di revisi oleh Mrs. Katreeya. Ada beberapa yang diberikan komentar karena kalimat yang digunakan kurang efisien, dan ada juga yang disuruh memberikan rincian lebih dalam lagi.

Seperti pada bagian distribusi gonore, Mrs. Katreeya meminta banyaknya orang risiko terinfeksi gonore menurut jenis kelamin karena Tawan sebelumnya hanya memasukan jumlah orang terinfeksi gonore berdasarkan data Dinas Kesehatan. Selain itu, Mrs. Katreeya juga meminta data pasien Gonore yang tercatat di seluruh puskesmas di daerah Jakarta Utara.

Tawan sudah tertawa dengan miris melihat koreksian bab 2-nya yang sangat rinci. Disisi lain dia bersyukur mendapat dosen pembimbing yang sangat bagus dan namun disisi lain dia juga merasa tertekan karena Mrs. Katreeya berharapkan banyak padanya.

“Bang matiin dulu tabnya. Nanti aja disana pusingnya, sekarang mending liat macetnya Jakarta.” Ujar Tawan, matanya sesekali melirik Tawan yang sedari tadi menghela nafas dengan berat.

“Oke.” Tawan menuruti Joss dan mematikan Tabnya. Dia melihat jalanan dengan seksama.

“Oh iya Joss, tugas lo tentang apa?” Tanya Tawan tiba-tiba.

“Hygiene Industry, Dose-Response Relationship, sama Threshold Limit.”

“Oh ituu, ngerti gak?” Tanya Tawan lagi.

*“DRR baru dijelasin tadi sih, terus tadi ketiduran jadi gak dengerin tentang Lethal Dose.*

“Mau gua jelasin gak?” Tanya Tawan.

Joss melirik tawan, dan tersenyum kecil.

“Emang paham bang?”

Tawan memukul lengan Joss dengan cukup keras.

“Paham lah gila!! Tadinya gua kan mau masuk K3 terus gak jadi karena Epid keliatan lebih menarik.”

“Terus Epid menarik gak?”

“Menarik banget!! Gua tuh emang suka ngungkap kasus-kasus gitu. Apalagi di Epid lebih dispesifikin. Kayak ada Epid HIV, terus Epid penyakit menular. Bahkan Ebola, SARS, sama MERS tuh dibahas sendiri dan gua tertarik banget buat tau tentang 3 penyakit itu hehe.” Tawan bercerita dengan pandangan berbinar dan menurut Joss itu salah satu adalah hal yang paling membuatnya bahagia.

“Terus apa lagi senengnya?”

“Lo udah ada Student Learning Center (SCL) kan ya?

“Udah bang.”

“Di epid juga ada SCL tapi SCL-nya tuh disetiap mata kuliah, udah gitu biasanya kan sebelum peminatan SCL satu kelompok isinya 8-9 orang ya. Kalau di epid biasanya cuma 2 orang.”

“Lebih capek sih karena harus buat mind mapping sekaligus pohon masalah bahkan ada yang wajibin pake fishbone juga dan ngerjainnya cuma berdua. Tapi jadi lebih menguasai gitu loh buat nentuin mana penyebab langsung sama tidak langsung sebuah penyakit. Udah gitu pas sidang pleno-nya diserang gitu dan debat. Itu seru banget!!” Lanjut Tawan.

“Kok seru sih bang diserang sama teman sekelas?”

Tawan memiringkan kepalanya, “Seru dong, kalau ada yang ditanya bahkan di perdebatkan berarti kan ada yang salah dengan hasil kerjaan kita? Buat di introspeksi biar kedepannya gak ngulangin kesalahan lagi.”

“Oke oke. Beda sama K3.” Joss angkat tangan melihat keantusiasan Tawan saat menjelaskan. Lelaki itu benar-benar mencintai Epidemiologi.

“Kalo lo sendiri kenapa milih K3?”

“Hm.....”

“Gak ada alasan khusus sih. Gua lebih ngikut bareng Luke aja buat K3. Gua sama Luke kan temen sejak SMP jadi pas dia bilang dia mau ngambil K3 gua ikutin. Abisnya gua bingung.” Jawab Joss.

“Dih aneh banget!! Kalau coba-coba gitu taunya gak cocok gimana?”

“Ya nasib dah bang.”

“Sembarang banget!” Gerutu tawan.

Joss terkekeh kecil dan mengelus rambut Tawan.

“Jadi jelasin tentang Lethal Dose gak?”

“Oh iya!!” Tawan menepuk dahinya.

“Jadi Joss, dalam Dose-Response Relationship itu cara buat lebih pahamnya pake istilah LD50 atau Lethal Dose50. LD50 ini tuh kayak dosis tunggal derival suatu bahan pada uji toksisitas yang bisa menyebabkan kematian 50% dari populasi uji.”

“Tau kan kalau dalam DRR ini ada tiga? LD0, LD50, sama LD100?”

Joss mengangguk mengiyakan.

“Tau perbedaannya?”

“Kalo LD0 kan masih diterima hewan yang diuji, kalo LD50 kematian 50%, kalo LD100 kematian 100%.”

“Bener. Terus kenapa LD50 itu paling sering digunakan? Karena LD50 itu dosis paling efektif buat 50% hewan dan digunakan karena arah kisaran nilai pada titik tersebut paling menyempit dengan titik ekstrim dari kurva dosis-respon. Kalau kurva normalnya itu sebanyak 68% dari populasi berada dalam plus-minus nilai 50%. Nanti ada hubungannya juga sama Threshold Limit.”

“Oke oke, terus?”

“Nah selain itu juga ada Lethal Concentration50 atay LC50. LC50 ini konsentrasi dari bahan yang menyebabkan kematian pada 50% organisme yang terpapar. Biasanya ini tuh digunain buat mengecek bahan kimia dalam air atau udara yang dosisnya tidak diketahui, jadi misalnya kalau ada bahan kimia sebelum diketahui bahaya atau tidak pada manusia harus digunakan dulu pada hewan.”

“Buat apa? Biasanya itu buat tau Toxic Dosenya. Biar tau apa ini berbahaya buat manusia jika terpapar dalam waktu tertentu. Selain itu juga ada Effective Dose atau ED yaitu memiliki efek ringan pada jaringan tubuh manusia. Nah LD50 ini sebenernya gak terlalu ekuivalen dengan toksisitas tapi nilai dari LD50 ini bisa diinterpretasikan ke dalam nilai TD dan ED.”

“Udah gitu adalagi aplikasi lain dari TD dan ED buat nentuin therapeutic index atau tingkat keamanan suatu bahan. Biasanya tuh diekspresikan melalui perbandingan LD50 dan ED50. Terus LD dan ED juga bisa buat nentuin margin of safety (MS) atau rasio LD1 dengan ED99.”

Tawan menyelesaikan penjelasannya dengan senyuman kecil yang terbit diwajah tampannya. Tawan sangat suka belajar, apalagi jika menjelaskan pelajaran yang bukan spesialis dia. Rasanya seperti memiliki suatu kebanggaan pada diri sendiri.

“Paham sampe sini?” Tanya Tawan.

“Paham sih, tugasnya juga tentang ekuivalen ED LD sama kurva gitu dah. Threshold limit juga dikasih tugas soal kasus gitu.”

“Tapi paham kalao TL?”

“Paham TL mah. Cuma dibagi 4 kan, paling tugasnya gajauh jauh dari ngitung batas pajanan sama efeknya kalo ke manusia. Belum buka pdfnya jadi belum tau.”

“Yaudah nanti kalau gak paham, tanya gua lagi aja ya.”

Keadaan hening lagi. Tawan sibuk melihat ke arah jalanan. Tadi Joss sempat bilang bahwa mereka akan mampir ke coffee milik temannya Joss di daerah mampang prapatan. Kalau tidak salah namanya Publichood Coffe Shop.

“Bang..” Panggil Joss memecah keheningan.

“Iya?”

“Lo pernah turlap?”

“Turlap? Pernah?”

“Ngapain?”

“Hm waktu itu survei cepat pis-pk sih bantu puskesmas. Sama juga turlap pas DBD meningkat di daerah Cilandak. Kenapa lo baru mau turlap ya?”

Joss terkekeh kecil mengiyakan.

“Kalau lo paling turlapnya ke perusahaan kan? Soalnya waktu itu Jumpol turlap ke perusahaan buat Hygiene industry sama evaluasi K3 di perusahaan.”

“Iya gua belum sempet sharing bareng bang Jumpol terkait turlap.”

“Hm hubungin aja Jumpol sama Guns, kocak-kocak gitu nilai K3 dia selalu bagus. Emang niat masuk K3 sih jadinya gitu.” Ucap Tawan sedikit menyindir jawaban Joss tadi.

Joss tertawa keras dan menepuk pelan kepala Tawan, “Sialan juga ya lu bang.”

Tawan juga tertawa melihat ekspresi asam yang ditampilkan adik tingkatnya, sebenarnya Joss ini tidak terlalu buruk.

“Yuk udah sampe bang.” Ucap Joss tiba-tiba.

Tawan melihat sekeliling dan tersenyum dengan lebar, tempatnya lumayan juga.

Tawan mengambil barang-barang yang dia letakkan di jok belakang, begitu juga Joss yang mengambil laptopnya.

“Oi Thiti” Sapa Joss pada lelaki yang wajahnya terasa asing bagi Tawan.

“Wayar anjir udah lama lu gak kesini, tiba-tiba ngechat minta spot paling enak.”

“Haha sorry biasa kampus life sibuk. Gimana tempatnya udah ready?”

“Udah, gamau kenalin dulu nih siapa cowok dibelakang?”

Joss melirik Tawan yang memasang wajah datarnya, dan tersenyum kecil.

“Kenalin ini Tay Tawan, pacar gua. Semester 8.”

Lelaki yang dipanggil Thiti hanya menampilkan wajah terkejut dan menepuk pelan pundak Joss.

“Anjir dateng-dateng bisa ya lu bawa gandengan. Manis lagi.” Serunya.

“Kenalin bang, gua Bank Thiti. Biasa dipanggil Thiti sih.” Ucap Thiti dengan ramah.

“Tay Tawan, panggil aja Tay” Jawab Tawan tak kalah ramah.

“Lu mau ngedate dicoffe shop gua? Kalau gitu tadi gua hias hias dulu Joss.” Ucap Thiti tiba-tiba.

“Kaga anjir, gua mau nugas, bang Tay mau lanjutin skripsi. Makanya gua minta spot yang agak belakang biar gak berisik.”

“Okedah siap-siap. Masuk dulu ayo.”


“Gimana, enak kan tempatnya?”

“Iya iya enak Joss.”

“Asik, berarti kalau diajak lagi nyari tempat kayak gini mau kan?”

Tawan membatu sebentar, kemudian dengan pasrah menganggukkan kepalanya.

Joss Wayar hanya terkekeh, sedari tadi yang dia hanya terkekeh karena gemas melihat kakak tingkatnya. Tawan patuh tapi tidak terlalu patuh?

“Mau pesen apa?”

“Americano.” Balas Tawan tanpa menatap Joss, dia sibuk dengan laptopnya dan tangan lainnya memegang tabnya.

“Makanan-nya?”

“Cake aja, apapun.”

Joss hanya mengangguk paham, lelaki itu pergi memesan makanan untuk mereka berdua. Sesekali Joss melirik Tawan yang masih sibuk dengan skripsinya.

Joss tersenyum kecil dan menggeleng pelan, dia tidak membayangkan jika orang lain lah yang mengambil langkah untuk mendekati kakak tingkatnya itu, pasti lelaki itu akan menjadi lelaki kesayangannya Tay Tawan.

Bila itu terjadi mngkin saja, hal tersebut menjadi salah satu patah hati terbesar yang pernah Joss alami.

“Oi anjir lu diliatin mulu. Kaga bakalan kabur orangnya” Ucap Thiti membuyarkan lamunan Joss.

“Maklum baru satu hari jadinya.”

“Lah anjir baru satu hari?”

“Emang kenapa?”

“Keliatan kayak udah lama anjir Joss.”

Joss mengulum bibirnya, mendengar kalimat seperti itu saja sudah membuat hatinya berdebar.

“Anjing lu jangan malu-malu depan gua. Gua kesel banget liatnya.”

“Hahaha iye, yaudah gua tinggal dulu ya.”

Thiti memberikan jempolnya dan kembali menuju dapur. Sementara Joss membawa pesanan mereka dengan hati-hati. Takut minumannya tumpah.

“Bang ini makan duluuu baru ngerjain skripsi.”

“Iya nanti.”

Joss menghela nafasnya pasrah. Dia secara diam-diam memfoto Tawan untuk diupload ke instagram. Mau pamer kalau dia punya pacar super menggemaskan.

“Bang bang...” Panggil Joss lagi.

“Fotoin gua bang.”

Tawan akhirnya menoleh untuk menatap Joss. Dia tersenyum melihat Joss yang sudah siap berpose. Tanpa banyak berkata dia mengambil gambar lelaki itu dan kembali melanjutkan skripsinya.

Joss menatap wajah serius Tawan. Sungguh, Tawan itu tampan dan manis secara bersamaan. Jika Joss diberi hukuman untuk menatap Tawan seumur hidup, dia akan menjalani hukuman itu dengan suka cita. Karena memang wajah Tawan sangat rupawan. Jika sedang serius, Tawan terlihat tampan dan tangguh bahkan terkadang dia bisa melihat ekspresi bengis lelaki itu jika sedang serius. Namun, jika Tawan sedang tersenyum atau tertawa maka yang Joss lihat hanyalah Tawan yang menggemaskan, Joss sangat ingin mencubit pipi lelaki itu.

“Jangan diliatin terus, nanti jatuh cinta” Ucap Tawan tiba-tiba.

Senyuman Joss semakin lebar, dia dengan gemas mengusak rambut tawan.

“Kan udah jatuh cinta. Gimana sih.”

Tawan hanya mendengus dan melanjutkan skripsinya tanpa membalas perkataan Joss.

“Bang...” Panggil Joss lagi.

“Hmmm”

“Foto gua upload di insta story dong...”

“Iya nanti...”

“Upload ya jangan lupa”

“Iya Joss Wayar. Kerjain tugas lo sekarang.” Ucap Tawan mengingatkan.

Joss merengut sebentar lalu mengambil laptopnya yang sedari tadi ia masih simpan dengan rapi di dalam tas. Dia melirik Tawan yang masih snagat fokus dan menghela nafas lelah.

“Bang cake-nya jangan lupa dimakan.”

Tawan hanya berdehem tanpa menghiraukan Joss yang sedang menatapnya tanpa henti.


Joss langsung duduk dengan posisi tegap seusai membaca direct message dari kekasihnya. Dia tidak bermaksud seperti itu.

“Bang Tay...” Panggil Joss dengan lembut.

Tawan mendongkakan kepalanya setelah sekian beberapa menit ini dia hanya berfokus pada laptop dan tabnya.

“Apa?” Jawab Tawan dengan lugas.

“Kepana lu bilang gitu?” Tanya Joss to the point.

“Ya karena emang bener kan? Mungkin lo ekspetasi lo tentang gua terlalu berlebih. Atau lo pikir gua bakal manja-manja atau gimana ke lo. Tapi malah gua fokus lanjut skripsi tanpa perduliin ada lo di hadapan gua.”

“Joss, jangan berharap lebih. Gua gak kayak ekspetasi lo.”

“Kenapa lu mengasumsikan sepihak kalau gua punya ekspetasi berlebih terhadap diri lo?”

“Bukannya semua orang kayak gitu? They live with expectation in their life. They want the best for their future, that's the reason why people always have high expectations.”

“I am not.” Tegas Joss.

“You are. Joss, you're too good to be true. Someone like you will never fall in love with someone like me. Oh or maybe you misinterpreted what you felt and you chose to interpret it as falling in love.”

“What do you mean by someone like me?”

“I have met so many people. They said they can handle me, tapi nyatanya engga. Mereka nyerah bahkan sebelum gua bisa kasih timbal balik perasaan mereka. I don't think you're all as prepared as you think you are. My self destruct mode doesn't know convenience. Just wait. You'll get tired of me too.”

“Just tell me, what do you want from me? do you bet with your friends?”

“Lu mikir gua serendah itu?”

“Then, what do you want from me?”

“I ask you to give me a chance.”

“I know!! But I still can't trust you. Why do people like you, fall in love with people like me?! I really don't know why. I look at you, and I just can't get why is me.”

“Please stop overthinking. You just create problem that aren't here.”

“That another reason why you shouldn't love me. I'm overthinking. You'll get tired of me.”

“Just accept it, you don't love me.”

Tay Tawan menyelesaikan ucapannya dan menatap Joss tepat di matanya.

“Terserah lah. Mau dikasih tau apapun karena sekarang lu lagi gini, gak bakal dengerin gua kan? Gua gak ngerti kenapa lu tiba-tiba mikir kayak gitu padahal kita baik-baik aja sebelumnya.”

“Gua ke Thiti dulu. Lu mikir dulu deh.”

“Oh iya bang, emoticon gua di instagram itu bukan karena lu dibawah ekspetasi gua, tapi karena gua sedih lu belum makan makanan yang udah dipesen. Gua takut lu sakit.”

Joss meninggalkan Tawan dengan wajah kecewanya. Tawan hanya menatap kepergian Joss dengan datar. He messed up again.

Tawan merapikan barang bawaannya. Dia memesan Go-Car untuk pulang kerumah. Dia tidak akan bisa melanjutkan skripsinya jika masih ada Joss disekitarnya. Tidak dengan perasaan yang mencekik ini.

Go-Carnya datang dengan cepat, dia menoleh ke arah ruang manager. Joss masih bersama Thiti. Tawan menghela nafasnya dengan lelah, berharap perasaan bersalahnya ini menghilang barang sedetik. Namun rasanya malah semakin mencekik. Wajah kecewa Joss terbayang dibenaknya.

He really messed up everything.

Tawan memasuki mobil dengan berat hati. Dia memutuskan untuk meninggalkan Joss tanpa pamit.

Dia butuh waktu untuk dirinya sendiri.